"Jika keadilan bisa dibeli, siapa yang akan melawannya?" Bagi Cassandra Sinclair, kebenaran bukan sekadar prinsip, melainkan obsesi yang membakar setiap langkahnya. Sebagai jurnalis investigasi, dia tak segan melanggar aturan demi membongkar sindikat hukum korup yang telah merenggut ayahnya bertahun-tahun lalu. Dengan keberanian dan kecerdasannya, Cassandra memasuki dunia yang penuh kebohongan dan bahaya, ditemani oleh Elias Rowe, sahabat masa kecil sekaligus seorang peretas jenius dari keluarga miliarder yang memiliki akses ke rahasia terdalam para elite. Di sisi lain, Alexander Carter, seorang pengacara idealis, percaya bahwa hukum adalah benteng terakhir keadilan. Namun, semakin banyak kasus yang ia tangani, semakin jelas baginya bahwa hukum bukan lagi tentang benar atau salah, tetapi tentang siapa yang memiliki kekuasaan lebih besar. Perlahan, ia mulai kehilangan keyakinannya terhadap sistem yang seharusnya ia bela. Ketika sebuah investigasi membawa Cassandra dan Alexander ke dalam pusaran konspirasi berbahaya, mereka dipaksa bekerja sama meskipun memiliki prinsip yang bertentangan—Cassandra yang percaya bahwa kebenaran harus diungkap dengan segala cara, dan Alexander yang tetap berusaha memperjuangkan hukum dengan caranya sendiri. Namun, musuh mereka bukanlah orang biasa. Drakos Moreau, seorang pebisnis yang menjalankan jaringan kriminal di balik layar, dan Lucian Graves, pengacara bayangan yang ahli memanipulasi hukum, hanya sebagian kecil dari ancaman yang mereka hadapi. Di balik semua ini, ada sosok yang lebih gelap dan lebih berbahaya—MR. PHANTOM, bayangan yang mengendalikan hukum, politik, dan kejahatan dengan satu gerakan halus. Saat kebenaran mulai terungkap, nyawa mereka dipertaruhkan. Siapa yang benar-benar bisa dipercaya? Siapa yang sebenarnya menarik tali di balik layar? Dan seberapa jauh mereka harus melangkah untuk melawan sistem yang telah lama bobrok? Dalam dunia di mana keadilan bisa dibeli, hanya mereka yang berani melawan arus yang bisa bertahan. Tapi berapa harga yang harus dibayar?
Lihat lebih banyak“Yang Mulia,” Alexander Carter berdiri tegap di balik meja pengacara. Setelan hitamnya rapi, dasinya terikat sempurna, namun sorot matanya tajam dan penuh determinasi.
Suaranya bergema di dalam ruangan, tenang namun penuh penekanan. “Kasus ini bukan sekadar sengketa kepemilikan tanah. Ini adalah bukti nyata bagaimana hukum sering kali berpihak kepada mereka yang memiliki kekuatan dan uang, sementara rakyat kecil dipaksa menyerah tanpa perlawanan.” Ruang sidang dipenuhi atmosfer tegang. Deretan kursi dipenuhi oleh wartawan, pengamat hukum, dan beberapa orang yang memiliki kepentingan dalam kasus ini. Lampu-lampu kristal di langit-langit aula pengadilan memancarkan sinar redup yang terasa dingin, mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Di bagian depan, ia menatap hakim dengan percaya diri sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada berkas di tangannya. “Klien saya, Thomas Gallagher,” Alexander melirik ke arah seorang pria tua yang duduk dengan wajah penuh harapan, “telah memiliki tanah itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Itu adalah rumahnya, warisan keluarganya. Tetapi dalam satu malam, semuanya berubah. Sebuah perusahaan raksasa tiba-tiba mengklaim kepemilikan tanah tersebut dengan dokumen yang. . . jika kita analisis lebih dalam, penuh dengan kejanggalan.” Ia berjalan perlahan di depan meja sidang, memperhatikan para juri yang duduk dalam barisan. Beberapa dari mereka tampak memperhatikannya dengan seksama, sementara yang lain berusaha menjaga ekspresi netral. Ia berbalik menatap pengacara di sisi berlawanan, seorang pria berusia empat puluhan dengan senyum tipis dan jas mahal yang menunjukkan statusnya. “Tuan Howard, pengacara dari pihak perusahaan, menyebut bahwa semua dokumen ini sah dan sesuai prosedur hukum. Namun, mari kita lihat lebih dekat.” Alexander mengangkat sebuah dokumen dan menunjukkannya kepada hakim. “Tanggal yang tertera di sini adalah tanggal pembelian tanah oleh perusahaan kliennya. Namun, ada hal menarik—klien saya sama sekali tidak pernah menandatangani dokumen ini. Lebih dari itu, tanda tangan yang ada di dalamnya jelas-jelas merupakan hasil pemalsuan.” Beberapa bisikan mulai terdengar di dalam ruangan. Tuan Howard tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang, tetapi ada kilatan kekesalan di matanya. “Jadi pertanyaannya adalah,” Alexander melanjutkan, kali ini suaranya lebih pelan namun penuh tekanan, “bagaimana mungkin sebuah perusahaan besar mendapatkan hak kepemilikan atas tanah seseorang tanpa sepengetahuan pemiliknya?” Hakim mengetuk palu sekali, menenangkan riuh rendah di dalam ruangan. “Alexander,” hakim berkata dengan suara dalam, “apakah Anda memiliki bukti lebih lanjut untuk mendukung klaim ini?” Alexander mengangguk, lalu memberikan satu set dokumen kepada petugas pengadilan untuk diserahkan kepada hakim. “Saya memiliki analisis forensik tanda tangan ini, Yang Mulia. Pakar yang melakukan pemeriksaan ini dapat bersaksi bahwa tanda tangan dalam dokumen ini bukan milik Thomas Gallagher.” Tuan Howard menyandarkan tubuhnya ke kursi, terlihat tidak terpengaruh. “Dengan segala hormat, Yang Mulia,” katanya dengan nada meremehkan, “bahkan jika tanda tangan itu diragukan, perusahaan klien saya memiliki bukti transaksi lain yang mendukung kepemilikan mereka.” Alexander tersenyum tipis. Ia sudah menduga tanggapan itu. “Dan itulah mengapa saya ingin memanggil saksi utama kami ke depan,” katanya, lalu menoleh ke arah pintu ruang sidang yang terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah cemas melangkah masuk. Ia mengenakan kemeja kusut dan terlihat gelisah. “Ini adalah mantan pegawai perusahaan tersebut, seseorang yang bersedia mengungkapkan fakta sebenarnya tentang bagaimana tanah klien saya ‘diambil alih’.” Ruangan kembali riuh. Ini adalah langkah yang tak terduga. Alexander tetap berdiri tegak, menunggu bagaimana pengacara lawan akan merespons. Hening menyelimuti ruang sidang saat saksi utama, seorang pria paruh baya bernama Robert Parker, duduk di kursi saksi. Wajahnya penuh kecemasan, kedua tangannya menggenggam erat ujung meja seolah takut sesuatu akan terjadi. Alexander Carter menatapnya dengan tenang, mencoba meyakinkannya bahwa ini adalah langkah yang benar. “Tuan Parker,” Alexander membuka pertanyaannya, “Anda pernah bekerja untuk perusahaan yang mengklaim kepemilikan tanah milik klien saya, benar?” Robert menelan ludah, lalu mengangguk. “Ya. . . saya bekerja sebagai asisten bagian legal selama enam tahun.” Alexander melangkah mendekat. “Apakah Anda mengetahui bagaimana perusahaan itu memperoleh tanah milik Thomas Gallagher?” Robert tampak ragu, tapi setelah menarik napas panjang, ia berkata, “Mereka. . . mereka memalsukan dokumen. Saya melihatnya sendiri. Tanda tangan di kontrak itu bukan milik Tuan Gallagher. Itu dibuat di dalam kantor, oleh seseorang yang bekerja di tim hukum perusahaan.” Bisikan memenuhi ruang sidang. Beberapa juri mulai saling bertukar pandang. Wajah Thomas Gallagher menunjukkan harapan, sementara Alexander tetap fokus. “Apakah Anda bersedia menyatakan hal itu di bawah sumpah?” tanya Alexander dengan suara mantap. Robert mengangguk. “Ya.” Namun, sebelum Alexander sempat melanjutkan pertanyaannya, pengacara lawan, Tuan Howard, berdiri dengan senyum sinis. “Yang Mulia,” katanya sambil melirik hakim, “saya ingin mengajukan keberatan. Kesaksian ini berasal dari seseorang yang telah meninggalkan perusahaan bertahun-tahun lalu dan jelas memiliki motif pribadi.” Hakim menghela napas panjang, lalu menoleh ke Alexander. “Alexander, apakah Anda memiliki bukti lain yang dapat memperkuat pernyataan saksi ini?” Alexander menekan rahangnya. Ia tahu kesaksian Robert sangat berharga, tetapi ia juga paham bahwa sistem hukum sering kali tidak berpihak pada keadilan yang sesungguhnya. “Saya memiliki rekaman email internal yang menunjukkan bahwa dokumen kepemilikan ini dibuat setelah klaim perusahaan diajukan,” katanya sambil memberikan berkas lain kepada petugas pengadilan. “Rekaman ini menunjukkan bahwa pihak perusahaan dengan sengaja mengubah tanggal dan menyesuaikan dokumen agar terlihat sah di mata hukum.” Hakim membaca dokumen itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Di sisi lain, Tuan Howard tampak tetap tenang. Ia tahu bahwa dalam dunia hukum, bukti sekalipun bisa menjadi tidak berarti jika kekuasaan ada di pihak lawan. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, hakim akhirnya berbicara. “Setelah mempertimbangkan semua bukti dan argumen yang diajukan, pengadilan memutuskan bahwa klaim kepemilikan tanah oleh perusahaan tergugat tetap sah di mata hukum.” Seketika, ruangan terasa membeku. Thomas Gallagher menundukkan kepala, napasnya tersengal. Alexander berdiri diam, rahangnya mengeras, matanya menatap hakim dengan tatapan tajam yang penuh kekecewaan. “Yang Mulia,” katanya, suaranya tetap tenang, tapi ada kemarahan terpendam di baliknya. “Dengan segala hormat, ini adalah keputusan yang jelas-jelas mengabaikan fakta yang ada.” Hakim menatapnya dengan ekspresi netral. “Keputusan telah dibuat, Alexander. Sidang ditutup.” Tok! Palu diketukkan. Seisi ruangan kembali riuh. Beberapa wartawan mulai menulis berita mereka, sementara pengacara dari pihak perusahaan berdiri dengan santai, saling bertukar pandang dengan senyum puas. Di sisi lain, Thomas Gallagher tampak hancur. Ia berusaha berdiri, tetapi lututnya melemas. Alexander segera menahan lengannya, menatap pria tua itu dengan penuh simpati. “Mereka mengambil semuanya. . .” bisik Thomas dengan suara bergetar. “Rumah saya. . . tanah saya. . .” Alexander mengepalkan tangan. Ia tahu bahwa kliennya baru saja menjadi korban dari sistem yang korup. Bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena ada kekuatan yang lebih besar bermain di balik layar. Ia menoleh ke arah Tuan Howard, yang kini sedang berbicara dengan seseorang di sudut ruangan—seorang pria dengan jas mahal yang sejak awal sidang hanya diam mengamati. Orang itu melihat sekilas ke arah Alexander, tersenyum tipis, lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di lorong luar ruang sidang, suasana terasa lebih berat dibanding di dalam ruangan. Thomas Gallagher duduk di salah satu bangku panjang, kedua tangannya mencengkeram wajahnya yang dipenuhi garis-garis kelelahan. Alexander duduk di sebelahnya, mencoba menenangkan pria tua itu, tapi ia tahu tidak ada kata-kata yang benar-benar bisa meredakan rasa sakit akibat kehilangan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Thomas akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya memerah, bukan karena amarah, melainkan keputusasaan yang begitu dalam. “Apa yang harus saya lakukan sekarang, Alexander?” suaranya parau. “Tanah itu. . . sudah bersama keluarga saya selama tiga generasi. Saya dilahirkan di sana. Ayah saya membangun rumah itu dengan tangannya sendiri.” Alexander diam, membiarkan pria itu meluapkan perasaannya. “Saya tahu dunia ini tidak adil,” lanjut Thomas, suaranya bergetar. “Tapi saya pikir. . . saya pikir setidaknya masih ada harapan. Saya pikir jika saya membawa kebenaran ke pengadilan, mereka akan melihatnya. Bahwa saya akan mendapatkan keadilan.” Ia menunduk, tertawa kecil—tapi itu bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir seorang pria yang baru saja kehilangan segalanya. Alexander menghela napas dalam. “Anda tidak salah, Tuan Gallagher. Seharusnya hukum berpihak pada Anda.” Thomas menggeleng, ekspresinya pahit. “Hukum tidak dibuat untuk orang seperti saya. Hukum hanya peduli pada mereka yang memiliki uang dan kekuasaan.” Kata-kata itu menusuk Alexander lebih dalam dari yang ia kira. Karena, dalam hatinya, ia tahu ada kebenaran di baliknya. “Alexander. . .” Thomas menatapnya dengan mata yang penuh harapan terakhir. “Katakan pada saya. . . apakah masih ada yang bisa kita lakukan?” Alexander diam sejenak. Ia ingin berkata ya. Ia ingin menjanjikan bahwa masih ada jalan lain. Tapi untuk saat ini, ia tidak tahu jawaban yang pasti. Namun, satu hal yang ia tahu: ia tidak akan menyerah begitu saja. “Kita tidak akan berhenti di sini,” akhirnya Alexander berkata, suaranya penuh ketegasan. “Saya tidak bisa menjanjikan kemenangan cepat, tapi saya berjanji. . . saya akan mencari jalan lain.” Thomas menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk lemah. “Terima kasih, Nak,” katanya dengan suara serak. “Terima kasih karena masih mau peduli.” Alexander berdiri, menatap kembali ke dalam ruang sidang yang kini kosong. Ini bukan pertama kalinya ia melihat ketidakadilan. Tapi kali ini. . . ia tidak akan tinggal diam.Cassandra menatap layar laptopnya sambil menyesap kopi yang sudah dingin. Berkas-berkas kasus Lily masih terbuka, tetapi pikirannya terus melayang pada ancaman yang ia terima.Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya mendesah panjang.Elias Rowe.Cassandra menekan tombol jawab. "Jika kau menelepon hanya untuk menggangguku, aku akan memblokirmu sekarang juga.""Cassie, kau sungguh kejam. Aku menelepon karena rindu, tapi kau malah mengancamku," Elias merajuk, terdengar dramatis seperti biasa."Elias, kalau kau rindu, aku bisa mengirimmu sekotak batu bata supaya kau bisa membenturkan kepalamu sendiri.""Astaga, betapa manisnya kau."Cassandra memutar matanya. "Katakan saja apa maumu, Elias.""Baiklah, baiklah," suara Elias berubah sedikit lebih serius. "Aku ingin kau membuka laptopmu dan periksa folder baru yang muncul di desktopmu."Cassandra mengernyit dan segera mengecek layar laptopnya. Benar saja, ada folder baru berjudul "For My Favorite Pain in the Ass."
Suasana kantor The New York Tribune terasa lengang saat malam semakin larut. Hanya suara ketikan keyboard yang memenuhi ruangan. Cassandra duduk di depan laptopnya, matanya fokus menelusuri berkas-berkas kasus Lily, gadis yang berani melaporkan pelecehan tetapi diabaikan oleh sistem.Ponselnya bergetar, memecah keheningan. Tanpa melihat layar, Cassandra meraihnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?"Tidak ada suara di seberang. Hanya napas berat, panjang, seperti seseorang yang sedang mengawasi."Cassandra," suara berat itu akhirnya terdengar. Dingin. Terukur. "Kau masih belum belajar, ya?"Cassandra menegang sesaat, tetapi tidak menunjukkan tanda ketakutan. "Kalau kau ingin aku takut, kau harus mencoba lebih keras."Orang itu tertawa kecil, tawa tanpa emosi. "Kau berani bicara seperti itu setelah apa yang terjadi pada Gallagher? Kau ingin jadi korban berikutnya?"Cassandra mengangkat alis, meski ia tahu pria itu tidak bisa melihatnya. "Ancaman yang sama lagi? Kalian benar-benar keha
Cassandra melangkah santai memasuki lobi The New York Tribune, senyumnya mengembang saat matanya menangkap sosok pria yang tampak gelisah menunggu di dekat resepsionis. Alexander Carter. Pengacara itu berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, rahangnya mengeras seolah menahan emosi.Ia bahkan tidak perlu menebak alasan pria itu datang. Sudah jelas.Dengan tawa kecil, Cassandra berjalan mendekat, tatapannya penuh percaya diri. "Kau terlihat tidak sabar, Alexander. Apa aku harus merasa tersanjung?"Alexander langsung menoleh, matanya tajam menatap Cassandra. Meski nada suaranya tetap tenang, Cassandra bisa merasakan kemarahan yang tertahan di balik kata-katanya."Kita perlu bicara," ucapnya singkat.Cassandra mengangkat alis, masih mempertahankan senyumnya. "Tentu. Kau ingin wawancara eksklusif?"Alexander mendengus, jelas tidak terhibur. "Jangan bercanda, Cassandra. Ini bukan soal permainan kata-kata di media."Cassandra melipat tangan di depan dadanya. "Lalu apa? Ji
Cassandra masih duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Pikirannya masih tertuju pada berita yang baru saja dipublikasikan, membayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang merasa terusik olehnya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menunjukkan nomor yang tidak dikenal. Tanpa ragu, Cassandra mengangkatnya dan mendekatkan ke telinga."Cassandra," suara di seberang terdengar dalam dan berat, "kau telah melangkahi batas. Tarik beritamu sebelum kau menyesal."Cassandra mengangkat alisnya, tidak sedikit pun terkejut. Dia sudah menduga ini akan terjadi."Dan jika aku tidak mau?" tanyanya santai, menyandarkan tubuh ke kursinya.Hening sejenak. Kemudian suara itu berbicara lagi, lebih dingin dari sebelumnya. "Aku yakin kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang terlalu banyak bicara."Cassandra tersenyum tipis. Ancaman ini terlalu klise. Dia sudah mendengarnya berkali-kali sebelumnya."Oh, jadi aku akan 'menghilang secara misterius' seperti mereka?" ucapnya den
Cassandra mendorong pintu kaca kantor The New York Tribune dan melangkah masuk dengan cepat. Redaksi masih ramai meski malam sudah mulai larut. Suara ketikan cepat dari rekan-rekannya bercampur dengan dering telepon dan diskusi singkat antar reporter yang berlalu-lalang. Tapi Cassandra tak memedulikan semua itu. Pikirannya masih tertuju pada kasus Thomas Gallagher—dan ekspresi frustasi Alexander Carter saat persidangan tadi.Ia melempar tasnya ke meja, menyalakan laptop, lalu mulai mengetik dengan cepat.**“Ketika hukum berpihak pada yang berkuasa, siapa yang melindungi mereka yang tak punya suara? Thomas Gallagher hanya seorang pria biasa, seorang petani kecil yang tanahnya diambil begitu saja oleh korporasi raksasa yang berlindung di balik celah hukum. Hari ini, pengadilan menolak tuntutannya—bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena sistem yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keadilan.Ini bukan hanya tentang Thomas. Ini tentang kita semua. Tentang bagaimana mereka yang pu
Lorong luar ruang sidang terasa berat dengan keheningan yang mencekam. Thomas Gallagher duduk di bangku panjang, bahunya merosot, matanya masih menatap kosong ke lantai. Kekalahan yang baru saja ia alami membuatnya kehilangan segalanya—tanahnya, rumahnya, dan keyakinannya terhadap keadilan.Alexander Carter berdiri di sampingnya, berusaha memberikan penghiburan meskipun ia tahu kata-kata tidak akan cukup. Kliennya telah menjadi korban permainan kotor, dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya.Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang dengan penuh percaya diri berjalan ke arah mereka.“Tuan Gallagher?”Suara seorang wanita membuat Alexander mendongak. Seorang wanita muda berdiri di depan mereka, mengenakan blazer hitam yang pas dengan tubuhnya, dipadukan dengan jeans gelap yang memberikan kesan santai namun profesional. Rambut cokelat keemasannya tergerai dengan rapi, dan sorot matanya tajam, penuh determinasi.“Saya Cassandra Sinclair, jurnalis dari The Ne
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen