Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!

Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!

last updateLast Updated : 2025-10-03
By:  Inspirasi KopiUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
10Chapters
5views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Joko adalah seorang pemuda yatim piatu di desa yang hidup dalam kemiskinan bersama kakeknya. Hidupnya yang sudah sulit hancur total dalam satu hari ketika cinta sejatinya, Lestari, menolak dan menghinanya di depan umum karena status sosialnya. Di hari yang sama, kakeknya meninggal dunia, mewariskan sebuah pusaka misterius: Keris Semar Mesem berukuran kecil. Dengan membawa luka hati dan pusaka legendaris itu, Joko melarikan diri ke Jakarta dengan satu tujuan: membuktikan bahwa ia berharga. Memulai hidup dari nol sebagai office boy, Joko segera menyadari bahwa keris peninggalan kakeknya memberinya karisma dan intuisi luar biasa. Kekuatan ini membuatnya melesat cepat di dunia korporat, mengubahnya dari pemuda desa lugu menjadi seorang pebisnis muda yang sukses, kaya raya, dan dikelilingi wanita-wanita kalangan atas yang terpesona oleh auranya. Namun, kekuatan besar datang dengan harga. Kesuksesan membuat Joko sempat menjadi sombong, dan ia harus belajar dengan cara yang sulit bahwa pusakanya memiliki pantangan yang tak boleh dilanggar. Popularitasnya juga menarik perhatian musuh, baik dari rival bisnis yang iri maupun dari ancaman yang jauh lebih gelap dan kuno. Kehadiran seorang wanita misterius bernama Maya menjadi pertanda bahwa bahaya yang sesungguhnya telah mengendusnya. Joko akhirnya terpaksa menghadapi kebenaran: ia adalah keturunan terakhir dari "Keturunan Kencana", sebuah garis darah penjaga pusaka kuno. Musuh yang memburunya adalah Keluarga Cakra Hitam, klan rival yang telah menghancurkan keluarganya di masa lalu demi merebut pusaka-pusaka tersebut. Dipaksa bertarung untuk melindungi hidupnya dan orang-orang yang ia sayangi, Joko harus berevolusi. Ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan kekuatan kerisnya, tetapi harus memadukannya dengan kecerdasan, strategi, dan aliansi yang telah ia bangun di dunia modern. Pada akhirnya, Joko berhasil mengalahkan ancaman tersebut dan menerima takdirnya. Motivasinya telah berubah dari balas dendam menjadi tanggung jawab, dan ia akhirnya menemukan pembuktian diri yang sejati, bukan dari kekayaan atau wanita, melainkan penerimaan atas jati dirinya sebagai seorang penjaga warisan leluhur.

View More

Chapter 1

BAB 1 Tiga Anak Panah

Udara sore di Desa Suka Makmur terasa gerah, namun bukan panas matahari yang membuat peluh dingin membasahi punggung Joko. Jantungnya berdebar liar. Di tangannya yang gemetar, tergenggam seikat bunga kamboja bunga kuburan, kata orang namun di mata Joko, itu adalah lambang ketulusan hatinya. Tujuannya satu: saung bambu di tengah kebun, tempat Lestari, kembang desa pujaan hatinya, sedang bercengkerama.

Dari kejauhan, tawa renyah Lestari terdengar, membuat para pemuda desa mabuk kepayang, termasuk Joko. Ia menarik napas, mengumpulkan segenap keberaniannya yang hanya setipis embun pagi.

"Lestari..." Suara Joko keluar lebih mirip bisikan parau.

Tawa itu berhenti. Lestari menoleh, diikuti tiga pasang mata lainnya. Senyum semanis madu itu memudar, berganti kerutan jijik di dahinya yang mulus. "Joko? Mau apa kamu ke sini?" tanyanya ketus.

Joko menelan ludah, terasa seperti menelan kerikil. "I-ini... untukmu," katanya, menyodorkan bunga kamboja itu. "Aku... aku suka sama kamu, Lestari."

Hening sejenak, lalu meledak menjadi tawa sinis dari teman-teman Lestari.

Lestari menatap bunga di tangan Joko, lalu ke wajahnya yang pucat pasi. Tatapan matanya menusuk, dingin dan merendahkan. "Joko, Joko... kamu ini waras atau tidak?" desisnya. "Kamu mau melayat siapa? Bawa-bawa bunga kuburan begini!"

"Benar itu, Tari!" sahut Dina, temannya. "Dia pikir kamu ini kuntilanak apa, dikasih bunga beginian!"

"Aku serius, Lestari," bisik Joko, mengabaikan ejekan itu.

"Serius?" Lestari tertawa hambar, suara yang lebih menyakitkan dari tamparan. Ia bangkit, melangkah mendekat. "Joko, dengar baik-baik. Kamu mau kasih makan aku apa? Cinta? Memangnya cinta bisa buat beli skincare dan kuota internet? Lulusan SMP sepertimu itu paling banter jadi kuli bangunan. Gajimu sebulan bahkan tidak cukup untuk uang jajanku seminggu!"

"Lihat saja dirimu!" timpal Susi, menusuk lebih dalam. "Baju butut, sandal jepit. Apa kamu mau ajak Lestari tinggal di gubuk reotmu itu, sama kakekmu yang batuk-batuk terus?"

Setiap kata adalah tamparan. Hati Joko terasa diremas.

Lestari menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Joko, sadar diri. Kita ini beda kasta. Kamu itu tanah, sementara aku ini langit. Sekarang, pergi. Bunga busukmu ini bawa saja kembali ke kuburan."

Ia bahkan tidak sudi menyentuh bunga itu. Hancur. Seluruh dunia Joko hancur. Dengan kepala tertunduk, diiringi gelak tawa yang membahana, Joko berbalik dan berlari. Ia berlari meninggalkan harga dirinya yang terkoyak di saung itu.

Napasnya tersengal saat tiba di depan gubuknya. Namun, rasa malu itu seketika sirna, digantikan oleh horor yang mencekik. Dari celah pintu, terdengar suara batuk yang parah, disusul erangan lirih. Suara kakeknya.

"Kakek!"

Joko menerobos masuk. Pemandangan di depannya adalah palu godam yang menghantam sisa-sisa jiwanya. Kakeknya terbaring di dipan, menggigil hebat seolah demamnya bisa membekukan api. Wajahnya sepucat kertas, bibirnya membiru, dan setiap tarikan napasnya terdengar seperti serutan kelapa basah, berat dan menyakitkan. Bau minyak angin yang tajam bercampur dengan aroma anyir darah yang samar-samar membuat perut Joko mual.

"Kakek!" teriak Joko, suaranya pecah. Ia luruh ke lantai di samping dipan, menggenggam tangan keriput itu. Dingin. Sedingin es.

"Kakek kenapa?! Bertahan, Kek! Kita ke mantri sekarang!" racau Joko, pikirannya kacau balau. Ia hendak bangkit, menarik tubuh ringkih itu jika perlu, namun sebuah genggaman yang luar biasa lemah, namun tegas, menahannya.

"Ndak... usah, Le..." desis sang kakek di sela batuknya yang menyiksa. Matanya yang berkabut menatap Joko, dan di dalam tatapan itu, Joko melihat lautan kasih sayang yang tak bertepi. "Percuma... Ajal itu... kalau sudah memanggil... ndak bisa ditawar."

"Jangan ngomong gitu, Kek! Kakek pasti sembuh! Kakek orang paling kuat yang Joko kenal!" isak Joko, air matanya mulai menggenang. "Joko cari bantuan! Joko panggil Pak RT!"

"Ssssttt... Duduk, Le... duduk sini... dekat Kakek," pinta sang kakek, suaranya nyaris tak terdengar. "Sudah... ndak ada waktu lagi..."

Dengan berat hati, Joko kembali berlutut. Tangan kurus sang kakek terangkat dengan susah payah, menyentuh pipi Joko. Kulitnya terasa seperti kertas tua, rapuh dan dingin.

"Kamu itu... anak baik, Joko. Cucu Kakek satu-satunya," bisiknya. "Maafkan Kakek... ndak bisa... kasih kamu harta. Maafkan Kakek... kalau hidupmu... susah..."

"Joko nggak butuh apa-apa, Kek! Joko cuma butuh Kakek di sini!" tangis Joko pecah, membasahi tangan ringkih itu.

"Darahmu... itu beda, Le," lanjut sang kakek, matanya menatap lurus seolah menembus jiwa Joko. "Darah kita... itu darah... Lelaki Kencana. Tugas Kakek menjagamu... sudah selesai... sekarang... tugasmu yang melanjutkan."

Joko hanya bisa menggeleng, tidak mengerti sama sekali. Lelaki Kencana? Apa itu? Kepalanya terlalu penuh dengan rasa takut kehilangan.

Sang kakek terbatuk hebat, tubuhnya melengkung menahan sakit. Setitik darah segar muncul di sudut bibirnya. Matanya yang sayu bergerak liar, menunjuk ke sebuah lemari kayu tua yang miring di sudut ruangan.

"Joko... dengarkan Kakek baik-baik..." napasnya semakin pendek dan cepat. "Di... di balik lemari itu... ada... warisan..."

"Warisan apa, Kek?"

"Ambil... Cepat, Le... waktunya... sempit sekali..." desak sang kakek, cengkeramannya menguat sesaat.

Joko bimbang, hatinya menjerit tak mau meninggalkan sisi kakeknya barang sedetik pun. "Tapi, Kek, Joko mau di sini..."

"Sekarang, Joko!" Suara kakeknya tiba-tiba menggelegar, penuh wibawa dan keputusasaan. Matanya yang tadi sayu kini berkilat tajam. "Lakukan perintah Kakek!"

Tersentak oleh perintah terakhir yang penuh kekuatan itu, Joko bangkit. Dengan air mata yang mengaburkan pandangan, ia mengerahkan seluruh tenaganya mendorong lemari tua itu. Bau debu dan kayu lapuk menusuk hidungnya. Lemari itu bergeser dengan suara derit yang memilukan, memperlihatkan sebuah lubang di lantai papan. Di dalamnya, terbungkus kain belacu kusam, sebuah benda tergeletak.

Saat menyentuhnya, sengatan halus namun tajam menjalar di lengannya. Ia meraih bungkusan itu dan bergegas kembali.

Napas kakeknya kini hanya helaan-helaan pendek. Matanya setengah terpejam.

"Ini, Kek... sudah Joko ambil..." isaknya, menunjukkan bungkusan itu.

Mata kakeknya sedikit terbuka, tatapannya menyiratkan kelegaan yang luar biasa. "Bagus...," bisiknya. "Ingat pesanku, Le... Jangan... dibuka... sembarangan..."

Ia berhenti, mengumpulkan sisa napas terakhirnya.

"Benda itu... hidup... dia minta... darahmu... sebagai... kuncinya..." lanjutnya terbata-bata. "Gunakan... dengan... bi...jak... Jangan sampai... dikuasai..."

"Dikuasai? Maksud Kakek apa?" tanya Joko panik, mengguncang pelan lengan itu.

Sang kakek mencoba tersenyum, senyum terakhirnya. "Jaga... diri... Le..."

Setelah kata terakhir itu, genggaman tangannya melemas total. Dadanya tak lagi bergerak. Kilat di matanya yang sayu telah padam selamanya. Helaan napas terakhir telah dihembuskan tanpa suara.

Keheningan yang memekakkan telinga.

Joko terpaku. Otaknya menolak. "Kek? Kakek...?" panggilnya dengan suara bergetar.

Hening.

"KEK!"

Sebuah lolongan pilu akhirnya pecah dari dadanya, raungan panjang dari seorang anak laki-laki yang dunianya, dalam satu jam yang singkat, telah dirampas, dihancurkan, dan dibakar menjadi abu.

Ia memeluk tubuh yang mendingin itu. Di sampingnya, tergeletak anak panah ketiga warisan misterius dengan pesan terakhir yang ganjil. Ia sendirian sekarang. Benar-benar sendirian.

Dengan air mata yang masih mengalir, Joko menggenggam bungkusan itu. Berat dan terasa memancarkan hawa hangat. "Kek," bisiknya pada keheningan. "Joko bersumpah. Joko akan gunakan ini. Bukan untuk balas dendam, tapi untuk membangun takdir di mana tak seorang pun berani merendahkan Joko lagi, jika memang pusaka ini akan merubah hidup Joko."

Sumpah itu terucap. Di dalam genggamannya, ia bisa merasakan bentuk dari pusaka itu. Sebuah Keris Semar Mesem.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
10 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status