Share

02. Escape Plan?

Semuanya tertata rapi; appetizer, main course, dessert, berbagai varian minuman tersaji di meja makan. Seperti makan malam di restoran ternama, namun ini di rumah Rafa. Meja terbuat dari kayu dengan aksen emas tampak menarik mata Anin.

Makan malam dihadiri oleh Sarah, Lucas, Dara, dan Emilio—tunangan Dara. Senyuman ramah tak henti tercetak di wajah kedua orang tua Rafa. Anin jadi tidak enak hati dengan sandiwara yang dibuat, namun bagaimana lagi? Ini memang harus ia lakukan.

“Anin, kuliah lo gimana?” Dara dengan senyuman dan suara lembutnya bertanya.

Anin kikuk sendiri, “Lancar Kak.” Jawab Anin sekenanya, tak lupa ia memperlihatkan senyumannya.

Dara terkekeh, “Maksud gue, kalau lo nanti nikah. Kuliah lo mau lanjut?”

Anin termenung sesaat. Belum sempat ia menjawab, Rafa sudah mengeluarkan suaranya.

“Dia akan tetap kuliah.” Ucapnya tegas. Rafa menatap Anin yang hendak menambahkan ucapan Rafa, memberikan isyarat bahwa tidak usah berbicara terlalu banyak.

“Oh, bagus kalau gitu Anin. Lanjutkan dulu pendidikan, tidak usah terburu-buru punya momongan.” Timpal Sarah.

Anin mengangguk, siapa juga yang mau punya anak?

Selanjutnya mereka benar benar larut dalam makan malam yang diselingi dengan percakapan ringan. Anin menyukai keluarga ini, rasanya hangat. Namun tidak menyukai Rafa dengan sikap arogannya.

Dalam suapan terakhir, Anin termenung. Ia harus memikirkan rencana kabur dari perjodohan ini dengan matang. Karena apabila ia sudah melangkah terlalu jauh, akan banyak hati yang mungkin tersakiti. Terutama orang tua Rafa dan Dara. Makan malam sebetulnya sudah selesai, Dara dan Emilio pun sudah meninggalkan ruangan makan. Hanya tersisa mereka berempat di ruangan ini.

Lamunan singkatnya buyar. Anin menegang ketika merasakan tangan Rafa di pinggangnya. Pandangannya sontak menurun ke arah pinggangnya, mendapati tangan Rafa merangkul pinggangnya dengan posesif. Jantungnya berdetak kencang,  mengapa perasaannya seperti ini?

Rafa memandang Anin, lalu mengalihkan pandangannya. “Mi, Rafa anter Anin pulang dulu.”

Sarah memberenggut, “Anin nginep di sini aja, ya? Kan Mami juga mau ngobrol banyak.” Ucapnya dengan penuh rayuan. Rafa menatap mamanya tidak percaya, sedangkan Anin cengo, menginap katanya?

“Ah Tante,” belum sempat Anin melanjutkan perkataannya, Sarah sudah menyela.

“Kok Tante? Panggil Mami aja sayang, kan bentar lagi juga kalian nikah.” Sela Sarah.

“Iya Nak, anggap kami orang tua kamu saja. Tidak usah dibeda-bedakan.” Lanjut Lucas.

Anin tersenyum tidak enak, “Umm, Anin pulang aja ya Mi? Nggak enak kalau nginep.” Anin menatap Rafa, meminta pertolongan. Ini tidak bisa terjadi, bagaimana jika ia sudah terlalu dekat dengan keluarga Rafa?

“Mi, Anin belum terbiasa. Lain kali, día akan menginap.” Sanggah Rafa, ia juga tidak ingin Anin sedekat itu dengan keluarganya. Urusannya bisa lebih sulit lagi.

Sarah bangkit dari kursinya, mendekati Anin. Tangannya memeluk bahu Anin, “Sekali ini ya sayang? Mami ingin mengobrol lebih lama.”

Kalau sudah seperti ini, akan susah bagi Rafa untuk membujuk mamanya. Apalagi papanya pun sudah setuju apabila Anin menginap di rumah. Rafa menghela napas, semoga saja berjalan sesuai rencana.

Anin bingung sendiri. Dengan terpaksa dan berat hati ia mengangguk, “Iya Mi, Anin akan menginap.” Ucapnya pelan.

* * *

“Tidak tidur?”

Anin menoleh ketika suara berat milik Rafa terdengar oleh telinganya. Anin menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Memang ini sudah hampir tengah malam dan Anin belum bisa memejamkan matanya. Jadi, Anin memutuskan untuk pergi ke balkon untuk sejenak mendinginkan kepalanya yang sudah penuh oleh pikiran. Balkonnya mengarah ke kolam pribadi dan taman belakang rumah Rafa. Indah dan sejuk.

Rafa menyandarkan tubuhnya di pintu. Rafa memang menawan bahkan hanya dengan piyamanya, Anin tidak menyangkal itu. Namun Anin hanya tidak ingin menikah dengan lelaki yang baru ia temui. Anin hanya tidak ingin membohongi perasaannya sendiri.

Angin malam terasa menusuk tubuh Anin yang hanya terbalut piyama tipis. Piyama yang dipakai oleh Anin adalah piyama baru yang Sarah pesan secara mendadak karena calon menantunya akan menginap. Sarah memang begitu senang ketika Anin memutuskan untuk menginap di rumahnya. Seperti yang ia katakan, mereka banyak mengobrol. Percakapan mereka selesai pada pukul sepuluh, ketika Sarah sudah merasa mengantuk.

“Lo gak serius kan sama perjodohan ini?” Anin mencoba memulai percakapan dengan tanpa emosi. Setidaknya, ia harus memastikan bahwa Rafa berada di pihaknya.

Rafa mengangguk, “Saya tidak tertarik pada anak kecil.” Singkat, pelan, dan jelas. Anin geram, sombong sekali.

Baiklah, memang Anin tidak boleh masuk ke dalam perangkap pesona Rafa. Sikapnya saja membuat Anin mual, sangat arogan. Padahal keluarganya begitu ramah, berbanding terbalik.

“Tetap lakukan sandiwara yang baik, jangan sampai keluarga saya curiga.”

Setelah mengatakan kalimat itu, Rafa berbalik ke dalam menuju kamarnya. Anin tidak peduli. Ia hanya perlu melakukan rencana melarikan diri dari perjodohan ini secepatnya.  Karena udara semakin dingin dan Anin tidak ingin menyiksa tubuhnya lebih lama, Anin pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah Rafa.

Kamar yang Anin tempati, memang sepertinya sudah disiapkan. Sprei berwarna hijau pastel kesukaan Anin membalut ranjang, pakaian untuk Anin memenuhi lemari, dan jangan lupakan skincare dan make up branded tertata rapi di meja rias. Anin harus bersyukur atau bagaimana?

Anin mengunci pintu kamar dan langsung merebahkan diri di ranjang yang empuk. Setelah orang tuanya meninggal, hadir masalah baru. Dari mulai akademik, hingga perjodohan ini. Namun Anin sadar, keluarga Rafa menerimanya dengan terbuka. Mungkin jika Anin menerima perjodohan ini dengan hati yang ikhlas, hidupnya akan membaik dan terjamin?

Namun, lagi lagi hati Anin menolak. Ia tidak mau menikah dengan seorang lelaki yang tidak ia cinta. Bagaimana nasib pernikahannya nanti apabila ia memaksakan perjodohan ini? Prinsipnya adalah menikah sekali seumur hidup, dengan pasangan yang ia cintai.

Anin menghela napas panjang, mencoba memejamkan matanya. Ia ingin tertidur dan melupakan tentang perjodohan ini. Tetapi Anin teringat satu hal, yaitu rencana kaburnya. Baiklah, Anin tidak jadi terlelap. Ia membalik tubuhnya menjadi tengkurap dan mulai membuka ponselnya.

Jemarinya mengetikkan sebuah negara pada aplikasi travel. Ia harus melarikan diri dalam waktu dekat. Spanyol adalah negara tujuan Anin. Selain negara itu indah, Anin memang memiliki cita-cita untuk tinggal disana.

Setelah memastikan harga tiket dan biaya hidup disana sesuai dengan budget tabungan Anin, Anin memilih untuk memesan tiket pesawat pada dua minggu ke depan. Anin kira waktu dua minggu akan cukup untuk persiapannya disini.

Tinggal mengurus visa, apartemen, dan juga kampus atau pekerjaan. Gue harus cari kerja disana, biaya hidupnya lumayan mahal.

Anin tersenyum puas, semoga rencananya tidak gagal. Sekarang Anin hanya tinggal memikirkan bagaimana caranya ia kabur tanpa dicurigai oleh keluarga Rafa. Itu hal terpenting. Karena Anin sadar, selain akan menyakiti hati kedua orang tua Rafa, Anin juga akan menyakiti perasaan orang tuanya di surga sana.

Aku harap mama dan papa ngerti.

* * *

Yeay! Second chapter is up! How about your opinion? I hope you like it! <3

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status