“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.
Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.
“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.
Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.
“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”
Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya, halaman ini benar-benar kotor. Dulu, waktu kakekmu masih di sini, halaman ini sering dirawat. Tapi setelah ditinggalkan bertahun-tahun, lihat saja hasilnya,” jawabnya dengan senyum samar.
Sementara itu, Anis masuk ke dalam rumah dengan membawa belanjaannya. Langkahnya terhenti di dapur ketika melihat piring bekas makanan yang tergeletak, nyaris kosong. Sesaat ia mengernyit, lalu menggeleng pelan. “Siapa yang lapar sampai menghabiskan hampir separuh isi baskom?” gumamnya bingung. Ia tak ingat meninggalkan makanan sebanyak itu di malam sebelumnya.
Anis kembali ke halaman, bergabung dengan Hendra dan Rasya. Hendra menyelesaikan pekerjaannya, menepuk debu dari tangannya, lalu menyunggingkan senyum lelah. “Ayo, Bu, kita sarapan saja,” ajaknya, menyadari perutnya mulai keroncongan.
“Ya, kita sarapan,” Anis menyetujui sambil tersenyum palsu, ia mencebikan muka, lalu berjalan mengiring di belakang ayah dan putranya.
Di meja makan, Hendra menatap tumpukan piring yang kosong di hadapannya, ekspresi bingung tergurat di wajahnya. Ia menarik kursi dan duduk, menoleh ke arah Anis. “Bu, sudah makan duluan, ya? Kok sampai habis dua piring?” tanyanya pelan.
Anis mendengus kesal. “Ayah ini mulai pikun, ya? Yang makan sampai habis kan ayah sendiri. Sekarang malah nuduh ibu!” Anis melirik Rasya dengan raut tidak senang.
Rasya mengernyit, lalu menatap ayahnya. “Lho, Bu, tadi ayah dari tadi kan di halaman, nggak ke dapur sama sekali. Yang pertama ke dapur justru ibu.” Hendra mulai menggeser piring.
Rasya hanya mengangguk, seakan membenarkan ucapan sang ayah. “Iya, ayah dari tadi membersihkan halaman, nggak sempat ke dapur, Bu,” jelasnya.
"Dia makan saat kita ke pasar tadi, waktu ibu masuk dapur, sudah ada piring dua yang kosong." Anis kekeuh dengan pernyataannya. Hendra mengerutkan kening, wajahnya menampakan kebingungan. "Lalu siapa yang makan? Ayah dari tadi benar-benar belum masuk ke rumah."
Anis terdiam, merasa bingung dan sedikit tersinggung. “Jadi... kamu menuduh ibu makan sendirian? Mana mungkin. Baru sampai dapur tadi, dan aku lihat piring-piring ini sudah kosong,” tukasnya dengan nada tidak terima.
Sejenak mereka bertiga saling pandang, masing-masing merasa janggal dengan kejadian itu. Mereka tak bisa mengabaikan fakta bahwa ada sesuatu yang tak biasa di rumah tersebut.
"Sudahlah, Yah, Bu, kita nikmati saja makanan ini," ujar Rasya, mencoba menenangkan suasana. "Lagian, makanan ini masih banyak, kok." Ia mengambil satu piring bersih dari meja, berniat memulai sarapan dengan tenang. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat melihat sesuatu di meja yang membuat keningnya berkerut.
"Ayah, Ibu… ini dot siapa?" tanya Rasya pelan, mengangkat dot berwarna kuning yang tampak baru tapi terasa asing. Suara Rasya terdengar ragu, sementara matanya terus menatap benda itu dengan penuh tanda tanya.
Anis dan Hendra saling pandang, kebingungan tak kalah besar muncul di wajah mereka. "Dot?" Anis menatap dot itu lekat-lekat, lalu menggeleng perlahan. "Ibu nggak pernah bawa dot ke sini, Rasya, dan di rumah ini hanya ada kita bertiga."
Hendra pun terlihat heran. "Perasaan nggak ada dot waktu kita bersih-bersih kemarin. Rasanya baru sekarang benda itu muncul." Mereka semua terdiam, menatap dot dengan perasaan tak nyaman, Rasya meletakkan kembali dot itu, dan mulai mencoba bersikap biasa.
"Sepertinya, ayah harus menceritakan sesuatu yang pernah ayah dengar dari Pak Tomo," Hendra berkata tiba-tiba, memecah keheningan yang terasa berat di ruangan itu. Rasya dan Anis saling pandang, penasaran sekaligus tak nyaman.
Hendra menarik napas panjang sebelum mulai bicara. "Tiga bulan setelah bapakku meninggal, rumah ini ditemukan dalam kondisi aneh," ucapnya pelan. "Di pintu masuk rumah, ditemukan mayat seorang wanita tanpa identitas. Tak ada yang tahu siapa dia, dari mana asalnya, atau bagaimana dia bisa ada di sini."
Rasya menelan ludah, mendengarkan dengan saksama sementara Anis meremas tangannya sendiri, wajahnya mulai tegang. Hendra melanjutkan, "Setelah kejadian itu, warga sekitar mulai menjauhi rumah ini. Mereka takut dan bahkan melabeli rumah ini sebagai rumah warisan angker. Banyak yang bilang mereka mendengar suara-suara aneh, seperti tangisan bayi, khususnya di malam hari."
Suasana kembali hening, hanya terdengar desiran angin yang menerpa daun jendela. "Wanita itu ditemukan tewas dengan kondisi perut terbelah." Hendra menutup ceritanya, Rasya mulai merasakan perutnya bergejolak, membayangkan bagaiman wanita itu tewas. "Kenapa perutnya..." Rasya tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Yang aku dengar, wanita itu gila dan saat datang kondisinya memang sudah hamil," jawab Hendra.
Keheningan yang mengikuti cerita itu justru semakin menambah rasa mencekam yang menyelimuti rumah tua tersebut.
"Ayah, Ibu, Rasya ingin Ayah dan Ibu kembali saja ke rumah. Aku akan bicara dengan Lisa," kata Rasya dengan tekad bulat. Anis menunduk, terdiam, sementara Hendra, yang tahu betul ketegangan antara istrinya dan menantunya, menatap Rasya tajam.
"Coba hubungi istrimu sekarang," ujar Hendra tegas. "Katakan padanya. Dan nyalakan pengeras suara, supaya kami juga mendengarnya."
Rasya ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti permintaan ayahnya. Ia menekan nomor Lisa, berharap ada respons yang baik. Beberapa kali ia mencoba, namun panggilannya tak diangkat. Rasya mendesah, lalu menuliskan pesan yang menjelaskan situasinya, meminta izin agar kedua orang tuanya bisa kembali tinggal bersama mereka.
Tak lama, sebuah balasan masuk. Hendra menatap Rasya penuh harap dan cemas. "Bacakan, Nak," ujarnya pelan.
Rasya membaca pesan itu dengan berat hati. Ternyata, Lisa menolak mentah-mentah, bahkan dengan nada yang dingin. "Ayah dan Ibu bisa cari tempat lain, Rasya. Aku tak bisa menerima mereka lagi di sini," tulisnya. Rasya menghela napas panjang, menatap wajah ayah dan ibunya yang tampak kecewa.
"Maaf, " lirih Rasya sambil meletakan gawainya.
"Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek
Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis
Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se
Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink
Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi