Semenjak pulangnya Nilam, suasana malam di Desa Wangunsari semakin hening. Orang-orang memilih menepi di rumah, bergemelut pada rasa takut yang selalu menjadi buah bibir ketika mereka bekerja. Apalagi Darsan memberi tahu beberapa warga, bahwa ia mendengar suara aneh di rumah Pak Wahyu. Tentu saja kabar itu cepat sampai dari mulut ke mulut. Keheningan yang terjadi, menciptakan sebuah desa layaknya kota mati. Ditambah, gerimis malam ini membawa kabut tipis yang menghalangi pemandangan. Burung kecil hinggap dari genting satu ke genting lain, berhenti tepat di atas rumah Bah Karsun. Masih dengan rasa sakit di tubuh, pria itu terbangun dari pingsannya. Kepalanya berdenyut hebat, pandangannya sedikit mengabur. Maka, ia masih berusaha untuk mengembalikan kawarasannya. Setelah dirasa bisa melihat secara jelas lampu neon yang berada di atas sana, Bah Karsun mencoba bangkit. Jajang yang baru datang dengan dua botol obat di tangan buru-buru berlari. Disimpannya benda di tangan ke atas nakas,
Bah Karsun yang sudah kembali ke badannya, mulai membuka mata. Ia beristigfar beberapa kali sembari menggeser badan. Punggung renta itu disandarkan pada papan sisi ranjang. Kaki kiri diselonjorkan, yang kenan ditekuk sampai lutut bersentuhan dengan dada. Ia terbatuk-batuk, merasakan dada yang sesak. Masuk ke alam mereka membuat tenaganya terkuras habis. Pria itu membuka kopiah, lalu mengusap rambut putihnya. Bah Karsun memanggil Jajang untuk masuk agar bisa mengambilkan air dalam mugh karena tenggorokannya begitu kering. Tanpa menunggu lama, Jajang membuka gorden. Ia mendekat ke arah bapaknya. Paham dengan telunjuk yang mengarah ke lemari kecil samping ranjang, pria itu langsung mengambilkan mugh yang berisi teh bari—teh pagi yang sengaja diendapkan.Bah Karsun meneguk teh tersebut sampai habis tak bersisa. Ia kembali mengatur napas sembari mengusap-ngusap dadanya. "Gagal, Jang," ucapnya sedikit menghela napas. Jajang yang sudah bersila di depan sang bapak pun berkata, "Enggak apa-
"Bukannya masuk ke sana harus nyalain obor, ya, supaya tahu ada orang yang sedang melakukan ritual. Tapi dilanggar?" tanya Bagas. Keduanya masih mencoba mengintip aktivitas orang tersebut. Bagas dan Ridwan mengendap masuk ke makam keramat, lantas kembali bersembunyi di balik pohon beringin yang paling besar—saking besarnya bisa menutup tubuh dua pria itu. Mereka masih mengintip aktivitas orang yang mereka untit, di mana ia tengah duduk bersila dengan telapak tangan yang saling menyatu. "Kayaknya emang sengaja, supaya gak ada orang yang tau," jawab Ridwan asal. "Bukannya malah risikonya lebih besar?" Kedua bahu Ridwan terangkat saat merespons ucapan Bagas. Sebenarnya Ridwan sudah gemas, ia menangkap orang tersebut. Namun, Bagas meminta sabar sejenak. Jangan terlalu gegabah, karena justru akan membahayakan diri sendiri. Menurut Bagas, tempat yang mereka datangi itu tempat yang dihormati oleh warga desa, maka celakalah jika sampai semena-mena. Sosok itu masih bersila di salah satu m
"Coba atuh WA lagi ke Pak Wahyu, Eni masih di situ, gak?" tanya Mak Ajeng pada Dokter Hendi, suaminya Bu Eni. Sudah hampir jam 11 malam, tetapi Bu Eni belum juga pulang. Padahal, setelah dinas di desa tadi, ia berpamitan akan ke rumah Pak Wahyu, setelah itu tidak ada tugas lagi. Kalaupun ada, Bu Eni selalu memberi kabar lewat telepon atau pun WA. "Sudah, Bu, Nur bilang dari sore udah pulang. Saya juga sudah telepon semua staf desa, tapi gak ada yang tau ke mana perginya Eni," jawab pria itu dengan wajah cemas. Sedari tadi pria yang berprofesi sebagai dokter itu mondar-mandir tidak jelas, berusaha menelepon nomor Bu Eni yang tidak aktif. Kalau saja Mak Ajeng tidak mengalami kelumpuhan, mungkin akan beliau susuk anak tercintanya, mencari ke semua sudut desa. Sayang, wanita itu hanya bisa duduk di kursi roda sembari mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Entah mengapa perasaan Mak Ajeng sangat tidak enak, apalagi saat gelas di meja tiba-tiba saja pecah—tanpa ada angin. Dokter Hen
"Bu Eni ditemukan, Bu Eni ditemukan!" Gema suara itu berpadu dengan riaknya air sungai. Bu Eni ditemukan tepat ketika lantunan azan Subuh berkumandang. Jasadnya terbaring kaku di tepi sungai, dekat gua. Si pria tua yang melakukan persembahan semalam, sengaja menyimpan korbannya di sana. Semua orang sontak mengucap syukur, tetapi berubah istigfar kala melihat keadaan jasad almarhumah. Salah satu warga menelepon Pak Lurah untuk mendekat ke perbatasan. Tak berapa lama, pria itu datang bersama Dokter Hendi. Tentu reaksi yang ditunjukan adalah sama. Tak peduli bagaimana keriputnya tubuh wanita itu—layaknya nenek-nenek berumur ratusan tahun, sang suami tetap memeluknya, menangisi kepergian Bu Eni dengan begitu menyayat hati. Semua orang yang berkumpul di tempat hanya bisa menunduk, turut merasa sedih dengan kejadian mengenaskan ini. Akhirnya Pak Lurah memanggil ambulance desa untuk ke lokasi. Sebagian sudah membubarkan diri karena akan melaksanakan salat Subuh. Menjelang pagi, ambulance
"Menurut Ibu, apa kematian Bu Eni ada hubungannya dengan kutukan yang dibawa Nilam?" tanya Teh Rita membuka percakapan setelah mereka pulang dari pemakaman. Bu Rahayu terdiam sejenak, mencoba merenungi apa yang terjadi dulu pada Nyai Kusuma dan kejadian yang menimpa Nilam. Sementara itu, Teh Rita menuang air panas pada cangkir berisi teh celup, memberinya sedikit gula. Satu gelas diberikan pada Bu Rahayu, satu gelas untuk dirinya.Bau khas dari teh Ciwalini menguar, memenuhi tempat mereka duduk. Teh Rita selalu punya langganan untuk pembelian teh, dikarenakan Bu Rahayu tidak bisa minun teh lain, selain dari Ciwalini. "Dulu pas Nyai Kusuma menghilang, gak ninggalin jejak apa-apa. Ya hilang, tapi gak seheboh sekarang. Mungkin sekarang mah karena banyak pihak yang coba ikut campur," jawab Bu Rahayu sembari mengambil tehnya, lalu menyeruput dengan perlahan. Sebenarnya, banyak hal yang ingin Teh Rita tanyakan pada Bu Rahayu. Lebih tepatnya, ingin bertanya tentang masa muda ibunya itu. S
Rombongan Pengantin dari Alam Gaib"Kenapa seserahannya harus malem, Neng?" tanya perias pengantin pada Nilam, gadis yang akan menikah hari ini. Gadis berumur 20 tahun itu sudah sangat cantik, menggunakan singer Sunda serta kebaya putih. Ronceng melati di sebelah kanan tergerai ke depan menutupi brokat sederhana, di mana baju itu warisan dari ibunya. "Gak tahu, Teh. Permintaan dari keluarga A Aris. Lagipula, cuma ijab qabul, pestanya mah belakangan kalau urusan Aa di kota sudah selesai," jawab Nilam sambil terus mengulum senyum. Tidak masalah untuk Nilam menikah tanpa pesta, toh lebih cepat tentu lebih baik. "Denger-denger teh, harusnya minggu depan, kan, ya, Neng Nilam nikahnya?" "Iya, Teh. Cuma A Aris minta tanggal dimajukan. Beliau ada kerjaan di luar kota, jadi kalau udah nikah, Nilam bisa diajak juga. Ada yang ngurus Aa di sana." Wajah Nilam mulai memerah, ia tersipu malu membayangkan betapa indahnya mahligai rumah tangga yang akan dijalani bersama pria yang ia cintai.Teh Rit
Langit kian pekat, ditemani lolongan anjing serta cuitan para binatang malam. Desau angin menciptakan suasana hening di Desa Mekarwangi. Cahaya bulan purnama seakan mengundang pasang-pasang tak kasat mata untuk memperhatikan laju delman yang menyelusup dalam kabut malam di antara rindangnya pepohonan. Nilam masih belum menyadari apa-apa. Tangannya diselipkan pada lengan Aris yang sedingin es. Meski terbalut jas hitam tebal dan terhalang kebaya tipis, ia bisa merasakan betapa dinginnya kulit seputih pualam itu. Nilam menyandarkan kepalanya di bahu Aris, merasa tubuhnya lemah dan sangat mengantuk. Aris masih menatap jalanan yang hanya bisa dilalui oleh kereta kencananya. Suara seringai kuda terkadang memecah kesunyian. Roda kian berputar, membelah jalan di antara pohon bambu yang menjorok ke dalam—seakan berperan menjadi terowongan—menembus dunia yang sulit terjangkau manusia. Pria itu menoleh ke arah Nilam, membelai pipinya yang halus. Dengkuran halus mulai terdengar, menandakan gad