Share

Bab 14

"Sudahlah. Aku masih punya urusan dan aku nggak punya waktu untuk bicara denganmu."

Tobi mendorong Herman keluar dan menutup pintu.

Herman langsung tercengang.

Ternyata dialah yang seharusnya ditertawakan.

Setelah kembali, dia memberi tahu istrinya tentang hal itu.

Saking marahnya, suami istri itu hampir merusak ranjang.

Siang harinya, Tobi berjalan ke ruang tamu dan melihat suami istri itu sedang berbicara dengan seorang pria muda.

"Ayah, Ibu, lihat saja. Bukankah dia hanya orang desa saja? Lihat bagaimana aku menghadapinya lagi. Aku yakin dia akan ketakutan setengah mati."

"Ya, Candra. Ayah dan ibu bergantung kepadamu."

"Jangan khawatir. Putramu ini penguasa tertinggi di Kota Tawuna. Menghadapi orang seperti ini hanya perlu beberapa menit saja. Aku hanya perlu menamparnya beberapa kali saja agar dia patuh. Kalau nggak, aku akan membuatnya menderita."

"Dia sudah datang," kata Yesa.

Ketika Candra mendengar itu, dia berbalik dan melihat Tobi. Kemudian, dia berdiri dan melangkah maju, "Nak, apa kamu yang terus mengganggu kakakku itu?"

Karena memiliki pendengaran yang luar biasa, Tobi telah mendengar percakapan mereka. Pria itu berkata sambil tersenyum, "Benar. Ayo, panggil aku Kakak Ipar!"

"Apa kamu bilang!"

"Kakak Ipar!"

Candra langsung mengejeknya, "Memangnya kamu pantas? Aku sarankan sebaiknya segera keluar dari Keluarga Lianto. Kalau nggak, aku akan mematahkan kakimu."

"Hanya kamu?!" Tobi tampak menghina.

"Kamu cari mati? Sepertinya kamu nggak tahu kalau aku penguasa tertinggi di Kota Tawuna. Aku punya banyak kenalan saudara hebat," kata Candra sambil menyombongkan diri.

"Terus, kenapa?" Tobi terkekeh.

Nada bicara Tobi membuat Candra merasa terhina. Lalu, dia berkata dengan marah, "Terus, kenapa? Asal aku buka mulut, banyak orang akan membunuhmu dalam hitungan menit."

Di saat itu juga, Kakek Muhar datang bersama Widia dan memarahinya, "Candra, apa yang kamu bicarakan! Tobi adalah kakak iparmu. Mulai sekarang, kamu harus menghormatinya dan nggak boleh menyerangnya."

"Kakek ...."

"Kenapa? Kamu mau membantah?" tanya Kakek Muhar dengan nada dingin.

Candra tampak tak berdaya. Dia berbalik dan memanggil Tobi dengan enggan, "Kakak Ipar!"

"Ya, bagus!" jawab Tobi sambil tersenyum.

Candra sudah hampir gila.

Widia hanya terdiam.

Di saat itu juga, terdengar keributan dari pintu gerbang. Ternyata ada sekelompok orang yang menerobos masuk ke dalam.

Semua orang tercengang sejenak.

Candra segera berbalik dan menyadari pintu mereka telah dihancurkan. Karena emosinya tadi belum sempat dilampiaskan, dia langsung berteriak, "Siapa itu? Beraninya dia mendobrak pintu keluarga kami!"

"Aku. Kenapa? Kamu nggak senang?!"

Suara yang membalas ucapan Candra itu terdengar kasar dan mendominasi.

Saat pria itu masuk, wajah Candra langsung pucat. Kata yang diucapkannya pun tergagap, "Ng ... Nggak!"

Karena dia pernah melihat pria ini dari kejauhan sebelumnya.

Bowo Cahyadi, salah satu kepala aula dari Geng Naga Hitam. Dia terkenal dengan sangat ganas.

Di belakangnya, ada sekelompok pria yang berpenampilan garang.

Kakek Muhar juga kenal dengan Bowo. Raut wajah pria tua itu agak berubah, lalu dia bertanya, "Tuan Bowo, apa Keluarga Lianto sudah menyinggungmu? Kenapa kamu begitu marah?"

"Bukan hanya menyinggung. Sepertinya, nyali kalian sangat hebat. Beraninya kalian merebut wanita saudaraku!" seru Bowo.

Wajah Kakek Muhar langsung berubah dan berkata, "Tuan Bowo, jangan bercanda. Dengan reputasimu, Keluarga Lianto mana berani menyinggungmu. Aku rasa mungkin ada kesalahpahaman di sini!"

Bowo mendengus dingin dan berkata, "Salah paham? Tanyakan cucu kesayanganmu, apa benar ada salah paham di sini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status