"Ibu? ada apa, Bu, malam-malam begini ke rumah Janah, tumben? mana hujan lagi, " tanyaku datar, menutupi rasa gugup yang saat ini kurasakan.
"Apakah tadi, ada bapak mertuamu ke sini, Janah? " tanyanya to the points.Degh ...'Bagaimana ini? bisa gawat kalau, ibu mertua memeriksa kedalam rumah,' batinku."Janah," bentak Ibu, membuyarkan lamunanku."Iya, Bu! Tadi bapak datang ke sini sebentar, untuk memberikan lauk kepadaku. Tapi setelah itu, Janah minta bapak segera pulang, karena Janah tidak enak sama tetangga, Bu. Soalnya di rumah sedang tidak ada, Bang Herman sekarang, " kilahku, aku harus bersikap biasa saja, agar ibu mertuaku tidak menaruh curiga padaku."Lalu, kemana dia, pergi? sampai jam segini, belum pulang juga ke rumah, mana hujan lagi, dasar bandot tua!" Gerutu Ibu, sambil ngeluyur pergi dari halaman rumahku.'Dasar, mertua tak ada akhlak. Gak suaminya, gak istrinya sama-sama tidak bisa menghargai aku sebagai menantu, tak ada salam atau apapun yang dia ucapkan, tak ubahnya seperti ayam saja,' gerutuku, menutup kembali pintu lalu menguncinya rapat.Aku kembali menyulut api pada kayu bakar di tungku tempatku memasak. Aku tidak punya kompor gas seperti yang lain, karena tidak mampu untuk membeli gas. Jadi jika memasak aku selalu menggunakan kayu bakar di rumah.Kusiapkan dandang besar yang tadi kuambil, lalu daging serta tulang yang sengaja kutiriskan dalam ember besar itu kupindahkan kedalamnya. Ku tambahkan air yang banyak agar bisa lebih lama merebus daging tua bangka, yang sudah terlihat alot itu.Sementara daging masih direbus, aku berniat membuang sisa potongan tubuh lainnya yang tidak terpakai.Dengan memakai jas hujan plastik buatanku sendiri, aku keluar untuk membawa karung plastik sampah berisi potongan ke*ala dan bagian tubuh yang tidak digunakan, ke hutan ujung desa. Aku takut jika dibiarkan terlalu lama akan menimbulkan bau busuk, dan malah akan menjadi bumerang bagiku nanti.Aku mengedarkan pandanganku ke arah kiri dan kanan, takut ada orang lewat atau melihat gerak-gerik ku, yang mencurigakan.Setelah dirasa aman, aku bergegas meninggalkan rumah dengan membawa buntalan karung berisi potongan tu*uh bandot tua yang sudah kuk*l*ti.Aku bermaksud memberikannya pada anjing liar di hutan sana atau kalau tidak ada hewan liar itu, akan aku kubur sisa daging serta ke*alan*a di pedalaman hutan agar tidak ada satu pun jejak yang tertinggal, dan berbuntut diketahui orang banyak.Kebetulan hujan yang tadinya hanya titik-titik gerimis, kini mulai deras. Jalanan yang gelap dan sepi tak menyurutkan langkahku untuk membawa potongan tu*uh si bandot t*a ini kedalam hutan.Hanya ditemani temaram cahaya lampu senter, aku semakin mempercepat langkahku untuk masuk kedalam hutan, suara-suara binatang liar menyambut kedatanganku, begitu aku mulai masuk kedalam hutan sana, tapi tak kuhiraukan sama sekali.Aku lebih takut kepergok orang kampung kalau aku sudah menci*c*ng tua bangka yang berjuluk bapak mertuaku sendiri.Grosak ... grosak ... suara langkah kakiku, menginjak dedaunan serta patahan ranting yang gugur ke tanah.Setelah terasa agak jauh dari bibir hutan aku mulai melancarkan aksiku, mencari kawanan anjing liar atau hewan pemakan daging lainnya, untuk kuberikan camilan sehat yakni pot*ngan tu*uh tua bangka yang kubawa.Namun entahlah, mungkin aku kurang beruntung kali ini, tak ada satupun anjing hutan atau hewan pemangsa daging yang kutemukan, mungkin karena dalam kondisi hujan deras jadi kawanan hewan-hewan liar itu tidak ada yang berkeliaran, melainkan berteduh di sarang hangat mereka.Dengan terpaksa aku menggali tanah memakai alat yang kubawa seadanya, untuk menguburkan pot*ngan tu*uh bapak mertuaku. Aku gali sedalam mungkin agar tidak ada yang mencurigai kuburan ini.Ah akhirnya beres juga, walaupun Kau sudah mati, masih saja membuatku repot, dasar bandot tua sial*n.'Oh ya, selamat jalan Pak, semoga kau abadi di neraka sana. Maafkan Janah karena tak bisa melayani seperti yang bapak harapkan, di saat terakhir hidupmu, Pak hehehe,' batinku bermonolog seperti orang gila.Enak saja dia bilang minta dilayani mentang-mentang suamiku tak ada di rumah, memangnya aku ini wanita pelacuran apa, cuih dasar kau bandot sialan.Ku injak-injak kuburannya agar tidak terlihat menggunung, lalu kutaburi dengan daun-daun yang gugur berjatuhan untuk menyamarkannya. Rasanya dendamku terbalaskan, dengan apa yang kulakukan saat ini pada si bandot tua sialan itu.Aku bergegas meninggalkan hutan, setelah semua terlihat rapi dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukan potongan-potongan t*buh bapak, di dalam Hutan sini.Aku tiba di gapura masuk desa ketika malam sudah semakin larut, mungkin sekarang sudah hampir pagi, hujan masih belum berhenti walaupun tidak sebesar sebelumnya.Aku bergegas masuk ke desa tempat tinggal ku, ingin rasanya secepatnya sampai rumah dan beristirahat dari segala rasa lelah yang kurasa hari ini."Hey, siapa itu? "Tiba-tiba saja ada yang berteriak padaku, dari pos ronda sebrang jalan."Berhenti! Aku bertanya, siapa kau pagi-pagi buta begini keluyuran di desa kami, apakah kau maling atau orang yang melakukan pesugihan? " seenaknya saja orang yang berjaga di pos ronda itu bilang kalau aku pelaku pesugihan, belum merasakan cin*anganku rupanya, dia.Aku berhenti sejenak di sana, menunggu orang yang berjaga di pos ronda itu menemui ku."Kenapa kau malah diam, hey? bukalah jas hujan mu, agar aku bisa melihat wajahmu! Kenapa kau masih bengong saja seperti patung begitu? "Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m
Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada
Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke
Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya
"Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami
Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah