Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.
Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.
Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak tertutup penuh; hanya langit lepas di atasnya yang membentang tanpa penghalang, memperlihatkan hamparan sawah dan desa yang sunyi di kejauhan. Cahaya bulan mengintip dari balik awan, menambah nuansa mencekam pada tempat itu.
"Ternyata ini tempat untuk menjemur pakaian," gumamnya, merasa sedikit lega meski suasana tetap terasa aneh. Rasya melangkah perlahan, matanya memandang sekitar. Sejenak, ia mengira melihat bayangan yang melesat di ekor sudut pandangannya, namun begitu ia berbalik, tak ada apapun di sana. Di ujung ruangan, jemuran-jemuran tua yang lapuk bergoyang-goyang, menciptakan suara derit lembut yang membuat bulu kuduknya berdiri. Rasya merasa mendapat dorongan kuat untuk segera meninggalkan tempat itu.
Rasya menutup pintu dan bergegas menuruni tangga. Namun, hawa dingin tiba-tiba menyelimuti sekelilingnya, membuat kulitnya terasa menggigil. Suasana menjadi terlalu hening, seolah seluruh rumah menahan napas. Rasya mulai merasakan jantungnya berdegup kencang, setiap langkahnya terdengar menggema di koridor sunyi. Bulu kuduknya berdiri, dan instingnya menyuruhnya berlari. Ia mempercepat langkah, berharap segera sampai di kamar kedua orang tuanya, namun di tengah keheningan itu, samar-samar terdengar suara langkah lain di belakangnya, mengikuti setiap gerakannya. Namun, Rasya memilih tidak perduli.
Rasya membuka pintu kamar dengan perlahan. Di dalam, kedua orang tuanya menunggu dengan wajah tegang.
"Apa yang kamu temukan?" tanya Anis cepat, suaranya mengandung cemas.
"Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Rasya, berusaha meyakinkan. "Suara itu juga sudah tidak terdengar. Ternyata, di atas hanya ada ruang kosong untuk menjemur pakaian, tapi... tidak ada pagar pembatas."
Hendra mengangguk sambil mendesah pelan. "Iya, aku belum sempat melihat lantai atas sejak kita datang."
"Kita bisa bersihkan besok pagi," ucap Rasya sambil menahan kantuk. "Aku tidur dulu, ya. Selamat malam, Bu, Yah." Rasya beranjak ke kamarnya dan menutup pintu kamar orang tuanya, perlahan.
Namun, saat baru keluar pintu, matanya menangkap sesuatu di ujung lorong. Sesosok siluet samar, terlihat seperti seorang wanita dengan bayi dalam gendongan, berdiri di bawah cahaya redup. Rasya menatapnya dengan ngeri, tubuhnya membeku seketika. Dia berkedip, tapi sosok itu menghilang.
“Mungkin aku terlalu lelah,” bisiknya, berusaha mengenyahkan bayangan itu dari pikirannya. Tetapi perasaan tidak nyaman menggelayuti pikirannya. "Sebaiknya aku tidur." Rasya masuk ke dalam kamarnya, sejenak ia memandang kipas angin yang ada di langit kamar, lalu terlelap dalam alam mimpi.
---
Pagi itu, Rasya bersiap mengantar ibunya ke desa untuk berbelanja beberapa bahan kebutuhan. Ayahnya, Hendra, berencana tinggal di rumah untuk membersihkan lantai atas, yang belum sempat dibereskan.
"Ayah ikut saja, biar bersih-bersihnya nanti," ajak Rasya, menatap sang ayah dengan cemas. "Aku nggak tega ninggalin Ayah sendirian di sini, apalagi setelah kejadian aneh semalam."
Hendra terdiam sejenak, memikirkan perkataan Rasya. Memang, tadi malam rumah ini terasa dingin dan penuh bisikan yang tak kasatmata, tetapi begitu matahari terbit, suasana rumah ini tampak damai. Rasanya tak ada yang perlu dicemaskan.
"Pak?" Rasya menyenggol lengan ayahnya, membuyarkan lamunannya.
Hendra tersenyum tipis, mengangguk tenang. "Nggak apa-apa, Nak. Antar saja ibumu. Ayah sudah terbiasa di rumah ini sendiri. Lagipula, siang hari begini… rasanya semua baik-baik saja."
Rasya masih ragu, tapi akhirnya mengalah. Hendra meyakinkan mereka bahwa tak akan ada masalah, meskipun di dalam hatinya ia tetap merasakan sedikit keganjilan.
"Rasya pamit dulu ya, Pak."
Rasya dan Anis berjalan menuju desa Kenikir yang terletak di seberang jalan, tak jauh dari rumah mereka. Sepanjang jalan, Anis tak henti mengingatkan putranya.
“Kamu pulang jangan terlalu sore ya, lebih baik siang, biar sampai rumah nggak kemalaman,” ucap Anis, menatap Rasya dengan cemas.
"Rasya malah rencana pulang besok pagi, Bu," jawab Rasya sambil tersenyum.
Anis terkejut, lalu menepuk pundak putranya lembut. “Lho, kok besok? Kasihan Lisa, Nak. Apalagi dia sedang hamil, pasti dia butuh kamu di rumah, menemani.”
Rasya hanya mengangguk, sedikit canggung. “Tenang saja, Bu. Lisa sudah terbiasa kalau Rasya pulang agak lama,” katanya sambil melihat ke arah jalan. “Oh iya, Bu, pasarnya masih jauh nggak?”
Anis menunjuk ke depan, ke arah pasar yang mulai tampak. “Itu, di depan sana. Sudah dekat.”
Saat akan masuk pasar, seorang pria tua yang dikenal baik oleh keluarga mereka menghampiri keduanya. Anis memberi isyarat kepada Rasya untuk berbicara sebentar dengan pria tersebut. “Ibu masuk dulu ya, kamu ngobrol saja di sini,” ujar Anis, lalu berlalu menuju pasar. Rasya menatap ibunya sejenak, kemudian beralih memperhatikan pria tua itu yang seumuran ayahnya itu.
Rasya menatap pria di depannya, teman lama ayahnya, lalu mengajaknya duduk di warung kecil dekat pintu masuk pasar. “Pak Tomo, apa kabar?” tanya Rasya sambil mengulurkan tangan. Pak Tomo menyambut jabatannya dengan senyum tipis.
“Baik, alhamdulillah. Kamu sendiri bagaimana, Nak?” tanya Pak Tomo.
“Alhamdulillah, luar biasa baik, Pak,” jawab Rasya sambil tersenyum. Namun, Pak Tomo tampak ragu, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan. Setelah menghela napas dalam, ia menatap Rasya dengan serius.
“Maaf, Nak Rasya, saya bukannya ingin ikut campur dalam urusan keluarga,” Pak Tomo berkata pelan, nada suaranya penuh kehati-hatian, “tapi saya penasaran. Apa yang membuat ayah dan ibumu memutuskan untuk kembali dan menempati rumah suwung itu?”
Rasya sedikit terkejut mendengar istilah “rumah suwung”—istilah yang digunakan warga sekitar untuk rumah yang lama tak berpenghuni dan dianggap membawa energi misitis. Pak Tomo menatapnya penuh arti, seakan ingin menyampaikan lebih banyak. Rasya menghela napas, merasakan sedikit keresahan dari tatapan pria itu, tetapi mencoba tetap tenang, menunggu kelanjutan pembicaraan Pak Tomo.
"Kenapa rumah warisan kakek itu disebut suwung?" tanya Rasya penasaran, menatap Tomo.
"Bukan cuma suwung, tapi juga singit alias angker," jawab Tomo serius. "Apa kau tidak tahu kalau dulu pernah ditemukan jenazah di sana?" lanjutnya dengan nada pelan namun tajam, seolah sedang menakar reaksi Rasya. Tomo mengamati pemuda itu dengan pandangan menyelidik. "Kalau boleh memberi saran, Nak Rasya, sebaiknya bawa pulang bapak dan ibumu ke kota saja. Rumah tua itu bukan tempat yang baik untuk mereka," bisik Tomo, suaranya terdengar mendesak, penuh kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
Rasya tercenung, merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata Tomo, sebuah rahasia lama yang tampaknya tak ingin dibuka. Pikirannya mulai dihantui bayangan-bayangan tentang rumah tua itu. Namun, sebelum ia sempat menanggapi, langkah Anis terdengar mendekat.
Anis datang sambil membawa belanjaan, menatap keduanya dengan tatapan heran. "Ayo kita pulang, Nak," katanya lembut, sambil memberi isyarat kepada Rasya untuk pergi.
"Ibu, semisal Rasya mengajak ibu kembali, apa ibu setuju?" pertanyaan Rasya yang tiba-tiba membuat Anis menoleh ke arah sang putra.
"Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek
Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis
Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se
Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink
Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi