Wira naik di atas sepeda motor dengan tangan, mulut dan mata terikat. Ia diapit oleh para pengejar di depan dan belakang. Praktis pemuda itu tak bisa kemana-mana. Tak ada celah untuk melakukan gerakan kecil. Entah akan dibawa kemana ia kini.“Bang, bang,” panggil Wira sembari terus menggerakkan tubuhnya.“Diem, Lu!” hardik pria yang mengemudikan sepeda motor. Pria yang dibelakang Wira segera memukul kepala Wira agar pemuda itu diam.“Gue mau pipis!” kilah Wira. Entah mengapa ide itu datang tiba-tiba.“Tahan! Sebentar lagi kita sampe!” sahut pria di belakang.“Udah nggak tahan! Ntar pipis di sini lho!” Wira terus berupaya meyakinkan bahwa ia tidak berbohong dengan terus menggerak-gerakkan tubuhnya.“Ye, nih bocah!” gerutu pria pengendara dan segera menepikan sepeda motornya. “Sono, pipis!”Wira terburu-buru untuk turun dari sepeda motor dan terus saja bergerak seolah ia tak bisa lagi menahan rasa untuk buang air kecil. Namun setelah turun pemuda itu hanya diam di tempatnya. Dan terus m
Tak ada pilihan lain bagi Wira selain bersembunyi di balik rimbunnya semak dan pohon di kebun kosong itu. Tepiannya tumbuh subur pohon jarak dan tanaman rimpang. Pemuda itu tak peduli lagi akan ancaman dari binatang berbisa atau yang lain. Baginya ancaman dari orang-orang Suryo ini begitu merepotkan.Menyatu dengan kepekatan malam adalah pilihan terbaik sekarang. Sambil terus berdoa agar selamat dan paling tidak tak ditemukan para pengejar itu. sorot lampu senter lalu lalang di atas kepala Wira. Dari sumber gerakannya, lebih dari tiga orang yang menggunakan senter. Sebisa mungkin Wira tak bergerak, diam terpaku pada bumi.“Ya Allah, kalau pun harus melawan, tolong pisahkan mereka,” gumam Wira dalam hati. Pengalamannya mengalahkan sembilan orang saat mengantar Nadya pulang kampung bisa jadi rujukan. Namun kali ini pasti para pengejar akan lebih berhati-hati.Suara langkah kaki menginjak rerumputan terdengar tak jauh dari tempat Wira telungkup, tiarap memeluk bumi. Perkiraan Wira mungki
“Mau kemana Lu? Daerah situ udah gue cari!”Wira mendadak menghentikan langkahnya. Ia merutuki diri sendiri karena tak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya. Pemuda itu segera menurunkan topi dan menunduk, menyamarkan wajahnya sendiri. Semoga saja orang itu tak mengenali bahwa rekannya sudah berbeda.“Kencing!” sahut Wira singkat.“Oh!” jawab pria itu singkat.Lelaki sebaya dengan orang yang sudah Wira lumpuhkan itu segera berlalu meninggalkan Wira yang berakting seolah-olah ingin buang air kecil. Setelah pria itu menghilang dalam gelap, Wira segera meninggalkan tepian sungai itu dan berjalan ke arah sebaliknya menyusuri aliran sungai.Beberapa belas meter kemudian Wira menemukan deretan pohon karet yang berjajar begitu rapi. Tempat yang bagus untuk melarikan diri, tapi tak bagus untuk bersembunyi. Karena biasanya kebun karet selalu terawat. Memang ada rumput namun tak akan menjadi semak belukar.Sorot-sorot lampu senter sudah cukup jauh berada di belakang Wira. Dari jauh gerakan
“Halo, Wir? Ini beneran Wira?” tanya Aisya setelah menyentuh icon loudspeaker di layar gawainya.“Iya, Sya, ini Wira. Aku nggak papa, ini pake hape orang yang ngejar aku. Kamu sama Mamak jangan kemana-mana dulu ya?” ucap Wira dari seberang dengan suara bergetar dan napas tersengal-sengal.“Iya, Wir. Ini ada Jaka sama Ario juga di sini. Mereka perlu gimana ini biar bantuin kamu?” tanya Aisya turut panik karena mendengar suara kekasihnya yang tampak tengah berlari.“Mmm, gini aja sampein ke mereka, besok ketemuan di rumah Niken aja. Kayanya aku ada di area sungai tempo hari itu, Sya. Aku pengen minta tolong sama Pak Kamis. Dia udah nggak mau nolongin Bapak, masa iya nggak mau nolongin aku, kan?” terang Wira dari seberang.Darah Aisya sebenarnya menghangat. Namun tak ada pilihan baginya untuk menyelisihi keputusan Wira. Kekasihnya itu memang terdengar baik-baik saja. Tapi tak ada yang bisa memastikan selain Wira sendiri. Apa lagi menurut cerita Mamak, Wira sempat babak belur dengan darah
“Maaf, Pak, apa memang harus begini?” tanya Jaka setelah saling pandang dengan Ario di kegelapan. Pak Kamis tak segera menjawab. Ia justru memperhatikan dengan seksama wajah dua pemuda itu.“Kalian benar-benar temannya Wira?” bisik Pak Kamis dengan penekanan nada pada kalimatnya.“Iya dong, Pak,” jawab Ario tegas.“Kok Bapak tanya begitu? Ada apa?” tanya Jaka yang mencium ada hal yang lebih besar dari yang mereka bayangkan selama ini tentang hal yang tengah dialami sahabatnya.“Kalau kalian teman Wira, sampai datang ke tempat ini, tapi nggak tahu seperti apa masalah temanmu, apa itu bisa dibilang teman?” ucap Pak Kamis begitu menyudutkan.Jaka dan Ario kembali saling pandang. Ada senggurat emosi yang meninggi di wajah Ario. Namun segera ia tepis manakala melihat bilah tajam parang di kedua tangan Pak Kamis. Keduanya serempak mengangkat bahu, tanda tak memiliki ide dan pembelaan apa pun.“Maaf, Pak, Wira memang cerita soal masalahnya dikejar-kejar oleh anak buah Pak Suryo, tapi kami ng
“Berhenti!” seru pria itu setengah berbisik.Wira berhenti mendadak namun tak mampu untuk menahan rasa terkejutnya. Seketika ia masuk lagi ke dalam air setelah hanya beberapa detik keluar. Suara masuknya Wira dalam air itu lah yang dikhawatirkan pria pengejar itu dan segera meletakkan telunjuknya di ujung hidung.“Keluar Lu dari air!” titahnya.Wira mengangkat kedua tangannya tanda ia tak akan melawan. Sesekali ia melirik ke sekitar. Tak ada siapa pun. Artinya pria ini bisa ia lumpuhkan tanpa menarik perhatian para pengejar yang mungkin masih bersembunyi dan mengawasi. Namun Wira tak tahu bagaimana caranya.Perlahan Wira keluar dari air. Pria berpakaian serba hitam itu terus menodongkan senjata apinya dengan tangan gemetar. Wajahnya terlihat panik dan terus menjaga jarak. Mungkin kemampuan spesial Wira sudah ia ketahui, atau mungkin juga ini kali pertama ia menggunakan senjata api.“Cepetan!” ucapnya setengah menghardik.“Nggak liat ini licin? Mana tangan gue ke atas, mana bisa gue pe
“Terima kasih, Wir. Ijinin aku terlibat untuk masalahmu ini,” ucap Niken di dada Wira. Sesunguhnya Wira ingin melepaskan, namun ia melihat ketulusan pada perempuan itu dan tak ingin menghancurkan momentum.“Tapi, Ken, masalahku ini bahaya. Keselamatanmu, Pak Kamis, Yura juga bisa terancam,” sanggah Wira pelan. Ia benar-benar tak ingin merepotkan Niken dan keluarganya lebih dari malam ini.“Wir, biarkan aku membalas pertolonganmu.” Niken melerai pelukannya. Ia kini sedikit mendongak memandang wajah pemuda tampan di hadapannya. “Awalnya aku pikir bisa menjadi pendampingmu, tapi rupanya sudah ada Aisya,” lanjutnya sendu.“Pendampingku?”“Ya, nikah sama kamu, melayani kamu seumur hidup mungkin jadi satu-satunya cara biar kamu tahu aku pengen berterima kasih,” terang Niken. Kedua manik mata hitam itu sudah digenangi air mata.“Kamu tahu itu nggak perlu, Ken. Kamu nggak perlu menyerahkan dirimu untuk berterima kasih. Cukup dengan membantuku kaya sekarang, itu jauh lebih baik,” ucap Wira lem
“Eh, Wir, sorry. Kamu mau kemana?” tanya Niken berusaha mengalihkan pembicaraan yang menghunus padanya.“Aku pikir lebih baik aku di luar. Di dalam rumah cuma ada kamu dan Yura, kan?” ucap Wira tanpa sekali pun meminta Niken memvalidasi ucapannya.Wira melangkah menjauh dari pintu separuh badan itu. Dapur rumah Niken cukup luas, khas dapur di desa. Dengan peralatan sederhana dan kursi bambu menyerupai balai-balai. Bedanya sudah ada washtafle yang belum ditemukan di dapur orang desa.“Nggak lebih baik kamu di dalam aja, Wir?” tanya Niken mengekori langkah Wira.“Aku nggak enak sama Pak Kamis, Ario dan Jaka. Sekaligus jaga-jaga siapa tahu ada yang coba masuk rumah dari belakang,” dalih Wira seraya duduk di kursi bambu. Beberapa detik kemudian pemuda itu menguap.“Istirahat lah, Wir. Kalau nggak mau di dalam, rebahan aja di sini. Kamu pasti capek,” ucap Niken yang sudah duduk di sisi Wira.“Hmm, kayanya rebahan dulu deh. Aku nyaris nggak pernah nyantai seharian ini,” ujar Wira tanda setu