Rumah Angker Warisan Bapak

Rumah Angker Warisan Bapak

last updateLast Updated : 2025-02-05
By:  EliyonaCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
3 ratings. 3 reviews
103Chapters
674views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Hendra dan Anis, pasangan tua yang sudah pensiun, memutuskan kembali ke rumah warisan orang tua Hendra yang telah puluhan tahun kosong di pinggiran desa. Namun, sejak malam pertama, suara tangisan bayi yang tak terlihat sumbernya mulai menghantui mereka. Rumah yang sepi dan sunyi itu ternyata menyimpan misteri kelam yang lama terkubur. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu, dan siapakah sosok yang terus menangis di malam hari?

View More

Chapter 1

Bab 1: Kembali ke Rumah Lama

Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat.

"Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. 

Anis mengangguk perlahan. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nak?" tanya Anis lembut.

Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin menjalani hidup berdua saja dengan Mas Rasya. Aku ingin bisa menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kami tidak membutuhkan kehadiran ibu di sini. Aku butuh privasi, Bu! Rumah ini terlihat sempit, karena adanya Ibu dan Bapak. Apa ini Ibu tidak ingin hidup mandiri, tanpa mengganggu anak dan menantu?"

"Mengganggu? Aku adalah ibu dari Rasya dan ibu juga sudah menganggapmu sebagai anak ibu sendiri."

Lisa menggertakkan giginya, menahan emosinya. "Ini bukan soal Ibu sebagai orang tua. Ini soal ruang. Rumah ini terasa semakin kecil. Aku ingin mengatur rumahku sendiri."

"Aku membutuhkan privasi, Bu," ucap Lisa sambil meletakkan piring terakhir. Suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. "Bukankah rumah ini sudah diatasnamakan Mas Rasya?"

Kata-kata itu menusuk hati Anis. Ia menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. "Ini rumah kami," jawabnya.

"Tidak lagi, sejak sertifikat rumah beralih menjadi nama Mas Rasya!" Lisa beranjak dari tempatnya dan berlalu pergi, meninggalkan Anis yang menangis.

---

Saat Hendra pulang sore itu, Anis tak bisa menyembunyikan rasa sakit hatinya. Di ruang tamu yang sunyi, Anis akhirnya berbicara, "Pak, sepertinya aku tak tahan lagi, Lisa ingin mengusir kita. Dia selalu membuatku merasa tidak diinginkan."

Hendra mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari wajah Anis yang penuh keriput dan beban hidup. Ia menarik nafas panjang.

“Kalau memang Lisa dan Rasya menginginkan hidup mandiri, sebaiknya kita yang harus pindah,” ujar Hendra dengan nada yang sangat tenang, hampir tanpa emosi. "Lagipula, rumah ini memang kita bangun untuk putra kita."

Anis terdiam sejenak. “Lalu, kita akan tinggal di mana?” tanyanya dengan nada cemas. Selama ini, meski menghadapi banyak masalah, ia tak pernah membayangkan harus meninggalkan rumah yang dibangunnya dengan keringat dan air mata di atas tanah warisan orang tuanya.

"Kau lupa dengan rumah warisan ayahku?" ujar Hendra sambil menatap istrinya dalam-dalam. "Rumah di Desa Kenikir. Rumah itu sudah puluhan tahun tidak dihuni. Sejak ayah meninggal, tak ada yang mau tinggal di sana. Mungkin inilah saatnya kita kembali ke sana."

Anis teringat rumah tua itu, rumah yang dibicarakan Hendra beberapa kali tapi tak pernah benar-benar dikunjungi. "Terakhir kau mengunjunginya satu tahun setelah Rasya lahir. Itu pun Kau hanya melihat dari depan," kata Anis, mencoba mengingat saat-saat ketika Hendra menceritakan tentang desa kecil itu.

"Aku tahu," jawab Hendra dengan suara yang pelan. "Tapi sekarang, kita tidak punya pilihan lain. Rasya dan Lisa butuh ruang mereka sendiri. Dan kita akan menjalani sisa hidup kita dengan damai."

Perasaan tak nyaman mulai menyusupi hati Anis. Meninggalkan rumah ini berarti melepaskan semua kenangan yang pernah mereka ciptakan. Namun, dia tahu, mungkin ini yang terbaik. Anis pun mengangguk pelan, menyerahkan segalanya kepada keputusan Hendra.

---

Beberapa hari kemudian, mereka berangkat menuju Desa Kenikir, sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota. 

Perjalanan memakan waktu beberapa jam, melewati jalan-jalan kecil yang dipenuhi pepohonan rindang. 

Ketika akhirnya mereka tiba di depan rumah warisan itu, Anis merasa jantungnya berdegup kencang. 

Rumah itu tampak lebih besar dari yang ia bayangkan. Cat dindingnya sudah mengelupas, atapnya tampak retak di beberapa bagian, dan halaman depannya ditumbuhi semak-semak liar.

Hendra keluar dari mobil, mengamati rumah itu dengan mata yang berputar. “Kita pergi dulu ke rumah kepala desa, untuk mengurus izin,” katanya sambil memegang tangan Anis, mengajaknya meninggalkan rumah tua itu untuk sementara waktu.

Kepala desa, Pak Kartijan, menyambut mereka dengan ramah. Namun, saat Hendra menyebutkan bahwa mereka akan tinggal di rumah warisan keluarganya, wajah Pak Kartijan sedikit berubah. Ada kilatan kekhawatiran yang melintas di matanya.

“Kalian akan tinggal di rumah itu?” tanyanya dengan nada ragu. "Sudah lama sekali tak ada yang mendiami rumah itu. Orang-orang di desa ini ... mereka tak lagi berani mendekati rumah suwung itu."

Hendra tertawa kecil, mengira itu adalah cerita lama yang tak perlu dipedulikan. "Itu hanya rumah tua. Kami akan merapikannya sedikit dan tinggal di sana dengan tenang."

Pak Kartijan tak melanjutkan. Hanya ada diam yang menggantung di udara, sebelum akhirnya ia menandatangani izin tinggal untuk Hendra dan Anis.

---

Siang hari, matahari di atas Desa Kenikir terasa terik, tapi hawa dingin yang aneh membuat rumah tua itu seakan menyimpan sesuatu yang mistis. 

Anis dan Hendra yang baru saja pulang dari rumah pak kartijan, bergegas membuka pagar. Netra mereka memicing, lalu berjalan mengikuti jalan setapak yang menghubungkan pagar sampai ke pintu.

Rumah yang penuh kenangan masa kecil Hendra kini tampak kusam, dengan tembok yang mengelupas dan dinding yang ditumbuhi lumut. Krekkkk! Pintu terbuka.

Anis memperhatikan sekeliling ruang tamu yang berdebu sambil memegang sapu. Setiap sudut rumah terasa berat, seakan menyimpan cerita yang tak pernah diungkapkan. 

Hendra, di sisi lain, tampak lebih santai. Dia mengelap jendela tua dengan kain lap, matanya memandang keluar ke arah halaman yang dipenuhi semak belukar.

“Suwung,” gumam Hendra tiba-tiba sambil tertawa kecil. "Lucu sekali cerita mereka. Hanya karena kosong dan lama tidak dihuni, rumah ini sudah dilabeli suwung."

Anis menghentikan gerakannya, menatap suaminya dengan penuh rasa takut. “Kau tidak merasa aneh, Pak? Sejak kita tiba, aku merasa ada sesuatu yang salah."

Hendra menoleh, lalu tersenyum tipis. "Bu, ini hanya perasaanmu. Rumah tua seperti ini memang punya suasana berbeda. Lagi pula, kita sudah memutuskan untuk tinggal di sini, jadi jangan biarkan cerita-cerita tak masuk akal itu mengganggu."

Anis tidak menjawab. Namun, rasa cemas yang mengecewakannya tak kunjung hilang. Dia menyapu lantai kayu yang berderit saat diinjak, sementara Hendra terus sibuk membersihkan jendela.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lantai atas. Sebuah benda besar seakan jatuh dan pecah di lantai kayu. Anis tersentak kaget, refleksnya menggenggam sapu dengan erat. "Apa itu?" desisnya, matanya membelalak lebar.

"Meonggggg!"

Anis bernapas lega saat melihat kucing yang melompat dari luar jendela.

"Apa aku bilang! Cuma kucing," celetuk Hendra. 

Anis hanya mengangguk, ia melanjutkan berjalan masuk ke kamar dan tidur.

Anis terbangun saat mendengar suara-suara dari lantai bawah. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang berbisik, pelan dan tak jelas. Awalnya dia mengira itu hanya angin, tapi bisikan itu semakin jelas dan semakin dekat.

"Siapa di sana? Pak?!" Anis mencoba memanggil suaminya.

Akhirnya, karena rasa takut yang semakin besar, Anis memberanikan diri keluar dari kamar. Tangannya gemetar saat ia membuka pintu kamar, dan lorong di depan tampak gelap dan panjang. Bisikan itu semakin jelas, seolah berasal dari ruang tamu di bawah.

Ketika ia sampai di ujung tangga, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di sudut ruang tamu, di balik bayang-bayang gelap, ada sosok yang berdiri. Sosok itu tampak samar-samar, hampir tak terlihat dalam kegelapan. Namun, Anis bisa merasakan kehadirannya. Perlahan, sosok itu bergerak ke arahnya, langkahnya lembut dan hampir tanpa suara.

Jantung Anis berdegup kencang, dan ia merasa sulit bergerak. Sosok itu semakin mendekat, hingga akhirnya wajahnya terlihat jelas melalui cahaya yang masuk melalui jendela.

Anis ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Sosok itu adalah perempuan. Wajahnya pucat, hampir seperti mayat, dengan mata yang kosong dan bibir yang kering. 

Anis mundur perlahan, tapi kakinya terasa berat. Sosok perempuan itu terus mendekat sambil berbisik  lirih, membuat Anis berteriak.

"Arkhhhhhhhh!"

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

default avatar
AdHy Yung M'u PHs
Akhirnya... Terimakasih EL...
2025-01-26 19:08:56
0
user avatar
Nina Belvina
Ceritanya bagus, semangat thor,...
2024-11-20 19:35:57
0
user avatar
Eliyona
lanjut gas dah!
2024-11-07 21:01:17
1
103 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status