Share

Bab 57. Cermin yang Retak

Penulis: Quennnzy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-23 08:33:01

Langkah-langkah mereka tak lagi memiliki irama. Arga berjalan lebih lambat, seolah setiap batu yang dipijaknya menyimpan sejarah yang ingin ia hindari. Rafael, dengan tatapan yang tak pernah benar-benar meninggalkan punggung Alura, seperti menanti sesuatu entah kehancuran atau pengkhianatan.

Alura sendiri berjalan paling depan, tubuhnya tegak tapi aura di sekelilingnya terasa berbeda. Gerbang Kedelapan telah menggoreskan sesuatu ke dalam dirinya. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali menoleh, seolah memastikan kedua pria di belakangnya tidak lenyap ditelan bayang-bayang reruntuhan Vellen Thar yang kian memutarbalikkan logika waktu dan ruang.

Udara menjadi dingin, seperti embusan dari dunia yang tak seharusnya dijamah manusia.

Di hadapan mereka, lorong batu membelah menjadi tiga arah. Masing-masing lorong menghembuskan angin berbeda, satu membawa aroma darah yang telah lama mengering, satu lagi penuh dengan suara gemerisik seperti tawa anak-anak, dan yang ketiga... hening, nyaris
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 192. Pintu yang Tidak di Undang

    Langit dunia iblis terus berdenyut merah, seolah ada jantung raksasa yang baru saja terbangun setelah tidur ribuan tahun. Setiap kali cahaya itu bergetar, tanah di bawah Obsidian ikut bergetar, membuat debu hitam turun dari langit-langit aula. Tidak ada doa yang bisa meredakan rasa takut itu. Bahkan imam tertua pun kini hanya terdiam, wajahnya memutih, seakan menyadari kalau doa mereka tidak pernah dimaksudkan untuk menahan sesuatu sebesar ini. Rafael masih berdiri kokoh, pedangnya terangkat setengah, tapi bukan untuk melawan. Matanya menatap ke langit, lalu kembali ke arah Alura. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi untuk pertama kalinya, ia memilih diam. Ia tahu, apapun jawabannya tidak akan mengubah kenyataan yang sedang terbuka di depan mereka. Arga, sebaliknya, tidak sanggup menahan lidahnya. Api gelap di sekujur tubuhnya menyala, napasnya berat, matanya liar. “Kau lihat sendiri, Alura! Ini bukan kebetulan. Begitu namamu dipanggil, begitu kabut itu menyebutmu, langit me

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 191. Mata yang Membuka Pintu

    Langit di atas Obsidian seolah robek. Bintang merah itu atau lebih tepatnya mata, berdenyut perlahan, mengirimkan gelombang energi yang terasa sampai ke batu-batu aula. Getarannya membuat Obsidian berderak, suara retakan halus terdengar seakan benteng itu sendiri menahan napas. Para utusan berhamburan keluar aula, sebagian tersungkur, sebagian lagi berusaha menutupi wajah mereka dari cahaya merah yang menusuk kulit seperti bara. Doa dan jeritan bercampur jadi satu, menambah kepanikan. Namun di singgasana, Alura tetap berdiri. Matanya menatap lurus pada cahaya di langit, seolah mencoba mengukur berapa dalam jurang yang baru saja terbuka. “Ini… lebih cepat dari yang kukira,” bisiknya. Rafael berdiri di sampingnya, pedang hitamnya masih tergenggam erat. “Kalau itu pintu, maka sesuatu akan masuk. Dan kalau sesuatu bisa masuk, berarti kita belum punya cukup waktu.” Tatapannya keras, tapi ada kilatan kekhawatiran yang jarang terlihat di wajah dinginnya. Arga mendengus, api gelap di ta

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 190. Nama yang Tidak Pernah Mati

    Api biru yang sebelumnya padam menyala kembali satu per satu, namun cahaya yang biasanya membawa kesan agung kini terasa asing, seperti mata ratusan makhluk yang mengintip dari balik kegelapan. Aula Obsidian berdiri dalam keheningan yang berat. Tidak ada yang berani bicara, seolah gema nama yang baru saja diucapkan kabut tadi masih menggantung di udara. Silvanna. Nama itu bergaung di kepala semua yang hadir. Sebagian besar utusan memang tidak memahami arti sebenarnya, namun getaran gaib yang menyertainya cukup untuk membuat mereka tahu: itu bukan sekadar nama. Itu adalah panggilan yang membawa beban sejarah, beban yang bahkan para imam paling tua tidak berani sebut. Alura berdiri di singgasananya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya berkilat merah emas. Dalam dadanya, jantungnya berdegup keras. Ia tidak pernah membiarkan siapapun menyebut nama itu di hadapannya. Bahkan ia sendiri menguburnya jauh di bawah lapisan ingatan. Rafael melangkah maju, suaranya dingin tapi tegas. “Apa a

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 189. Nama yang Tidak Pernah di Panggil

    Kegelapan merayap ke seluruh aula Obsidian. Api biru yang tadi menyala di sepanjang dinding telah padam satu per satu, seperti dipadamkan oleh tangan tak kasatmata. Udara menjadi berat, dingin, dan sarat dengan desisan halus yang terdengar seperti bisikan ribuan mulut. Para utusan merapatkan formasi, sebagian gemetar, sebagian lain mulai melantunkan doa. Tapi kata-kata mereka tenggelam oleh kegelapan yang semakin menekan dada. Rafael berdiri di depan Alura, pedang hitamnya berkilau samar meski nyaris tak ada cahaya. Matanya tajam, menembus gelap, mencoba menangkap gerakan sekecil apa pun. Arga, di sisi lain, sudah menyalakan api gelap di tangannya, wajahnya menegang penuh kewaspadaan. “Ini bukan ujianmu, bukan juga permainanku,” desis Arga lirih. “Ada sesuatu yang masuk bersama sumpah itu.” Alura tetap berdiri tegak di singgasananya. Gaunnya bergelombang ringan, rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian wajah. Namun matanya terbuka lebar, berkilat merah emas, menatap lurus ke dalam

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 188. Bisikan dari Darah

    Aula Obsidian masih diselimuti keheningan yang berat. Aroma darah dan asap hitam dari ritual sumpah belum juga hilang, menempel di dinding dan mengendap di napas siapa pun yang ada di dalamnya. Para utusan berdiri kaku, sebagian berusaha mengatur napas, sebagian lain masih pucat dan gemetar, seolah baru saja melihat neraka. Alura duduk di singgasananya, tubuhnya tegak namun pandangannya tajam menusuk ke setiap wajah. Matanya berkilat merah emas, memantulkan cahaya api biru yang masih berkobar di sepanjang dinding. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang hanya dia yang merasakan. Sebuah suara. Bukan suara manusia. Bukan suara iblis yang dikenalnya. Suara itu datang dari dalam darahnya sendiri. "Ikatan sudah terjalin… darah telah menetes… pintu telah terbuka." Alura menutup matanya sebentar, lalu membukanya lagi dengan ekspresi dingin. Tidak ada satu pun yang boleh tahu bahwa sumpah yang ia ciptakan tidak hanya mengikat para utusan, tapi juga memanggil sesuatu yang lebih

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 187. Harga Sebuah Pengkhianatan

    Api hitam yang melahap tubuh utusan pertama masih bergema dalam ingatan semua orang yang hadir di Balairung Obsidian. Bau daging terbakar bercampur dengan desisan jiwa yang terpecah membuat udara terasa semakin berat. Tak ada yang berani bergerak terlalu cepat; bahkan napas pun ditahan seolah takut api itu berpaling pada mereka. Alura berdiri tegak di tengah lingkaran darah yang kini berdenyut samar, bagai jantung yang baru saja terbangun. Gaunnya yang hitam berkilauan diterpa cahaya api biru, membuatnya tampak seperti sosok yang lahir dari kegelapan itu sendiri. Tatapannya menyapu satu per satu wajah para utusan, hingga tak seorang pun berani menurunkan pandangan. “Lihatlah,” suaranya dingin, nyaring, namun tenang, “itulah harga sebuah pengkhianatan. Sumpah ini bukan sekadar kata-kata, bukan pula hanya simbol. Ia adalah kehidupan yang kalian berikan kepada takhta ini. Dan kehidupan, jika dikhianati, akan menuntut balasan.” Tak ada yang berani menjawab. Beberapa wajah pucat, bebera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status