Joko adalah seorang pemuda yatim piatu di desa yang hidup dalam kemiskinan bersama kakeknya. Hidupnya yang sudah sulit hancur total dalam satu hari ketika cinta sejatinya, Lestari, menolak dan menghinanya di depan umum karena status sosialnya. Di hari yang sama, kakeknya meninggal dunia, mewariskan sebuah pusaka misterius: Keris Semar Mesem berukuran kecil. Dengan membawa luka hati dan pusaka legendaris itu, Joko melarikan diri ke Jakarta dengan satu tujuan: membuktikan bahwa ia berharga. Memulai hidup dari nol sebagai office boy, Joko segera menyadari bahwa keris peninggalan kakeknya memberinya karisma dan intuisi luar biasa. Kekuatan ini membuatnya melesat cepat di dunia korporat, mengubahnya dari pemuda desa lugu menjadi seorang pebisnis muda yang sukses, kaya raya, dan dikelilingi wanita-wanita kalangan atas yang terpesona oleh auranya. Namun, kekuatan besar datang dengan harga. Kesuksesan membuat Joko sempat menjadi sombong, dan ia harus belajar dengan cara yang sulit bahwa pusakanya memiliki pantangan yang tak boleh dilanggar. Popularitasnya juga menarik perhatian musuh, baik dari rival bisnis yang iri maupun dari ancaman yang jauh lebih gelap dan kuno. Kehadiran seorang wanita misterius bernama Maya menjadi pertanda bahwa bahaya yang sesungguhnya telah mengendusnya. Joko akhirnya terpaksa menghadapi kebenaran: ia adalah keturunan terakhir dari "Keturunan Kencana", sebuah garis darah penjaga pusaka kuno. Musuh yang memburunya adalah Keluarga Cakra Hitam, klan rival yang telah menghancurkan keluarganya di masa lalu demi merebut pusaka-pusaka tersebut. Dipaksa bertarung untuk melindungi hidupnya dan orang-orang yang ia sayangi, Joko harus berevolusi. Ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan kekuatan kerisnya, tetapi harus memadukannya dengan kecerdasan, strategi, dan aliansi yang telah ia bangun di dunia modern. Pada akhirnya, Joko berhasil mengalahkan ancaman tersebut dan menerima takdirnya. Motivasinya telah berubah dari balas dendam menjadi tanggung jawab, dan ia akhirnya menemukan pembuktian diri yang sejati, bukan dari kekayaan atau wanita, melainkan penerimaan atas jati dirinya sebagai seorang penjaga warisan leluhur.
View MoreUdara sore di Desa Suka Makmur terasa gerah, namun bukan panas matahari yang membuat peluh dingin membasahi punggung Joko. Jantungnya berdebar liar. Di tangannya yang gemetar, tergenggam seikat bunga kamboja bunga kuburan, kata orang namun di mata Joko, itu adalah lambang ketulusan hatinya. Tujuannya satu: saung bambu di tengah kebun, tempat Lestari, kembang desa pujaan hatinya, sedang bercengkerama.
Dari kejauhan, tawa renyah Lestari terdengar, membuat para pemuda desa mabuk kepayang, termasuk Joko. Ia menarik napas, mengumpulkan segenap keberaniannya yang hanya setipis embun pagi.
"Lestari..." Suara Joko keluar lebih mirip bisikan parau.
Tawa itu berhenti. Lestari menoleh, diikuti tiga pasang mata lainnya. Senyum semanis madu itu memudar, berganti kerutan jijik di dahinya yang mulus. "Joko? Mau apa kamu ke sini?" tanyanya ketus.
Joko menelan ludah, terasa seperti menelan kerikil. "I-ini... untukmu," katanya, menyodorkan bunga kamboja itu. "Aku... aku suka sama kamu, Lestari."
Hening sejenak, lalu meledak menjadi tawa sinis dari teman-teman Lestari.
Lestari menatap bunga di tangan Joko, lalu ke wajahnya yang pucat pasi. Tatapan matanya menusuk, dingin dan merendahkan. "Joko, Joko... kamu ini waras atau tidak?" desisnya. "Kamu mau melayat siapa? Bawa-bawa bunga kuburan begini!"
"Benar itu, Tari!" sahut Dina, temannya. "Dia pikir kamu ini kuntilanak apa, dikasih bunga beginian!"
"Aku serius, Lestari," bisik Joko, mengabaikan ejekan itu.
"Serius?" Lestari tertawa hambar, suara yang lebih menyakitkan dari tamparan. Ia bangkit, melangkah mendekat. "Joko, dengar baik-baik. Kamu mau kasih makan aku apa? Cinta? Memangnya cinta bisa buat beli skincare dan kuota internet? Lulusan SMP sepertimu itu paling banter jadi kuli bangunan. Gajimu sebulan bahkan tidak cukup untuk uang jajanku seminggu!"
"Lihat saja dirimu!" timpal Susi, menusuk lebih dalam. "Baju butut, sandal jepit. Apa kamu mau ajak Lestari tinggal di gubuk reotmu itu, sama kakekmu yang batuk-batuk terus?"
Setiap kata adalah tamparan. Hati Joko terasa diremas.
Lestari menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Joko, sadar diri. Kita ini beda kasta. Kamu itu tanah, sementara aku ini langit. Sekarang, pergi. Bunga busukmu ini bawa saja kembali ke kuburan."
Ia bahkan tidak sudi menyentuh bunga itu. Hancur. Seluruh dunia Joko hancur. Dengan kepala tertunduk, diiringi gelak tawa yang membahana, Joko berbalik dan berlari. Ia berlari meninggalkan harga dirinya yang terkoyak di saung itu.
Napasnya tersengal saat tiba di depan gubuknya. Namun, rasa malu itu seketika sirna, digantikan oleh horor yang mencekik. Dari celah pintu, terdengar suara batuk yang parah, disusul erangan lirih. Suara kakeknya.
"Kakek!"
Joko menerobos masuk. Pemandangan di depannya adalah palu godam yang menghantam sisa-sisa jiwanya. Kakeknya terbaring di dipan, menggigil hebat seolah demamnya bisa membekukan api. Wajahnya sepucat kertas, bibirnya membiru, dan setiap tarikan napasnya terdengar seperti serutan kelapa basah, berat dan menyakitkan. Bau minyak angin yang tajam bercampur dengan aroma anyir darah yang samar-samar membuat perut Joko mual.
"Kakek!" teriak Joko, suaranya pecah. Ia luruh ke lantai di samping dipan, menggenggam tangan keriput itu. Dingin. Sedingin es.
"Kakek kenapa?! Bertahan, Kek! Kita ke mantri sekarang!" racau Joko, pikirannya kacau balau. Ia hendak bangkit, menarik tubuh ringkih itu jika perlu, namun sebuah genggaman yang luar biasa lemah, namun tegas, menahannya.
"Ndak... usah, Le..." desis sang kakek di sela batuknya yang menyiksa. Matanya yang berkabut menatap Joko, dan di dalam tatapan itu, Joko melihat lautan kasih sayang yang tak bertepi. "Percuma... Ajal itu... kalau sudah memanggil... ndak bisa ditawar."
"Jangan ngomong gitu, Kek! Kakek pasti sembuh! Kakek orang paling kuat yang Joko kenal!" isak Joko, air matanya mulai menggenang. "Joko cari bantuan! Joko panggil Pak RT!"
"Ssssttt... Duduk, Le... duduk sini... dekat Kakek," pinta sang kakek, suaranya nyaris tak terdengar. "Sudah... ndak ada waktu lagi..."
Dengan berat hati, Joko kembali berlutut. Tangan kurus sang kakek terangkat dengan susah payah, menyentuh pipi Joko. Kulitnya terasa seperti kertas tua, rapuh dan dingin.
"Kamu itu... anak baik, Joko. Cucu Kakek satu-satunya," bisiknya. "Maafkan Kakek... ndak bisa... kasih kamu harta. Maafkan Kakek... kalau hidupmu... susah..."
"Joko nggak butuh apa-apa, Kek! Joko cuma butuh Kakek di sini!" tangis Joko pecah, membasahi tangan ringkih itu.
"Darahmu... itu beda, Le," lanjut sang kakek, matanya menatap lurus seolah menembus jiwa Joko. "Darah kita... itu darah... Lelaki Kencana. Tugas Kakek menjagamu... sudah selesai... sekarang... tugasmu yang melanjutkan."
Joko hanya bisa menggeleng, tidak mengerti sama sekali. Lelaki Kencana? Apa itu? Kepalanya terlalu penuh dengan rasa takut kehilangan.
Sang kakek terbatuk hebat, tubuhnya melengkung menahan sakit. Setitik darah segar muncul di sudut bibirnya. Matanya yang sayu bergerak liar, menunjuk ke sebuah lemari kayu tua yang miring di sudut ruangan.
"Joko... dengarkan Kakek baik-baik..." napasnya semakin pendek dan cepat. "Di... di balik lemari itu... ada... warisan..."
"Warisan apa, Kek?"
"Ambil... Cepat, Le... waktunya... sempit sekali..." desak sang kakek, cengkeramannya menguat sesaat.
Joko bimbang, hatinya menjerit tak mau meninggalkan sisi kakeknya barang sedetik pun. "Tapi, Kek, Joko mau di sini..."
"Sekarang, Joko!" Suara kakeknya tiba-tiba menggelegar, penuh wibawa dan keputusasaan. Matanya yang tadi sayu kini berkilat tajam. "Lakukan perintah Kakek!"
Tersentak oleh perintah terakhir yang penuh kekuatan itu, Joko bangkit. Dengan air mata yang mengaburkan pandangan, ia mengerahkan seluruh tenaganya mendorong lemari tua itu. Bau debu dan kayu lapuk menusuk hidungnya. Lemari itu bergeser dengan suara derit yang memilukan, memperlihatkan sebuah lubang di lantai papan. Di dalamnya, terbungkus kain belacu kusam, sebuah benda tergeletak.
Saat menyentuhnya, sengatan halus namun tajam menjalar di lengannya. Ia meraih bungkusan itu dan bergegas kembali.
Napas kakeknya kini hanya helaan-helaan pendek. Matanya setengah terpejam.
"Ini, Kek... sudah Joko ambil..." isaknya, menunjukkan bungkusan itu.
Mata kakeknya sedikit terbuka, tatapannya menyiratkan kelegaan yang luar biasa. "Bagus...," bisiknya. "Ingat pesanku, Le... Jangan... dibuka... sembarangan..."
Ia berhenti, mengumpulkan sisa napas terakhirnya.
"Benda itu... hidup... dia minta... darahmu... sebagai... kuncinya..." lanjutnya terbata-bata. "Gunakan... dengan... bi...jak... Jangan sampai... dikuasai..."
"Dikuasai? Maksud Kakek apa?" tanya Joko panik, mengguncang pelan lengan itu.
Sang kakek mencoba tersenyum, senyum terakhirnya. "Jaga... diri... Le..."
Setelah kata terakhir itu, genggaman tangannya melemas total. Dadanya tak lagi bergerak. Kilat di matanya yang sayu telah padam selamanya. Helaan napas terakhir telah dihembuskan tanpa suara.
Keheningan yang memekakkan telinga.
Joko terpaku. Otaknya menolak. "Kek? Kakek...?" panggilnya dengan suara bergetar.
Hening.
"KEK!"
Sebuah lolongan pilu akhirnya pecah dari dadanya, raungan panjang dari seorang anak laki-laki yang dunianya, dalam satu jam yang singkat, telah dirampas, dihancurkan, dan dibakar menjadi abu.
Ia memeluk tubuh yang mendingin itu. Di sampingnya, tergeletak anak panah ketiga warisan misterius dengan pesan terakhir yang ganjil. Ia sendirian sekarang. Benar-benar sendirian.
Dengan air mata yang masih mengalir, Joko menggenggam bungkusan itu. Berat dan terasa memancarkan hawa hangat. "Kek," bisiknya pada keheningan. "Joko bersumpah. Joko akan gunakan ini. Bukan untuk balas dendam, tapi untuk membangun takdir di mana tak seorang pun berani merendahkan Joko lagi, jika memang pusaka ini akan merubah hidup Joko."
Sumpah itu terucap. Di dalam genggamannya, ia bisa merasakan bentuk dari pusaka itu. Sebuah Keris Semar Mesem.
Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua
Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany
Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru
Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s
Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b
Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments