Hari ini mungkin akan menjadi awal dari segalanya. Setiap ada acara besar rumahku selalu disulap bak ballroom hotel. Tamu undangan sudah mulai memenuhi ruangan. Banyak kolega-kolega Ayah juga kolega ayahnya Galih yang hadir. Sementara aku hanya mengundang teman dekatku saja sewaktu kuliah dan sekolah.
Galih lebih banyak tamu undangannya, teman sekolah, kuliah dan teman satu profesinya. Termasuk Raka. Mau tidak mau aku harus mengakui kalau Raka dan Galih itu sangat akrab saat sekolah, bahkan Raka hanya akrab dengan segelintir orang saja. Sahabatnya yang kutahu hanya sesama anggota ekskul futsal. Galih, Erfan, Wisnu, Anwar, Fahmi dan Dipo.
Mataku memanas saat sebuah cincin mungil melekat erat di jari manisku. Aku menatap Galih, lelaki itu melontarkan senyum manisnya untukku. Senyuman yang justru menyayat hati, karena aku merasa secara tidak langsung aku menyakitinya. Perasaan Galih terpaut padaku sementara perasaanku masih terombang-ambing.
Selesai memasa
Duduk melamun di Cafe, menatap lurus lalu lalang kendaraan dari balik kaca besar di depanku. Beberapa kali aku menghela napas berat. Segelas matcha tersaji di meja dan belum sama sekali kucicip. Jika bercermin, wajahku amat sangat mengenaskan. Mata panda, pucat, kusam seperti tidak punya sinar yang cerah.Meringis pilu seraya menatap lipatan kertas yang menjadi tersangka kenapa air mataku jatuh dengan derasnya semalam. Lipatan kertas sederhana namun punya isi yang bermakna. Hatiku sesak setiap kali membaca kata per-kata tulisan tangan milik Raka yang ia tuangkan dalam secarik kertas yang kini berada dalam genggamanku.Entahlah...
Keberangkatanku ke Palembang pagi ini hanya diantar Galih ke Airport. Aku memberanikan diri untuk berangkat sendiri tanpa ditemani siapapun. Rencananya Galih ikut, tetapi tidak dapat izin dari rumah sakit.Emang stress dia. Ya gak bakal dikasih izin.Lagi pula aku bukan anak kecil yang harus dimomong ke mana-mana. Kalau pun nyasar, teknologi sudah canggih sekarang. Jadi apa yang harus ditakutkan? Aku berani.Dan resenya Galih itu, dia menyerocos sepanjang jalan. Sudah seperti ibu-ibu yang anaknya hendak pergi camping ataupun study tour. Banyak sekali pepatah dan larangannya.“Pokoknya sampai sana lo harus kabarin gue, kalau ada apa-apa di hotel langsung telepon pihak hotelnya, kalau nyasar di jalan lo buka aplikasi Maps, makan harus tiga kali sehari, jangan lupa ngemil, jangan kerja terlalu diforsir, dan jangan lupa sama gue.”Serentetan wejangan itu dia lafalkan dalam satu tarikan napas. Aku jawab iy
Aku pernah ditawari untuk kerja di perusahaan Ayah, tapi menolak karena ingin berwirausaha. Menurutku wirausaha itu tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga, ya minimal kalau sudah maju aku hanya perlu ongkang-angking menerima laba dari hasil penjualan. Pada kenyataannya, kerja di sebuah instansi ataupun berwirausaha sama-sama capeknya.Harus aku akui, tanpa Ghina aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kedewasaan Ghina yang mampu mengontrol setiap pekerjaan.“Ini gue harus gimana, Ghin?”Ghina menggeram di ujung sambungan telepon. “Ya udah lo tinggal ngomong santai, lo bilang makasih udah berkunjung atau apalah itu semacam basa-basi atau persuasi gitu biar mereka ketagihan.”“Berbusa dong mulut gue?”“Bagi orang yang bisa nyerocos kayak lo itu satu hal yang biasa. Lo pasti bisa, okay?”“Hmm...”“Ya udah, gue sibuk nih. Nanti gue telepon lagi, fightin
Munafik jika aku bilang tidak senang ketika melewati waktu berdua dengan Raka di sisa hari ini. Tapi di sisi lain, rasa bersalah karena berbohong pada Galih dan menyembunyikan fakta kalau aku bertemu, ah bukan sekadar bertemu tapi hari ini aku malah jalan dengan Raka. Sesuatu yang bisa saja orang sebut sebagai perselingkuhan.Tapi Raka kembali menjadi Raka yang dulu, Raka yang menjadi sahabatku dan dengan suka rela menemaniku ke mana pun aku pergi. Itu dulu, terjadi ketika kami masih duduk di bangku SMA. Dan hari ini, Raka-ku telah kembali.“Kamu pasti sering ke Palembang?” tebakku, ketika kami baru saja sampai di hotel malam harinya.
Bagai ufuk barat dan timur, kita ini sepasang tapi tidak searah. ~RAINA~Kalau saja tidak akan di cap sebagai pasien rumah sakit jiwa, rasanya ingin sekali aku membanting semua barang yang ada di kamar hotel ini juga memecahkan cermin yang masih berani mengejek bayanganku.Tapi buat apa menyesalinya. Aku pun tidak menolaknya. Aku pun hanyut dalam permainannya. Aku pun... Ah, sudahlah. Terlalu banyak membela diri padahal tidak pantas sama sekali.Dering ponsel kembali menyadarkanku pada kenyataan jika ini bukan mimpi. Dan kejadian semalam nyata terjadi.Mencari letak ponsel yang lupa kutaruh dari semalam. Bahkan aku sampai tidak memikirkan di mana keberadaan benda pipih itu. Aku terlalu larut dalam balutan rindu yang pada akhirnya membuatku menyesal dengan sendirinya.Kelabakan mencari ponsel, aku sampai mengeluarkan semua isi tas yang kemarin ku pakai jalan-jalan. Satu dari banyaknya benda yang jatuh di at
Galih menjemputku di bandara. Dia maksa. Padahal sudah kubilang, aku lebih baik naik taksi. Bukan tidak ingin dijemput, tapi pasti dia akan curiga dengan keadaan mataku yang bengkaknya luar biasanya ini. Terlebih bentuk mataku yang sedikit sipit, membuat bengkaknya semakin terlihat.“Ah, calon imam lo kangen banget ini.”Galih tidak segan untuk memelukku walaupun masih di bandara. Aku membiarkannya sejenak sebelum mendorong tubuhnya menjauh. Dia tidak protes.“Mata lo kenapa, Rain?” matanya memicing mengamati mataku.“Efek gak bisa pup, gue nangis.”“Parah banget, gitu aja nangis,” ledeknya menarik pipiku. “Sampai sekarang masih gak bisa pup? Pepayanya gak beli?”Aku hanya menggelengkan kepalanya.“Lo udah sarapan belum, kok lemes banget gitu?” Galih bertanya seraya menggendong ranselku.“Udah,” jawabku singkat.Aku terkesiap saat lengann
Sebulan berlalu, aku kembali menata hidupku. Mencoba melupakan kejadian yang terjadi sebulan ke belakang. Terus bersugesti dalam hati, dan menganggap kejadian malam itu hanya mimpi. Lagi pula sebulan ini aku tidak pernah melihat Raka di mana pun. Jadi larut dalam penyesalan juga tidak akan menyelesaikan masalah, lebih baik berjalan maju, berpikir positif, dan berharap yang terbaik.Hari ini aku sibuk membereskan barang di apartemen dengan bantuan Galih dan Ghina. Aku resmi keluar dari rumah dan pindah ke apartemen. Rencana pindah dari beberapa minggu yang lalu, tapi harus tertunda karena Kak Kinan melahirkan. Dan aku yang kebagian mengurus si kembar. Itu membuatku kewalahan karena mereka super aktif dan tidak bisa diam.Ditambah lagi tour ke beberapa kota untuk membuka cabang Raighin Lupis. Beruntung kali ini ditemani sama Ghina, dan tidak bertemu Raka seperti sebuah kebetulan lagi.“Rain, ini figura keluarga bagusnya dipasang di sini deh biar kel
Merasa kurang enak badan, aku memilih berdiam diri di meja kerjaku. Membaluri dahiku dengan minyak angin supaya rasa pusing yang aku rasakan sedikit mereda.Pintu ruangan terbuka, Ghina baru saja masuk setelah mengecek perlengkapan dapur kafe. Ia memperhatikanku sebelum duduk di kursi kerjanya.“Masih pusing lo?”Aku mengangguk.“Mau minum obat?”Kali ini aku menggeleng. “Lo tahu kalau gue gak bisa minum obat.”Anti obat sebenarnya. Kalau sakitnya cuma pusing, atau pun flu aku lebih baik tidak minum obat.“Kayak anak kecil,” ledek Ghina. “Yaudah mending gue anterin lo pulang deh. Istirahat aja.”Aku menggeleng cepat seraya memijit-mijit dahi. “Gak. Di apartemen sepi. Di rumah terlalu rame. Mending di sini aja. Tiduran bentar juga paling ilang pusingnya.”“Yaudah. Lo tidur deh,” balas Ghina sambil membuka laptopnya.Tidur dalam posi