Share

01. Lies

Semburat oranye yang memasuki jendela kamar Anindita tidak membuatnya mengalihkan pandangan. Anindita sedang sibuk menatap langit-langit kamarnya. Ia masih mencerna apa yang baru saja dilakukannya bersama Rafa Aveeno. Iya, Rafa Aveeno. Lelaki tampan, berwibawa, dan tajir yang mengaku diberi amanah oleh orang tua Anin untuk menikah dengannya. Ini gila menurut Anin, apa yang direncanakan orang tuanya?

Anin baru berumur 20 tahun dan harus sudah memiliki suami? Ia saja tidak mengenal Rafa, mengapa harus menikah? Mengapa harus dijodohkan? Ini sudah abad ke-20, apa perjodohan masih ada?

"Argh!" Anin tidak tau harus berbuat apa, masalah akademiknya saja sudah membuat pikirannya terbebani dan sekarang ditambah dengan perjodohan gila ini. Mengapa bunda dan ayahnya tidak memberi tau Anin sebelumnya?

Anin menghela napasnya, ia ingin mengistirahatkan otaknya yang sempit itu sekarang. Karena jujur, ia sudah cukup lelah dengan apa yang menimpanya belakangan ini. Mata Anin menatap nyalang langit-langit kamar, ia mengatur napasnya.

“Saya harap anda menyetujui perjodohan ini karena ini merupakan perjanjian antara orang tua kami.” Rafa berucap dengan tenang. Berbanding terbalik dengan Anin yang menatapnya tajam dengan napas memburu.

Mereka sudah sampai di butik milik Anne Ayila, perancang busana yang karyanya sudah mendunia. Orang tua Rafa sudah menyiapkan segalanya, dari mulai busana pengantin, venue, wedding organizer, catering, sampai dengan seserahan. Keluarga Rafa memang memiliki channel dengan banyak orang terkenal di Indonesia, salah satunya dengan Anne Ayila. Maka dari itu, bukan hal yang sulit untuk Rafa agar bisa menggunakan jasa Anne Ayila.

“Lo nggak usah ngada-ngada. Mana mungkin orang tua gue ngejodohin gue! Mereka tau sendiri kalau gue itu nggak suka diatur-atur.” Ucap Anin. Ia masih menyangkal bahwa perjodohan ini adalah perjanjian orang tuanya.

“Nanti orang tua saya yang akan membuktikannya. Sekarang, anda cukup melakukan apa yang saya perintahkan.”

Tidak ada percakapan lain sejak kalimat terakhir Rafa itu, Anin terdiam. Matanya sibuk memandangi gaun gaun berwarna putih yang terlihat elegan dan mahal. Pikirannya berkeliaran. Berdasarkan pernyataan Rafa, ada dua kemungkinan; yang pertama adalah perjodohan ini memang betul merupakan perjanjian kedua orang tua mereka dan yang kedua adalah perjodohan ini hanya manipulasi yang dibuat oleh Rafa namun melibatkan orang tuanya.

Tapi logika Anin menolak kemungkinan kedua, karena memang tidak masuk akal. Mengapa Rafa ingin membuat perjodohan palsu sedangkan mereka saja baru bertemu hari ini? Anin takut bila kemungkinan pertama yang ia pikirkan adalah kenyataan yang harus ia terima.

Drrt

Getaran ponsel menyadarkan Anin dari lamunannya. Anin melirik ponselnya yang bergetar. Ia bangkit dari posisinya untuk mengambil ponsel yang terletak di nakas samping ranjang. Keningnya berkerut, nomor tidak dikenal tertera pada layar ponselnya.

From: +62 81213456789

Saya Rafa. Apakah bisa makan malam di rumah saya?

Ya Tuhan! Apalagi ini? Makan malam di rumah Rafa katanya? Anin tidak mau! Ia saja baru akan memikirkan rencana kaburnya, bagaimana mungkin ia harus makan malam bersama di rumah Rafa? Dengan cepat jemari Anin mengetikan sesuatu di ponselnya, membalas pesan dari Rafa.

To: +62 81213456789

Gak! Gila lo.

Baiklah, Anin tidak perlu memikirkan perasaan Rafa. Karena Rafa saja tidak memikirkan perasaan Anin. Tidak ada untungnya bagi Anin untuk menjaga perasaan Rafa.

From: +62 81213456789

Tetapi ini merupakan suruhan mami saya.

Sh*t! Mengapa Rafa menggunakan kata kata itu untuk membujuknya? Iya, meskipun attitude Anin bisa dikatakan minim, namun Anin mana mungkin bisa menolak orang tua? Anin menghela napasnya dan mulai mengetikkan pesan untuk Rafa.

To: +62 81213456789

Yaudah.

Anin mengerang, ia tidak boleh menyerah. Anin harus tetap memikirkan rencana yang matang untuk menggagalkan perjodohan ini. Anin tidak boleh kalah.

From: +62 81213456789

Saya akan menjemput anda jam 7 malam ini. Saya tidak suka menunggu.

Cih! Memangnya día siapa bisa mengatur Anin dengan seenak jidat? Mengapa bukannya bersikap baik agar Anin luluh dan mau menyetujui perjodohan ini? Memang niat menggagalkan perjodohan ini adalah jalan terbaik.

* * *

Rafa benar benar menepati omongannya. Ia sudah sampai di lobby apartemen Anin jam tujuh malam. Pandangan Rafa terfokus pada ponselnya ketika pintu lift yang Anin tumpangi terbuka. Anin berjalan melangkah keluar dari lift, pandangannya terkunci pada sosok Rafa Aveeno. Dengan balutan kaus berkerah warna hitam dan celana chinos, Rafa terlihat memesona.

Anin menunduk, menatap pakaian yang ia pakai malam ini. Dress berlengan warna hitam polos sebawah lutut ia padankan dengan kalung dan high heels berwarna silver. Anin menyadari, mengapa pakaiannya dengan pakaian Rafa terlihat senada?

“Telat lima belas menit.” Kalimat pertama yang mengawali percakapan mereka. Rafa tidak menatap Anin yang berada tepat di depannya, ia langsung beranjak dan berjalan menuju pintu utama apartemen.

Anin menggeram, dirinya sudah berusaha untuk menghargai acara makan malam ini. Namun Rafa dengan mudahnya bersikap seperti itu karena Anin hanya telat turun ke lobby lima belas menit? Tidak dapat dipercaya!

Dengan langkah kecilnya Anin berusaha menyamai langkah Rafa yang lebar. Heels dengan tinggi 17 cm itu membuatnya sedikit kesusahan mengejar Rafa.

“Lo niat jemput gue gak sih?” cecar Anin ketika sampai tepat di samping mobil Rafa. Rafa tidak menjawab, ia hanya membukakan pintu untuk dirinya dan masuk ke kursi kemudi.

Dengan emosi yang memuncak, Anin mengikuti kegiatan Rafa masuk ke dalam mobil. Mobil mewah, tentu saja. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, Anin yakin Rafa menggunakan barang mewah dan mahal.

Dalam perjalanan menuju rumahnya, tidak ada percakapan yang terjadi. Anin diam dengan kekesalan yang berada di kepala, Rafa pun hanya fokus menyetir. Sebetulnya jarak antara apartemen Anin dan rumah Rafa tidak sejauh itu, hanya sekitar 30 menit apabila ditempuh dengan mobil. Namun entah mengapa, perjalanan kali ini terasa lama bagi Rafa. Rasa canggung memenuhi mobilnya kali ini.

Anin mengedarkan pandangannya ke arah samping kiri, mulai terlihat perumahan elit, taman yang terawat, dan lampu jalan yang menerangi perjalanan mereka. Dada Anin bergemuruh kencang, ia nervous akan bertemu dengan orang tua Rafa. Harus banyak sandiwara yang ia lakukan malam ini.

Beberapa menit berikutnya, mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di pekarangan rumah Rafa. Gerbang tinggi menjulang menarik perhatian Anin.

Gerbangnya aja tinggi banget, apalagi rumahnya!

Terlihat norak, namun Anin memang tidak pernah memiliki hubungan yang dekat dengan petinggi perusahaan. Selama hampir tiga tahun belakangan, Anin tinggal di apartemen.

Melihat Rafa turun dari mobil, Anin pun bergegas mengikuti Rafa karena sadar Rafa tidak akan membukakan pintu untuknya. Anin melangkahkan kakinya mengikuti Rafa. Rumah Rafa memiliki aksen klasik dengan pintu kayu besar terpampang di depan. Terlihat dua orang wanita yang Anin yakini adalah asisten rumah tangga itu berdiri di depan pintu, bersiap untuk membukakan pintu.

“Lakukan sandiwara yang baik, saya yakin anda paham apa yang saya maksud.” Kalimat Rafa terdengar dan dicerna dengan baik oleh Anin. Baiklah jika itu yang Rafa inginkan, Anin akan membuat sandiwara ini terlihat nyata dan semulus mungkin.

Dengan senyum tidak ikhlas, Anin berjalan menyamai langkah Rafa. Ia mengalungkan tangannya pada tangan Rafa. Rafa tentu terkejut dengan perlakuan Anin. Anin hanya mengangkat bahunya tak peduli.

“Sandiwara yang baik, bukan?” Anin menyeringai.

* * *

That’s the first chapter! I hope you like it! <3

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status