Perselisihan antara seorang pengusaha asing asal Amerika dengan pengusaha nasional ternama telah menyeret Widya, seorang wanita penghibur bertarif mahal. Widya hanya bersedia melayani siapa pun pengguna jasa dirinya jika berani membayar senilai harga minivan untuk satu hari saja. Seorang pengusaha nasional meminta Widya untuk menemani mitranya dari Amerika. Setelah bersepakat dengan bayarannya, Widya segera bergegas menemui pengusaha Amerika di hotel bintang lima tempatnya menginap di bilangan kawasan elite Mega Kuningan, Jakarta Pusat. Di kamar mewah bintang lima itulah, dini hari yang menyebalkan sekaligus menakutkan harus dihadapi Widya. Seorang lelaki tak dikenal menelepon Widya ke nomor pribadinya. Penelepon itu mengabarkan bahwa orang Amerika yang bersama Widya dalam kamar sudah tak bernyawa. Sempat bersitegang dengan si penelepon karena tak semudah itu dirinya percaya, namun pada akhirnya Widya menuruti anjuran si penelepon untuk segera keluar dari kamar hotel dan bersedia menemui si penelepon yang telah berjanji akan membantu melindungi Widya dari tuduhan pembunuhan. Widya pun, diburu.
View MoreHotel JWM Internasional, pukul 04:15, di kamar presdential suite lantai 2, Widya terusik lelapnya oleh bunyi panggilan pada ponselnya.
Berbalut pakaian tidur berbahan tipis, Widya menyambar ponselnya di meja kecil sebelah pembaringan dan tanpa memeriksa nomor siapa yang muncul di layar ponselnya, Widya menerima panggilan.
"Maaf, saya lupa, seharusnya saya menonaktivkan ponsel sebelum tidur, karena saya tidak pernah menerima pekerjaan saat dini hari seperti ini!" sapa Widya seolah terbiasa ketika menerima panggilan ke nomor khusus itu untuk siapa pun yang memerlukan jasa dirinya.
"Maaf, Nona Widya. Aku menghubungimu bukan untuk itu," suara lelaki dengan intonasi berat, menyahut dari ujung telepon.
Widya menegakkan duduknya di tepian pembaringan.
"Nomor khusus-ku ini hanya diketahui oleh para lelaki hidung belang. Anda tahu nomor saya ini dari siapa?" dahi Widya mengernyit.
"Dari Mr. Ben yang sedang bersama anda saat ini."
Widya segera mencari sosok Mr. Ben yang sewaktu ia tertidur sekitar pukul sebelas malam tadi, Mr. Ben sedang keluar sedari sore. Pandang Widya mengitari kamar dan mendapati Mr. Ben tengah terkulai di sofa di ruang tamu yang tersekat lemari besar dalam kamar. Widya berdiri menghampiri saklar lampu utama kamar. Ruangan kamar kini menderang.
"Mr. Ben bersama Nona, bukan?" sambung si Penelepon.
"Ya, Mr. Ben bersamaku. Tadi aku telah terlelap sebelum Mr. Ben kembali ke hotel. Aku tidak tahu kedatangannya?"
"Sebelum keadaan merepotkan anda, baiknya Nona berhemat waktu. Segeralah berkemas dan keluar dari kamar. Seseorang utusan saya menunggu Nona di muka hotel."
"Apa maksudnya kamu memerintah saya seperti itu? Siapa kamu?" sanggah Widya merasa si Penelepon kurang ajar dan berganti menyebut 'kamu' pada si Penelepon.
"Mr. Ben telah meninggal, Nona."
Widya terkejut-takut, seketika ia perhatikan Mr. Ben dari dekat. Widya tak berani menyentuh tubuh Mr. Ben. Namun ia berkeyakinan si penelepon itu melantur. Mr. Ben terlelap tidur. Bukan mati.
"Aku harap Nona mempercayaiku," si Penelepon mendesak sopan.
Widya belum juga terpengaruh, tetapi mendadak gelisah dan ia mondar-mandir dengan ponsel masih menempel di telinga tanpa keinginan segera memutus sambungan.
"Cari orang lain jika kamu hendak menipu, Bung," bantah Widya.
"Jika tidak mendatangkan risiko lebih besar, Nona bisa pastikan membangunkan Mr. Ben. Tapi percayalah, Mr. Ben yang bersama anda itu hanya jasadnya," upaya Penelepon bernada sabar.
"Risiko besar apa?" gertak Widya.
"Nona akan meninggalkan banyak jejak sidik jari bila menyentuh Mr. Ben."
"Sidik jari? Kamu tahu? Hampir dua puluh empat jam aku sudah berada dalam kamar ini! Sidik jariku sudah tertebar di kamar ini!" cibir Widya.
"Tidak pada tubuh Mr. Ben, bukan?"
Berdetik-detik jeda. Widya tercenung sejenak. Dalam hati Widya membenarkan si Penelepon, dirinya belum bersentuhan secara fisik sama sekali dengan Mr. Ben.
"Hallo...!?" sambung Penelepon kehilangan respon Widya.
"Ya. Aku dan Mr Ben belum kontak fisik sedikitpun sejak kami bertemu kemarin siang."
"Kalau begitu lekaslah berkemas, Nona!"
"Kenapa kamu begitu percaya diri aku akan mempercayaimu?" meski sudah mulai diliputi ketakutan, Widya tak lantas mudah percaya.
"Pilihan yang sulit. Wajar anda sulit mempercayaiku. Aku pun tak ingin memaksa. Aku menghubungimu sekedar menunaikan amanat Mr. Ben beberapa detik sebelum sakaratul mautnya. Mr. Ben meminta aku membantumu keluar dari hotel ini sebelum kematian Mr. Ben diketahui pihak hotel dan dilaporkan ke Polisi."
Mendengar Polisi, tubuh Widya gemetar disergap ketakutan hebat. Mengetahui penelepon hendak menuanaikan amanat Mr. Ben, mulailah tumbuh kepercayaan Widya.
"Bagaimana caraku untuk mempercayaimu?"
"Aku tahu nomor Nona dari Mr. Ben. Dan faktanya aku mengetahui Mr. Ben kini sedang bersamamu. Kurang bukti apa kalau aku benar-benar mengenal baik Mr. Ben? Mr. Ben adalah majikanku sendiri. Aku pengawal pribadinya, juga orang kepercayaannya dalam urusan bisnisnya," jelas Penelepon suaranya tetap tenang tak terkesan memaksa.
"Maaf, aku harus berhati-hati."
"Waktu sangat menentukan keselamatanmu, Nona."
"Apa yang musti aku lakukan setelah berkemas?"
"Taxi warna biru. Nomor pintu 116. Telah menunggu Nona di muka hotel. Silahkan Nona langsung masuk Taxi itu setelah menemukannya."
"Aku segera berkemas."
"Terima kasih telah percaya, Nona." Penelepon memutus sambungan.
Widya kembali mendekati Mr. Ben yang terkulai di sofa. Selintas tak akan ada orang menduga Mr. Ben, pria paruh baya itu telah tiada. Widya sendiri belum sepenuhnya percaya.
Hanya setelah Penelepon menyebutkan Polisi, alam bawah sadar Widya seolah memberitahukan bahwa si Penelepon tidak sedang mempermainkan dirinya. Naluri kewaspadaan Widya telah membisikinya untuk percaya pada si Penelepon.
Widya lekas mengemasi semua barang miliknya yang sempat keluar dari tas wanitanya tak ada yang terlewatkan ia rapihkan ke tempatnya semula. Beberapa pakaian pengganti persediaan selama menemani Mr. Ben untuk satu minggu di dalam lemari, ia kemas kembali ke dalam tas pakaian jinjing yang di bawanya.
Sebelum keluar kamar, entah terdorong oleh kepentingan apa, Widya menyempatkan diri mengambil gambar Mr. Ben dari berbagai sudut berbeda menggunakan kamera ponselnya.
Di kalangan para pengusaha ternama nasional, Widya cukup kesohor sebagai wanita penghibur yang pandai menyenangkan setiap pengguna jasanya. Sekali pun Widya dikenal para hidung belang dari kalangan atas sebagai wanita penghibur bertarif mahal, nyatanya Widya yang memiliki paras jelita dan terlihat seperti gadis usia belasan tahun diusianya kini dua puluh empat tahun, Widya sering direkomendasikan oleh para lelaki yang pernah menggunakan jasanya ke kolega mereka.
Saat menikmati cerutu ditengah pikirannya mencari-cari siasat apa yang harus dilakukannya ketika berhadapan dengan Sam, Dance dikejutkan oleh ketukan dari balik pintu ruangan pribadinya. "Siapa!?" Hardik Dance. "Aku, Tyo." "Ada apa lagi, Tyo!? Suara Dance meninggi. "Ibunya Widya mulai membuat kita repot, Bos." "Masuk!" Tyo masuk dengan tongkatnya yang setia. "Bikin repot bagaimana?" Tanya Dance sebelum Tyo duduk di hadapannya. "Terus-terusan menanyakan anaknya." jawab Tyo setelah duduk. "Menjawab orang dalam gangguan jiwa-pun kamu tak becus mengatasinya, Tyo?" "Justeru karena bukan orang normal, aku sulit memberinya pengertian, berbagai alasan sudah aku sampaikan bahwa anaknya akan segera datang menemuinya." "Kalau kamu bisa membujuknya membawa dia dari tempatnya dirawat, mustinya kamu bisa atasi ini semua, Tyo. Kamu sendirikan yang mengusulkan rencana ini? Demi keinginanmu bertemu Widya?" "Ya. Aku kira tidak bakal serepot ini ibunya rewel karena anaknya tak kunjung datang
Landcruser memasuki pekarangan rumah yang cukup besar terletak di kawasan pemukiman mewah di bilangan Jakarta Timur. Sam mengajak Widya lekas turun ketika ia mematikan mesin Landcruser di muka garasi. Waktu menjelang sore saat mereka tiba setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku akan bertemu ibumu, Sam?" Tanya Widya merasa kurang percaya diri harus bertemu dengan orangtua Sam. "Mungkinkah kamu bisa menghindarkan diri dari ibuku jika kamu tinggal sementara di rumahku?" "Aku..." "Ibuku tidak akan membuatmu tak betah sebagai tamuku. Ayolah!" "Itukah ibumu, Sam?" Mata Widya tertuju ke pintu utama rumah yang terbuka dan muncul perempuan paruh baya dengan tampilan sederhana namun nampak berkulit bersih serta wajah ceria menebar aura keramahan. Sam menoleh mengikuti arah pandang Widya, didapatinya ibunya menghampiri melintasi teras rumah yang luas menyambut kedatangan anaknya. "Sam, bersama siapa itu?" Sapa ibu Sam yang oleh tetangga dikenal ibu Sri. "Calon mantu ibu." Sahut Sam sekena
Dance duduk di kursi kerja yang mahal dengan sikap angkuh. Di ruangan pribadi Dance yang dianggapnya ruang kerja itu, Tyo duduk di kursi kerja lainnya yang tak seistimewa kursi Dance. Mereka hanya berdua di ruangan itu duduk berhadapan terbatasi meja. Keduanya baru saja memulai percakapan. "Jadi Tyo, menurutmu bagaimana mengenai kotak itu? kotak yang dibawa Widya?" "Bagaimana, bagaimana maksudnya, Bos?" "Kamu yakin, kotak itu bukan milik Widya yang selalu dibawa ke manapun ia pergi? Apa benar kotak itu diketemukan Sam di gedung aneh itu?" "Dua tahun aku bekerja pada Widya. Belum pernah aku lihat Widya membawa kotak semacam itu? Bentuknya saja tak begitu menarik." "Jadi kamu yakin kotak itu ditemukan Sam dari gedung itu?" Dance mencondongkan tubuh ke muka serta tatapannya menyelidik ke mata Tyo. "Ya." "Burhan dan dua temannya sempat melihat kotak itu?" Tyo mengingat-ingat, "kukira Burhan tidak. Burhan sedang pingsan saat Sam dan Widya keluar dari ruang bawah tanah gedung saat m
Sudah satu jam Sam meninggalkan hotel ketika ponselnya bergetar menerima pesan . Seraya mengemudi Sam perhatikan layar ponselnya dan ia mengenali siapa si pengirim pesan. Awalnya Sam enggan membuka pesan setelah tahu itu pesan dari Dance. Namun Sam terpancing penasaran oleh bentuk pesan bertandakan sebuah gambar yang tidak bisa ia ketahui jika tak membuka pesan Dance. Akhirnya Sam membuka pesan dari Dance. Sam tercenung sesaat setelah melihat gambar di ponselnya menampilkan wajah seorang perempuan yang ditaksirnya seumuran dengan ibunya. Baru setelah membaca beberapa kalimat yang menyertai gambar itu, wajah Sam berubah antara marah dan bingung. Marah karena Dance sudah dianggapnya keterlaluan, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk itu kepada Widya yang duduk di sebelahnya tengah memperhatikan jalan di muka untuk membantu kesiagaan Sam yang perhatiannya terbagi antara kemudi dan ponsel. "Ada apa?" Tanya Widya ketika wajah Sam nampak mengeras saat menaruh ponselnya di atas da
Pagi hari di waktu jalanan seluruh sudut Jakarta padat oleh beragam jenis kendaraan mengangkuti orang hendak beraktivitas, di rumahnya yang megah terlindungi oleh pagar tinggi, Dance hendak melepas Tyo untuk menunaikan perintahnya. Di muka garasi rumahnya, Dance dikelilingi empat orang yang sedang mendengarkan arahan darinya. Mereka adalah Burhan, Tyo, dan dua rekan Burhan yang turut menemaninya mengawal Tyo ke Pangandaran. "Camkan oleh kalian semua, aku tidak ingin kalian gagal! Jangan beri aku alasan apa pun jika kalian tak berhasil menunaikan perintahku! Kalian mengerti?!" Dance membagi pandangannya ke semua wajah yang mengelilinginya. "Aku tergantun bagaimana Tyo mengomandoi kami bertiga, Pak." Sahut Burhan, "kan yang tahu siapa dan di mana orangtua Widya, hanya Tyo." "Ya, kalian harus kompak. Tidak saling mengandalkan satu sama lain. Caranya terserah kalian, yang aku inginkan, rencanaku jangan sampai kalian gagalkan!" dengus Dance dengan isyarat tangannya perintahkan Tyo seger
Selepas mandi, Sam rebah telentang di atas pembaringan hanya mengenakan celana pendek, pikirannya mengembara menduga-duga apa sebenarnya maksud Mr. Ben meminta dirinya mendatangi gedung batu Rosline Pananjung hingga dirinya menemukan kotak besi aneh itu? Pikiran Sam juga dijejali keingintahuan akan dokumen yang sempat diperiksanya beberapa menit lalu. Sam berniat melanjutkan pemeriksaannya secara lebih cermat namun tubuhnya menuntut untuk rehat. "Kamu melamun, Sam?" Tanya Widya baru keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk membungkus sebagian tubuhnya. Widya duduk di tepian kasur dekat Sam. Matanya penuh gairah menatap dada Sam yang bidang. Kian lama kebersamaannya dengan Sam, Widya tak lagi merasa canggung terhadap Sam. "Tidak. Hanya memikirkan isi dokumen itu." Dengan matanya Sam melirik kotak di atas meja. "Kamu mau memeriksanya kembali?" selidik Widya berharap jawaban Sam; tidak. "Mauku begitu. Tapi badanku sangat lelah." "Mau aku pijit?" Sam terkekeh, "Dipijit bener
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments