“Dia bukan sekadar kakak ipar…” Langkahnya tenang, tatapannya penuh percaya diri. Selalu datang dengan senyum tipis yang bikin dunia tiba-tiba jadi sunyi. Bicaranya santai, tapi setiap kata bisa bikin dada bergetar. Di balik sosok dewasa dan bertanggung jawab, ada sisi hangat yang diam-diam membuat nyaman. Dia tahu kapan harus bercanda, kapan harus serius — dan entah kenapa, selalu berhasil bikin kamu merasa dilihat… lebih dari sekadar adik. Dia tidak pernah menggoda dengan kata-kata. Tapi cara dia memanggil namamu… cara dia menepuk kepala saat kamu sedang lelah… cara dia menyapamu lebih dulu sebelum menyapa istrinya — itu semua cukup untuk membuat imanmu goyah. Karena kadang, godaan terbesar… datang dari yang tidak pernah berniat menggoda.
View MorePOV Adik Ipar
Aku tak pernah menyangka bahwa perempuan yang berdiri di balik jendela itu akan mengubah hidupku. Dia berdiri diam, menatap ke arah halaman belakang tempat aku sedang menyapu dedaunan pagi. Rambutnya digelung rapi, gaun putih sederhana membalut tubuhnya, dan mata itu—mata yang seharusnya biasa saja—terasa seolah menelanjangiku tanpa kata. Itulah pertama kalinya aku benar-benar memperhatikannya. Sona. Istri kakakku. Kakak iparku. Biasanya aku tak terlalu peduli dengan urusan rumah. Tapi pagi itu, ada yang berbeda. Bukan hanya karena sinar matahari jatuh tepat di pipinya yang pucat, tapi karena tatapan matanya yang terlalu dalam untuk sekadar tatapan biasa. Tatapan itu tak seperti milik saudara ipar. Tatapan itu membuat dadaku sesak. Jantungku berdetak lebih cepat, dan ada yang bergetar di antara rasa bersalah dan penasaran. Aku tahu aku salah, bahkan sebelum aku mulai merasa. Dia hanya tersenyum tipis dari balik tirai. Tak ada kata. Hanya tatapan, dan diam. Tapi rasanya lebih bising dari teriakan. Sejak hari itu, aku mulai menunggu pagi. Bukan lagi untuk menyapu halaman. Tapi untuk melihatnya berdiri di balik jendela—menatapku dengan mata yang tak bisa kuartikan. Antara memanggil, atau memperingatkan. Aku tak tahu apakah dia sadar... atau sengaja. Tapi sejak hari itu, namanya menetap di pikiranku. Dan senyumnya... perlahan mulai mengisi celah-celah kosong dalam hatiku yang tak seharusnya terbuka. Bagaimna mungkin aku memikirkan perempuan yang jelas ku tahu bahwa dia adalah istri dari kakaku? bukan kan itu tidak boleh ku lakukan? aku tau ini salah tapi knpa sangat susah menghilangkan tatapan itu. Mengapa? mengapa ia menatap ku, ohh ini sangat membuat ku kacau tidak pernah terlintas difikiran ku bahwa aku akan memikirkan ipar ku sendiri. Hari-hari setelah itu berjalan aneh. Sona selalu muncul di waktu yang nyaris sama—sekitar pukul tujuh pagi, ketika matahari baru saja mengintip dari celah atap. Dan aku... menjadi lelaki bodoh yang sengaja keluar lebih awal, hanya untuk berharap ia berdiri di sana, lagi. Kadang dia membawa cangkir teh di tangan, kadang hanya berdiri sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Tapi tak sekalipun dia menyapaku secara langsung. Tak pernah. Hanya mata. Dan diam. Lalu senyum. Itu saja cukup membuat hari-hariku terasa seperti permainan rahasia yang tak pernah disepakati tapi sama-sama dijalani. Kakakku, Arman, selalu sibuk. Berangkat pagi, pulang malam. Dunia pernikahan mereka terlihat baik-baik saja—di luar. Tapi entah kenapa aku merasa... ada ruang kosong dalam pernikahan itu, dan aku mulai terjebak di tengah-tengahnya. Sona tak pernah menyentuhku. Bahkan tak pernah berdiri terlalu dekat. Tapi tatapannya... seakan tahu segalanya yang tak bisa aku ucapkan. Ada luka di matanya. Tapi juga godaan. Seolah ia tahu aku memperhatikannya, dan dia... tak keberatan.Dia seakan menikmati keadaan ini, keadaan yg dimna tidak bisa ku jelas kan dengan kata-kata... aku hanya diam, entah menunggu atau apapun aku juga tidak mengerti.. Sore itu, ketika hujan turun perlahan, aku mendapati dia kembali di jendela. Kali ini dia membuka tirainya lebih lebar, membiarkan cahaya abu-abu masuk ke kamarnya yang temaram. Mata kami bertemu. Lama. Tanpa senyum. Dan untuk pertama kalinya, dia mengangkat jari telunjuknya... meletakkannya di bibirnya sendiri. Diam. Jangan bicara. Tapi justru dari situ, segalanya dimulai.Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama
Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar
Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me
Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi
Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi
Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments