Kesulitanku sejak ditinggal Raka adalah melepaskan diri dari bayangan semu keindahan yang ingin aku ciptakan bersamanya. Jujur, aku tidak pernah memiliki keinginan untuk membangun masa depan dengannya. Tapi itu dulu. Nyatanya waktu menyadarkan aku, bahwa ada Raka yang selama ini aku abaikan.
Nahasnya, saat perasaanku mulai berkembang menjadi rasa cinta. Raka dengan seenaknya pergi dengan alasan mengejar cita-citanya sebagai pilot. See, dia berhasil mematahkan hatiku. Dia memilih untuk tidak menjadikanku kekasihnya pada waktu itu.
Komunikasi kami masih sering dalam tahun-tahun pertama. Kupikir Raka tidak akan menjadikanku kekasihnya, namun setelah beberapa tahun kami LDR, dia datang dan menyatakan keinginannya untuk menjalin hubungan. Akhirnya, kami sepakat untuk menjalin hubungan.
Beberapa bulan setelahnya, Raka tiba-tiba menghilang. Dia hanya sekali dua kali mengunjungiku, sebelum memutuskanku hanya dengan tiga baris kata via SMS. Entah kenapa, Raka bisa setega itu padaku. Apa mungkin dia hanya ingin balas dendam padaku, karena aku terlambat menyadari kalau sebenarnya dia mencintaiku?
Ah, Raka.
And after all this time, you're still the one I love.
Terdengar klise. Tapi, cinta memang seunik itu.
Kuembuskan napas lelah, ternyata hanya dengan memikirkan dan merindukan kenanganku bersama Raka dulu membuat hatiku lelah. Rasanya ingin berhenti, menata kehidupan yang baru. Meski sulit, aku ingin sekali mengubah hidupku yang seperti monokrom ini menjadi pelangi seperti dulu lagi, iya seperti ketika aku bersamanya.
Bermain di rumah Ghina sampai malam, lagi pula kegiatan wanita single sepertiku apalagi selain mengacaukan rumah orang. Termasuk rumah Ghina. Sekarang mau mengajak Ghina shopping tidak sebebas dulu, Ghina mesti izin sama Erfan––suaminya. Dan kampretnya, Erfan tidak pernah mengizinkan Ghina pergi shopping kalo tidak bersamanya.
Ya kali gue dijadiin obat nyamuk.
“Rain, titip Calvin dulu. Laki gue datang kayaknya,” ujar Ghina. Mengasongkan Calvin padaku, segera aku menggendong balita bermata minim ini. Dan membiarkan dia menjemput sang pangeran hati yang baru pulang mencari nafkah.
“Weh, tamunya kok gak pernah berubah. Gak bosen tiap hari berkunjung ke istana gue, Rain?”
Itu sindiran garis keras dari Erfan. Aku mendengkus seraya memutar bola mata. “Protes aja lo,” balasku.
“Jagoan, Papa. Sini sama Papa.” Erfan merentangkan kedua tangannya di depan Calvin, dan Calvin langsung meronta ingin digendong sang Ayah. Erfan mengangkat Calvin tinggi-tinggi, membuat balita itu tergelak. Ah, coba saya aku dan Raka menikah. Pasti bahagia seperti keluarga kecil Ghina.
Ah, kenapa harus Raka lagi?
“Dapat undangan reuni.” Erfan mengeluarkan kertas undangan berukuran kecil dari dalam tasnya.
Ghina mengambil undangan itu. “Reuni apa, Yang?”
“SMA Luzardi, angkatan kita.”
Aku mengernyit. “Kok, gue nggak dapat?”
“Dapat kali. Cuma dianterin ke rumah lo paling,” kata Erfan. “Arman yang punya ide,” imbuhnya.
“Arman yang mana, sih?” tanyaku.
“Arman, yang jadi Ketos angkatan kita. Dia bilang udah lama nggak ada acara reuni akbar buat angkatan kita,” jelas Erfan.
“Wajib datang nih?”
Erfan mengangkat bahunya. “Nggak harus, sih, tapi barang kali lo kangen teman-teman lo waktu SMA.”
“Gak mau datang ah, pasti nanti Raka datang sama anak bininya,” cicitku berspekulasi.
“Gagal move on sih lo,” cibir Erfan, tertawa.
Aku mendelik sebal.
“Acaranya seminggu lagi, kita datang yuk? Meet up gitu sama teman lama,” ujar Ghina antusias. “Pokoknya lo wajib datang, acaranya malam minggu juga, Rain.”
“Kok gitu, sih?” protesku.
“Demi kesejahteraan bersama, Raina sayangku.”
“Bisa makin ringsek hati gue kalau lihat Raka ngegandeng pinggang istrinya dan juga gendong anaknya.” Aku mengembuskan napas lelah.
Sepasang suami istri di depanku justru tertawa di atas penderitaanku. Double sableng! Seharusnya mereka memberikan solusi terbaik bukan malah menertawakan kehampaan hati ini. Tapi buat apa juga, solusi mereka selalu keluar dari jalur aman. Erfan berdiri, dia pergi ke kamar untuk memindahkan Calvin. Karena bayi bermata minim itu sudah tertidur pulas di pangkuannya.
“Galih nganggur kali, Rain. Bisa tuh lo pamerin depan anak-anak nanti. Anggap aja Galih itu batu loncatan move on lo dari Raka.”
“Ogah,” tolakku cepat. “Stop bahas Galih!” imbuhku.
“Galih bakal jadi lurus kalau udah nikah, Rain.” Erfan yang baru kembali dari kamar Calvin mulai membela sahabatnya. “Dia itu tipe cowo yang emang tahu situasi dan kondisi. Ada saat di mana dia serius dan ada saat di mana dia lagi bercanda. Walaupun bercandanya suka berlebihan, ya maklum aja kebanyakan gaul sama manusia absurd kayak Wisnu.”
“Iya, bela aja terus teman lo,” decakku.
Erfan tertawa. “Rain, gue gak bela Galih. Seandainya nih, Raka yang ada di posisi Galih, gue pasti bela dia juga. Cuma masalahnya Raka udah punya istri, Rain. Dan di antara teman-teman gue cuma Galih sama Wisnu yang belum nikah.”
“Gue gak tertarik jadiin Galih calon suami,” pungkasku. Lalu mengecek jam dinding yang di rumah Ghina. “Gue balik deh, udah jam tujuh. Nanti gue pikir-pikir lagi buat datang ke reuni.”
Kalau aku memutuskan datang, dan Raka juga datang bersama keluarganya. Maka siap-siap hatiku kembali tergores luka yang belum kering sepenuhnya.
“Hati-hati lo, gak usah ngebut-ngebut nyetirnya,” dumel Ghina.
“Siap, Ghin. Gue masih sayang sama nyawa gue sendiri.” Aku menyeringai lebar. Menyampirkan tas miniku. “Puas-puasin deh lo berdua kelonan, see you.”
***
Mengernyitkan alis saat melihat mobil Galih terparkir di depan rumahku. Iya, aku sudah sangat hafal betul plat nomor polisi mobil Galih. Karena setiap hari, dia selalu gentayangan di sekitarku.
Melangkah memasuki pintu rumah yang terbuka lebar, aku mengucap salam dan menyapa orang rumah dengan cetar seperti biasa.
“Nah, tuh, anaknya pulang.” Bunda berseru.
Berdecak pelan, menatap tajam pada Galih yang kini malah tersenyum lebar padaku. Ada makna apa di balik senyumnya yang lebar itu?
“Sini, Rain. Duduk,” kata Ayah.
“Bentar, Yah. Ke kamar dulu,” jawabku. Langsung meninggalkan ruang tamu menuju kamar.
Aku punya firasat buruk dengan kedatangan Galih. Selain gak waras dia juga nekat. Berani melakukan apa pun asalkan apa yang dia inginkan bisa dia dapatkan. See, aku merasakan sesuatu yang ganjal di balik kedatangan Galih ke rumahku. Apalagi sampai mengobrol dengan Ayah.
Dengan malas aku kembali turun ke lantai bawah, mengambil segelas air putih dari dispenser sebelum bergabung ke ruang tamu dan duduk di sebelah Bunda. Melirik Galih sejenak, aura ketegangan terlihat di wajahnya.
“Galih datang ke sini untuk meminta restu Ayah.”
Penuturan Ayah meembuatku tersedak saat minum. Aku langsung melayangkan tatapan bertanya pada Galih dan sayangnya hanya dibalas dengan senyum misterius.
“Maksudnya apa, Yah?”
“Iya, jadi Galih berniat melamar kamu dan menikahi kamu. Kenapa kamu gak bilang kalau sudah pacaran selama setahun sama Galih?”
“Apa?” Aku tercengang.
Setahun ndasmu, Gal.
“Iya, kan? Kok kamu kaget gitu?” Ayah menatapku bingung.
Aku meringis sambil menggaruk leher bagian belakang. Kenapa Ayah mudah terhasut dengan tipu muslihat si Biji Selasih?
“Gak pa-pa, Yah.” Aku berkilah dengan ekspresi lesu.
“Nah, jadi gimana? Kamu terima Galih, Rain?” Kali ini Bunda yang betanya.
“Aku mau bicara dulu sama Galih,” putusku. Lalu memberi kode kepada Galih untuk segera bangkit dan mengikutiku ke samping rumah. Aku perlu berbicara empat mata dengan Galih.
“Lo tuh cowok paling nekat dan gak waras yang pernah gue temui,” makiku saat sudah berhadapan dengannya.
Dia justru tertawa dengan begitu santainya. “Gue nekat karena gue serius, Rain.”
“Tapi gak harus sama gue, Gal.” Rasanya ingin mencakar-cakar wajah Galih dengan kuku panjangku. Sumpah, greget banget sama pria seperti Galih.
“Gue maunya nikah sama lo, gimana?”
“Tapi gue gak mau!” sungutku.
“Gue akan bikin lo menjadi mau,” ujar Galih lugas, membuatku merinding tiba-tiba.
“Gal, di luar sana banyak cewek-cewek cantik yang lebih cantik dan sempurna dibanding gue. Gue gak mau nyakitin hati lo sama hati gue sendiri. Gue gak mau jadiin lo pelampiasan di saat hati gue masih dimiliki oleh orang lain yang sayangnya gak ditakdirkan buat gue miliki.”
“Lepasin bayang-bayang Raka, Rain. Lo gak akan bisa selamanya hidup dengan bayangan semu. Lo butuh pendamping hidup, dan izinkan gue buat mendampingi lo.”
“Gampang banget lo ngomong,” jawabku emosi. “Yang sakit hati di sini tuh gue, Gal.”
“Iya, gue tahu. Dan izinkan gue buat menyembuhkan sakit hati lo.”
Aku melongo menatap Galih. Speechless. Tidak mampu membalas kalimatnya.
“Lo mau, 'kan?” Galih menyentuh penggelengan tanganku. Dengan cepat aku menghindar.
“Gak!” tolakku tegas.
“Rain, sekali aja lo coba buka hati lo buat gue. Atau minimal satu bulan, lo kasih waktu buat kita bersama dan mengenal satu sama lain. Jika sebulan itu berhasil, gue mau lo terima gue. Namun, jika sebulan gak berhasil, okay, gue akan lepasin lo.”
Aku menghela napas, lalah berdebat dengannya. “Baik, hanya satu bulan,” putusku akhirnya. “Tapi, tidak untuk tunangan atau apa pun itu. Hanya jalan.”
“Gue setuju,” jawab Galih. Dapat kulihat sebuah lengkungan senyum yang menyiratkan kelegaan terbit dari bibirnya.
“Dan lo harus ngomong sama orang tua gue.”
“Iya, gue bakal bilang,” ujarnya. “Udah ngomongnya?”
Aku menganggukkan kepala.
“Ya udah, kita balik ke dalam lagi,” ajak Galih.
Lagi-lagi aku menjawabnya hanya dengan anggukan kepala.
Lalu, berjalan duluan kembali ke rumah. Sementara Galih mengekor di belakangku. Semoga keputusan yang kuambil tidak akan membuatku menyesal. Meski aku masih berharap Raka kembali, namun aku tahu hal itu adalah sebuah kemustahilan. Raka sudah bahagia, sementara aku masih meratapi kepergiannya.
“Jadi, gimana?” Ayah bertanya padaku.
“Galih yang akan jelasin, Yah.” Aku melempar tatapan pada Galih, memintanya untuk berkata jujur pada Ayah.
Sialan banget dia ngaku-ngaku sebagai kekasihku.
“Begini, Om.” Galih berdehem. Kulihat jakunnya naik turun, artinya dia baru saja meneguk saliva. “Sebenarnya, saya sama Raina belum pernah pacaran. Maaf, saya berbohong sama Om tadi. Tapi, kalau niat saya untuk melamar Raina itu serius. Hanya saja, Raina ternyata belum siap. Kita sepakat untuk mencoba mengenal lebih dekat satu sama lain selama satu bulan,” paparnya.
Aku menatap kagum. Seorang Galih dengan otak setengah warasnya bisa berbicara dengan serius di depan orang tuaku.
“Baiklah, semua keputusan ada di tangan kalian,” ujar Ayah. “Hanya Ayah sarankan, jangan main-main mengambil keputusan. Kalian sudah sama-sama dewasa, pikirkan matang-matang sebelum bertindak.”
“Iya, Yah,” balasku menggangguk pun dengan Galih.
Berharap ini akan menjadi awal yang baik untuk hidupku dan kisah asmaraku yang sudah lama kuabaikan.
Raina, lo harus move on. Gak ada lagi Raka dalam hidup lo. Dia sudah mati, bersama luka yang dia torehkan. Ditinggal nikah, tanpa satu kepastian. Adalah satu hal yang menyakitkan.
Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.
Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.
Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak
“Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja
Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men