Aisya mendudukkan tubuhnya di jok sepeda motor milik Wira. Ini lah kali pertama ia duduk sedekat ini dengan seorang laki-laki setelah mendiang suaminya. Meski begitu dekat, perempuan itu masih memberikan sedikit jarak. Gamis bagian bawah ia angkat sedikit agar terbebas dari putaran roda belakang sepeda motor matic itu. Sedang tangan kirinya menggenggam pegangan besi di ujung jok.
Wira tersenyum menyaksikan wajah cantik perempuan di belakangnya yang tengah mencari posisi nyaman dalam boncengannya. Ia sudah tentu bahagia, apa lagi melihat mantan guru mengajinya itu sama sekali tak keberatan meski hanya dibonceng sepeda motor matic lama.
“Siap?” tanya Wira. Matanya masih memandangi wajah Aisya dari kaca spion kiri sepeda motornya.
“Siap, Wir,” jawab Aisya. Ia segera tersenyum setelah menyadari lelaki di depannya tengah memandang refleksinya dari kaca spion.
Sebagai bentuk kesepakatan bersedia membantu membesarkan bisnis online
Wira memegangi keningnya yang terasa berat. Tak seperti biasa, bayangan masa lalu tentang bapak yang sudah belasan tahun tak pernah ia lihat itu begitu menguras energi. Padahal seharusnya masalah energi ini sudah teratasi. Sepertinya memang ia harus menanyakan perihal kematian sang bapak kepada mamaknya yang sealu saja bungkam dan menghindar bila ada pertanyaan tentang suaminya.Aisya yang berada di sampingnya menghentikan makannya. Kondisi Wira lebih jadi perhatian dari pada makanan yang tersaji di hadapannya. Ia hanya tahu ia dan Wira sama-sama menyatakan cinta. Lalu pemuda itu terdiam beberapa saat dan mengaku melihat bapaknya di tempat ini di penglihatan masa lalunya.“Wir, kamu serius denganku?” tanya Aisya.“Hah? Tentu aku serius, Sya. Makanya aku bersedia keluar dari pekerjaanku dan membantumu membesarkan usahamu itu. Benar kan?” Wira menoleh ke arah perempuan cantik di sampingnya.Aisya menunduk sekilas dan memandang Wira m
Udara di daerah ini masih terasa sejuk. Meski matahari sudah membakar tubuh berbalut jaket ekspedisi, tapi Wira masih merasakan hawa sejuk yang menerpanya. Efek dari rimbunnya pepohonan yang tumbuh di sepanjang tepi kanan jalan selebar tiga meter ini. Sedang sebelah kiri mengular aliran sungai yang kini sedang surut.Baru pertama kali Wira mengantarkan paket ke daerah ini. Seorang kurir berhalangan masuk hingga ia yang beroperasi bersebelahan dengan wilayah kurir itu lah yang mengemban tugasnya. Sebuah daerah yang sebenarnya cukup dekat dengan rumahnya namun cukup jauh dari kantor ekspedisi.Air sungai yang keruh itu memantulkan sinar matahari. Terkadang silaunya cukup mengganggu pandangan mata. Kaca helm gelap kadang pula tak mampu meredupkan maksimal pantulan sinarnya. Sebuah rumah sederhana di bantaran sungai seolah memancarkan energi yang menarik Wira untuk berhenti.Rumah pertama sepanjang daerah ini, semi permanen terbuat dari papan dan beberapa bagian lai
“Kayanya kamu harus ikut aku, Sya!” seru Wira begitu melihat Aisya menyambut kedatangannya.“Ikut kemana, Wir?” Perempuan itu menatap Wira dingin. Ia mengerti ada yang tengah dirisaukan kekasihnya ini.“Aku lihat bapak lagi kemarin. Kali ini lebih jelas dari pada tempo hari,” terang Wira. Wajahnya beegitu masam, amat berbeda dengan ekspresi Wira biasanya saat bertemu Aisya.“Oh ya? Apa memang bapak sering ke sungai?” Aisya mencoba terkoneksi dengan pernyataan Wira. Namun lawan bicaranya itu masih saja dingin.“Nggak. Jasad bapak ditemukan di sungai. Yang aku lihat kemarin adalah orang-orang yang kemungkinan terlibat dan jadi sebab kematian bapak, Sya.” Titik air mata menggantung di kelopak mata Wira.“Maksudmu ... bapak meninggal karena dibunuh?” mata Aisya terbelalak. Sebenarnya apa yang sudah dilalui laki-laki ini. Belum tuntas rasa penasarannya pada kemampuan Wira melihat ma
“Mbak Niken? Kamu tinggal di sini?” tanya Wira gembira. Sesuatu yang sama sekali belum Aisya lihat hari ini.“Iya, Mas. Oh iya, mari mampir dulu, Mas. Anak saya pasti senang sekali ketemu Mas Wira?” ujar Niken ramah. Ia langsung menghambur saja ke dalam rumah tak menunggu persetujuan Wira.“Siapa?” tanya Aisya sambil turun dari sepeda motor dan membenahi jilbab dan gamisnya.“Niken, dia itu perawat yang dulu rawat aku di rumah sakit. Awal-awal diberi kemampuan ini, aku sempat nggak sadarkan diri dua hari, Sya. Niken lah yang rawat aku, terutama kalau mamak lagi pulang,” terang Wira.Pemuda itu melepas helmnya. Ia tak menyangka bisa bertemu Niken di sini. Padahal sudah beberapa kali rumah ini ia lewati, terutama kemarin karena mencari alamat di luar trayeknya.“Terus kalian jadi dekat, gitu?” tanya Aisya lagi.Wira tertawa kecil. Ia paham api cemburu tengah berkobar di hati Aisya. Se
“Tolong ceritakan, Pak,” pinta Wira dengan mata sayu penuh dengan pengharapan. Tabir misteri kematian sang Bapak terasa sudah akan tersingkap beriring kata-kata yang akan Pak kamis ucapkan.“Saya hanya ingat sedikit saja. Saya lupa tepatnya tahun berapa. Pukul 4 pagi saya terbangun karena mendengar suara laki-laki minta tolong. Arahnya dari belakang rumah,” buka Pak Kamis sambil terus mencoba mengingat keras memori yang tak ingin ia ingat. Matanya menerawang jauh menembus waktu belasan tahun silam.“Saya ragu, entah sudah berapa lama laki-laki itu berada di sana. Saya keluar saat mendengar suara gaduh orang-orang berlari di samping rumah. Saya melihat beberapa orang masuk ke dalam sungai. Sisanya mengejar menyusuri tepian.” Pak Kamis menyeka sisa air mata di pipi.“Lalu?” Wira mencondongkan tubuhnya ke depan, ke arah Pak Kamis yang masih saja mencoba mengingat detail kejadian itu.“Lalu beberapa pria k
Sebuah pohon beringin besar dengan akar yang menjuntai-juntai ke bawah sudah tampak dari kejauhan. Pintu air tua yang kemungkinan sudah ada sejak jaman Belanda membentang di sungai Bayan menahan debit air dan membagi ke banyak cabang irigasi. Pintu air yang berada di bawah jembatan ini merupakan kunci penghidupan desa-desa di hilir sungai. Juga kunci mengungkap misteri kemarian Barata.Wira berjongkok di tepi sungai. Salah satu lututnya menumpu di tanah. Ia memandang tajam lima buah pintu air yang sebagian tertutup karat. Aisya yang semula akan menunggu di tepi jalan, akhirnya memutuskan menyusul Wira turun ke tepi sungai. Ada hal hebat tengah dialami kekasihnya itu.Bahu Wira bergetar hebat. Matanya masih menatap ke arah yang sama. Namun perlahan jemarinya memikit pelipisnya berulang kali. Perlahan ia bangkit, saat Aisya sudah tiba di belakangnya.“Kamu nggak apa, Wir?” sentuh Aisya di pundak Wira.Pemuda itu membalikkan tubuhnya perlahan. En
“Gas, Nad!” pekik Maya. Ia begitu panik sedang Nadya begitu gugup.Mobil sedan hitam itu segera melaju saat Wira dan Aisya hampir sampai dan bermaksud mengetuk jendela kaca Nadya. Gadis itu segera memacu mobilnya dengan cepat. Sepeda motor matic dengan penumpang duduk menyamping tak akan mampu menyaingi kecepatan mobil. Apa lagi sedan, yang terkenal karena hambatan kecilnya terhadap angin.“Duh, ketahuan nih kita,” keluh Maya. Ia takut, dan berpegangan pada handel di atas pintu.“Kayanya cewek itu yang nyadar dan notice sama mobil ini,” ujar Nadya. Gadis itu begitu fokus. Berkali-kali ia melihat kearah tiga spion mobilnya. Ia ingin mereka berdua aman meski yakin Wira tak akan mampu mengejar. Paling tidak ia harus keluar dari jalan desa yang sepi ini.“Kayanya udah jauh deh dia, Nad.” Maya menyandarkan tubuhnya sambil menghela napas panjang. Sejenak ia memejamkan mata melepaskan ketegangan yang mende
“Heh! Lu ngapain berhenti di sini?” hardik Maya. Ia tak mengerti setelah hampir ketahuan oleh Wira tadi, bisa-bisanya Nadya masih berusaha mengikutinya sampai ke kedai perempuan itu.“Tanggung, May, anggep-anggep penutupan dah,” seloroh Nadya sambil menyeringai lebar.“Nggak takut ketahuan lagi? Ah, Lu mah emang dasar pengen ketahuan Wira kan?” tuding Maya. Perempuan 33 tahun itu tampak memutar bola mata malasnya.“Gue kadang inget sama masa lalu gue, May,” ucap Nadya tiba-tiba. Sama sekali berbeda topik dengan hal yang sedang mereka bicarakan.“Hah? Wah, serius ini kayanya!” Maya merubah arah duduknya.“Coba dulu tas gue nggak ilang ya, May. Mungkin sekarang gue lagi nyusun skripsi, jadi mahasiswa tingkat akhir. Kirim duit ke orang tua di kampung pake duit halal,” kenang Nadya. Wajahnya segera berubah mimik. Ada penyesalan di sudut-sudut mata.“Duh, gue jadi ngera