Share

Masa Kecil : Apa Maumu!?

“Seperti apa wajahnya, Nak?! Jelaskan pada Ibu!”

“Yang Tasya ingat, semula wajahnya seperti Teh Nining. Namun, saat sampai di atas, wajahnya berubah menjadi hi-hi-hitam dan ma-tanya merah menyala ….”

Di saat Tasya menjelaskan sosok menyeramkan itu, tiba-tiba tubuhnya terkelulai lemas dan ia tak sadarkan diri.

Kami semua panik, ibu segera menelepon ayah. Badan Tasya menjadi panas dan suhunya mencapai tiga puluh sembilan derajat celcius dan masih dalam keadaan pingsan. Kami masih menunggu kehadiran ayah yang tak kunjung datang. Ibu memutuskan untuk tidak memberitahu atau meminta tolong pada siapa pun karna akhir-akhir ini ia merasa sudah banyak merepotkan banyak orang.

Malam itu suasana benar-benar mencekam, aku menahan tangis karena takut melihat kondisi adikku yang seperti ini. Syukurlah beberapa saat kemudian, perlahan Tasya mulai membuka matanya, gelisah yang menghampiri kami setidaknya berkurang sedikit saat ini.

“Bu, to-tolong usir dia, Bu! Suruh dia pergi!” rintih Tasya mengarahkan jari telunjuknya ke arah belakang Ibu.

 Entah apa yang ia lihat, di sini jelas-jelas hanya ada aku, ibu, Robi, teh Nining, dan Tasya sendiri. Apa ia berhalusinasi? Ekspresi dengan wajah yang pucat seperti mengisyaratkan ketakutan atas apa yang dilihatnya.

“Apa maksudmu, Nak?? Nggak ada siapa pun di sini. Tenang ya, Sayang. Badanmu panas sekali,” lirih ibu khawatir.

“Ti-tidak, Bu. Li-lihat! Perempuan itu pergi ke arah kamar mandi. Usir dia! Dia orang jahat!”

Tak tahan melihat Tasya yang terus meracau, Ibu mengunci pandangannya dengan tatapan penuh amarah. Ia mengangkat tubuhnya berdiri dan langsung pergi berjalan ke arah sosok itu seperti yang Tasya ucapkan. Ibu terkejut lantaran pintu penghubung kamar ini dan kamar cuci sudah terbuka lebar. Aku hanya bisa mengintip apa yang ibu lakukan ini dari balik tembok dengan gemetar.

Ibu terdiam terpaku melihat sesosok wanita yang sedang membelakanginya. Dengan menggunakan setelan kebaya dan kain samping batik juga rambut yang disanggul lengkap dengan hiasan berwarna perak.

“Si-siapa, kamu?!!” bentak ibu dengan nada goyang dan gemetar.

Wanita itu memalingkan wajah dan tubuhnya perlahan. Ia maju tanpa hentakan langkah dan kaki yang tak menapak tanah ke arah ibu. Kini, ibu dan wanita itu berhadapan langsung hanya berjarak satu meter saja.

Rasa takut seakan tertutup oleh kekesalan di wajah ibu , ia geram terhadap sosok yang mengganggu keluargaku ini.

“Apa maumu?! Jangan ganggu kami! Pergi dari sini!”

Wanita itu masih terdiam dan tersenyum sinis tanpa kata pada ibu. Lalu, tiba-tiba ia mengarahkan jarinya ke dinding yang di baliknya adalah Tasya yang sedang terbaring lemah.

 “Aku bilang, jangan ganggu anakku!”

Kemarahan ibu dapat kurasakan saat itu. Matanya melotot dengan wajah yang memerah menandakan ia mampu menghadapi apa pun demi keselamatan anaknya bahkan iblis sekali pun.

“A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim, aku berlindung kepada Allah Subhanahu w* ta'ala dari setan yang terkutuk!”

Gumaman ibu saat membaca doa berhasil membuatku merinding dan meteskan air mata. Perlahan, wanita itu berubah wujud menjadi makhluk yang sangat menyeramkan sama persis dengan perkataan Tasya tadi.

“Aaaaaargh! Aku akan kembaliiii!

Teriak wanita itu seraya menghilang perlahan seperti api yang di tiup menyisakan asap. Di saat yang sama, ibu tiba-tiba pingsan bertepatan dengan ayah yang baru saja pulang dan langsung menggendong ibu dan mengangkatnya ke kasur.

“Bu, Bu, bangun, Bu. Istigfar, Bu.”

“Ya-Yah, tolong, to-tolong usir wanita itu,” rintih ibu dengan tubuh yang masih lemas.

“Sudah pergi, Bu. Sudah, tenanglah, Ayah ada di sini.”

“Ta-tapi, Tasya ….”

“Tasya ada di sebelah Ibu, kondisinya sudah baikan sekarang.”

“Syukurlah.”

 Ibu menatap langit-langit rumah sejenak sambil menangis dan memeluk Tasya, aku dan Robi.

“Apa sebaiknya kita pindah saja dari sini?” tanya ayah khawatir.

“Keuangan kita belum cukup untuk pindah, Yah. Lagi pula, Nining belum sebulan mengurus anak-anak.”

“Ah, baiklah nanti Ayah pikirkan lagi solusi terbaik.”

Ketika suasana sudah berangsur tenang, tiba-tiba terdengar samar suara dari arah ruang tamu. Suara yang tak asing di telinga kami. Sepertinya, itu suara angklung yang terhembus angin. Angin? Dari mana datangnya angin di ruangan tertutup malam-malam begini?

“Ning, tolong kamu cek di depan. Mungkin saya lupa menutup pintu karena terburu-buru, jadi ada angin masuk,” kata Ayah.

Hiasan angklung itu berada tepat di atas meja utama di ruang tamu. Terdiri dari delapan buah angklung dengan nada yang di gantung bersamaan dalam ukuran terbesar hingga terkecil.

“Baik, Pak.”

Teh Nining lantas menuju ruang tamu guna memastikan apa yang terjadi di sana.

“Di sini tidak ada apa-apa, Pak!” seru teh Nining.

“Syukurlah, tolong sekalian kunci pintu rumah ya, Ning,” perintah ayah berteriak dari kamar.

Sungguh tak biasa. Gemercik kunci terdengar seakan teh Nining dalam keadaan yang terburu-buru dan ingin segera pergi dari tempatnya berada.

“Sudah dikunci pintunya, Ning? Oh ya, tolong buatkan segelas susu untuk Tasya.”

“Iya, Pak. Ini pintunya sudah saya …. Arrrggghhh!”

Kami semua terkejut mendengar teriakan teh Nining. Aku yang masih belum sepenuhnya melupakan kejadian ibu dan wanita tadi, sangat kesal dan ingin sekali berteriak …. Ada apa lagi sih, ini?!

“Toloooong, Pak, Bu , toloong!!”

Dengan sigap ibu langsung memelukku, Tasya dan Robi. Ia seakan tau kalau makhluk yang ditemuinya tadi memang belum benar-benar pergi dari tempat ini.

Ayah berlari menuju ruang tamu sementara kami menunggu di kamar. Lalu, ia memopong teh Nining agar berkumpul bersama kami. Lalu ia kembali dan mengambil samurai yang terpajang di dinding dan berdiri tepat di tengah rumah.

Melihat gelagat ayah yang sudah emosi, aku dan ibu menghampirinya dan mencoba menenangkan ayah.

“Sok, kaluar! Tong kieu carana!” berang ayah sambil melihat ke sekitar dengan mata yang melotot.

Duk …. Duk …. Duk ….

Suara itu …. Suara yang sangat kukenali. Suara yang muncul saat aku sendiri waktu itu. Dan lagi, suaranya berasal dari lantai dua!

“Urang teu sieun ka maraneh, Gusti Allah hiji-hijina nu di pikasieun ku urang!” tantang ayah.

Kalimatnya sudah sangat kasar. Hal itu membuatku semakin khawatir akan keselamatan keluarga ini tatkala ayah yang terlihat sangat emosi.

“Yah, Yah! Istigfar, Yah!” tegur ibu.

“Nggak, Bu! Setan-setan ini sudah berlebihan mengganggu keluarga kita!” hardik ayah geram.

Aku hanya bisa menangis melihat hal ini. Ya Allah, apa salah kami? Kenapa Kau biarkan kami menderita seperti ini??

“Pak, Pak Farhan! Aya naon, Pak!! Buka pantona!”

Aku mengalihkan pandangan tatkala mendengar suara riuh beberapa orang yang sepertinya berada di depan pintu rumah.

Ternyata, kang Duloh dan para tetangga datang. Mereka mendengar suara ribut dari dalam rumah kami dan datang melihat keadaan kami karena khawatir.

“Abdi tos teu kiat, Kang. Karunya, teu tega ningal murangkalih sareng istri teu tenang di rumah ieu di ganggu wae,” cerita ayah sambil tertunduk di hadapan Kang Duloh terdengar lirih.

“Bapa tenang heula, istigfar ….” balas Kang Duloh.

Seakan memotong percakapan ayah dan kang Duloh. Mang Danu datang menghampiri kami di tengah-tengah kerumunan.

“A Farhan, aya naon ieu?!”

“Geus, teu kudu nyaho. Jug indit, urang mah teu butuh maneh, Danu!” pungkas ayah ketus tanpa menatap mang Danu sedikit pun.

Nampaknya, ayah cukup kecewa pada mang Danu. Kalau boleh jujur, aku pun sama. Di situasi seperti ini kami sangat membutuhkan pertolongannya. Tapi, ia jarang pulang ke rumah atau bahkan mampir sedikit saja. Para tetanggalah yang sering menolong kami.

“Dangukeun heula Danu, A. Ayeuna Danu ngarti permasalahana naon, Insya Allah, Danu aya solusi.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
heni mintakul
kenapa yg bahasa sundanya gk ada keterangan arti bahasa indonesianya ya. kan yg bukan orang sunda gk ngerti ini ngomong maksudnya apa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status