Tak terasa, sudah satu minggu kami menempati kontrakan mungil ini. Saking nyamannya dengan suasana baru, kami hampir lupa mengecek bagaimana keadaan rumah kakek sekarang.
“Dara, pulang sekolah nanti, kamu ikut ayah ke rumah kakek, ya? Sekalian bawa panci yang ibu bilang kemarin. Lagian ibu ini ada-ada aja, kok bisa sih panci itu ketinggalan?!” canda ayah geleng-geleng kepala.
“Siap, Yah. Sekalian aku juga mau bawa baju tidurku yang ketinggalan di jemuran, hehe.”
Saat jam pulang sekolah tiba, ayah sudah menungguku di gerbang. Ia melambaikan tangannya kepadaku dan aku langsung berlari ke arahnya stepat saat bel sekolah berbunyi. Kami berjalan kaki menuju rumah kakek. Dari ujung jalan, tampak depan rumah kakek sudah mulai terlihat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu. Apa mungkin aku salah lihat?
“Bentar-bentar. Kok , itu ….”
Langkah ayah terhenti. Sepertinya, ia melihat sesuatu yang janggal sama sepertiku tadi.
“Yy-Yah, kok ….
Waktu menunjukkan pukul 5:00 pagi, aku tak melihat ayah dirumah. Ibu bilang ia sudah menuju rumah Kakek untuk beres beres disana. “Dara, nanti pulang sekolah ibu jemput, ya? Biar kita bisa bantu ayah membereskan rumah Kakek,” ujar ibu padaku. “Loh, bukannya kata Mang Danu, yang mau liat rumah itu pagi-pagi, Bu?” tanyaku. “Nggak jadi. Katanya, dia datang jam satu siang, Dar,” jawab ibu. ‘Yeay!’ ucapku dalam hati kegirangan. Karena aku penasaran siapa sih artis yang akan datang itu? Aku berharap, ia tertarik untuk membeli rumah Kakek.Karena sangat senang, aku memberi tau pada teman-teman sekolahku tentang kabar ini. Mereka yang sama antusiasnya denganku, terus bertanya-tanya siapakah artis itu. “Beneran, Dara? Rumah aku kan deket sama rumahmu, nanti aku mampir, ah. Pengen foto bareng sama artis,” celetuk Yuni teman sebangkuku. Waktu berlalu akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Jam menunjukkan saatnya pulang dan aku langsung bergegas
“Hoaam …. Nggak kerasa udah mau subuh aja. Soalnya, cerita Kak Dara nggak seru, sih,” ucap Gina yang nampaknya mulai mengantuk. “Tidur, yuk? Aku juga udah ngantuk, nih. Kapan-kapan lanjut lagi, oke?” jawabku. “Lah, Emangnya, masih ada cerita lain, Kak?” “Kalau berdasarkan pengalaman aku dulu ya cuma itu aja, sih. Cuma, kalau mau tau cerita dengan versi lain, bisa tanya Mang Danu gitu.” Kami semua akhirnya tertidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiga jam bercerita tanpa henti membuat mulutku seakan berbusa. Sebenarnya, ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Gina karena alasan takut di bilangnya kepedean. Cerita itu adalah, sedikitnya mungkin aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hingga saat ini. “Pagi semua! Bangun, bangun euy, bangun! Yang merasa cucu kakek Soetrisno berkumpul di sini,” seru mang Danu dengan membawa kertas dan pulpen di tangannya. “Aya naon, Mang Danu?” tanya Gina heran. “Tadi malem, mang
Malam itu, Gina bercerita padaku kalau sebenarnya ia mendengar percakapan antara aku dan paman Danu. Hanya saja, Gina tak terlalu merasa takut akan hal itu. Memang, waktu kecil Gina dikenal sebagai anak yang penakut dan hampir tidak pernah mau menginap di rumah kakek saat acara keluarga besar, terkecuali orang tuanya, yaitu Tante Eva ikut menginap juga."Akan kubuktikan kalau aku tak sepenakut dulu! Hahaha." ucapnya padaku.Keesokan harinya, Paman agung dan istrinya sudah pergi pagi-pagi meninggalkan rumah karena suatu urusan. Agenda kami bertiga hari ini adalah menanyakan beberapa hal mengenai perkembangan rumah ini setelah aku dan keluarga tak lagi tinggal disana. Ditambah dengan Pak Haji Asep yang kini telah tiada, kami berencana akan silaturahmi pada keluarga beliau."Mulai dari siapa dulu, Paman?" tanya Gina."Sebaiknya, rumah Bu Popon. Terakhir kemarin kita datang kesini, beliau sedang diluar kota. Kebetulan tadi paman li
Saat ini, aku memutuskan untuk menambah list tentang hal-yang paling kubenci di dunia ini yaitu, lampu sensor. Benci, sangat benci, di rumah ini hanya ada aku, mang Danu dan Gina saja. Om Agung sedangberada di rumah temannya yang berbeda blok dari sini. Lalu, mengapa lampu sensor di lorong itu masih menyala hingga kini?! ‘Bodo Amat!’ dalam benakku saat itu. Aku memalingkan wajah dan tak mau lagi menoleh ke belakang walaupun sangat ingin. Saat sedang asik-asiknya menonton tv dan sesekali berbincang dengan yang lain. Sesuatu mengalihkan perhatian kami secara bersamaan. Bruk …. Klontang …. Pranggg …. Kami bertiga saling melempar pandang dalam diam. Suara itu …. Seperrti ada seseorang yang melakukan aktifitas di dapur. “Saha eta, Dar?” tanya mang Danu. “Nggak tau, Mang. Jangan nanya ke aku lah, kita the di sini kan Cuma bertiga. Jadi degdegan gini,” jawabku resah seakan tau ada sesuatu yang tak beres berkaca dari kejadian lampu tad
Aku memandang kembali bangunan kokoh yang berdiri di hadapanku, kedua orang tuaku sudah mendahului dengan om Agung, tante Eva dan mamang Danu. Rasanya cukup ragu untuk kembali memasuki rumah ini, setelah bertahun-tahun aku memiliki kenangan buruk mengenai tempat di mana nenek dan kakekku pernah tinggal. "Dara, kok malah bengong?” sapa om Agung menghampiriku. Aku tersenyum kecut dan mengangguk dengan segan. Gina, sepupuku segera menarik tangan untuk mengelilingi rumah yang baru saja direnovasi tersebut. Adikku, Tasya dan Robi, entah sudah merambah hingga ke mana. Rumah besar berlantai dua ini memang sangat luas dan menjadi lebih mewah dari sebelumnya. Om Agung menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk memugar kembali menjadi bangunan baru dan tidak ada lagi kesan ‘suram’. “Dua belas tahun aku pernah di sini, kayaknya semua baru terjadi kemarin,” gumamku sembari menebarkan pandangan ke seluruh ruangan, sementara berdiri di tengah, ruang
Jika aku mengingat kejadian dulu, terkadang aku tertawa seorang diri sekaligus takut di saat yang bersamaan. Hal lucu yang kuingat adalah, saat itu aku hanyalah seorang anak kecil biasa yang sedang menjaga adik-adiknya di rumah dan tidak tau sama sekali tentang hal-hal yang berhubungan dengan mistis. “Dara, Ayah dan Ibu pergi kerja dulu, ya? Tolong jaga adik-adikmu.” “Siap, Bu!” seruku. “Tasya, kamu bantu kakakmu ya?! Jangan nakal dan bantu Kak Dara jaga Robi,” perintah ibu. “Iya, Bu. Hmm …. Bu, pulangnya bawa makanan, ya?!” celetuk Tasya dengan menunjukkan senyum manja. “Iya, doain kerjaan ibu sama ayah lancar, ya? Biar bisa bawa makanan passulang nanti,” balas ibu seraya mengusap kepala kami. Sedikitnya, aku sudah diajari tentang bagaimana menjaga keamanan di rumah dan mengasuh adik-adikku saat ayah dan ibu pergi bekerja. Contohnya, seperti menyalakan lampu di luar rumah saat hari mulap gelap, mengunci pintu, dan juga menyiapkan maka
“Oh, jadi itu awal mulanya. Ah, itukan cuma suara saja, Kak. Bisa jadi, itu beneran tikus seperti kata om Farhan. Iya kan, Om?” tanya Gina pada ayahku. Ayah hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Gina sambil meminum secangkir kopi. “Ih, itukan baru permulaan, Gin! Masih ada cerita selanjutnya yang lebih aneh. Lagi pula, mana ada suara tikus berlari dengan suara sekeras itu. Aku bahkan ingat sekali sampai sekarang jelasnya suara itu,” jelasku pada Gina. “Terus, kelanjutannya bagaimana?” “Lebih baik, makan baksonya dulu Neng Gina, Neng Dara …. Keburu dingin, nanti kan bisa lanjut cerita lagi,” ucap mas Bejo memotong pembicaraan kami. “Benar juga kata Mas Bejo. Eh, tapi penasaran deh. Kita sambil cerita-cerita aja, ya. Waktu Mas sering berjualan keliling komplek, pas lewat rumah kakek pernah mengalami sesuatu atau kejadian aneh nggak?” tanyaku penasaran. “Yaa …. Kalau dulu sih pernah, terutama pasca almarhum Pak Sutrisno sudah ndak ada
Hari yang dinanti pun tiba. Kami memanfaatkan hari libur ini dengan membersihkan rumah bersama. Aku mendapat bagian membersihkan area ruang tamu. “Dara, kamu sapu dan pel bagian ini, ya? Cukup sampai ruang tamu saja, ruang tengah biar jadi bagian Tasya supaya dia bisa belajar beres-beres rumah.” “Siap, Bu!” sahutku. Aku menyapu semua sudut ruangan serta kolong meja dan kursi. Banyak sekali debu yang sudah menggumpal di sana. Ketika aku tarik sapu dari kolong kursi, aku melihat sesuatu yang cukup aneh. Seperti plastik namun rapuh, warnanya transparan dan sedikit kekuningan dengan bentuk yang panjang walaupun sudah ada beberapa bagian yang koyak karena sudah terbalut debu. “Tasyaaa! Kalau jajan, buang sampah ke tempatnya dong! Jangan di taruh di mana saja, ini ada bekas makananmu di kolong kursi!” teriakku kesal. “Iya, Kak. Maaf, tapi aku nggak buang sampah ke situ kok, Kak.” Tasya tertunduk menghampiriku. “Lalu, ini apa?! Duh, sudahlah.