Share

Masa Kecil : Teh Nining

Mang Danu dan ayah sudah pergi sejak tadi pagi entah kemana. Setelah tadi malam keduanya berdebat dan dilerai oleh kang Duloh, akhirnya mereka berdamai dengan sebuah kesepakatan. Kami yang masih trauma karena kejadian semalam, memutuskan untuk menginap di rumah salah satu tetangga yaitu, rumah bu Popon.

“Percaya ka Danu, A Farhan. Danu siga kieu sanes dihaja. Insya Allah solusi ieu berhasil. ”

Sedikitnya, itulah pembicaraan yang terdengar antara ayah dan pamanku itu. Untung saja, kondisi Tasya sudah lumayan membaik walaupun ia sempat mengigau tak jelas saat tidur.

“Neng Dara, Tasya, Robi kalau ada apa-apa bilang sama Ibu dan tidur di sini, jangan sungkan,” ajak bu Popon pada kami.

 “I-iya, Bu. Dara nggak berani cerita karena takut merepotkan. Lagi pula sekarang udah ada teh Nining yang menjaga kami.”

“Ah, siga ka saha wae atuh, Neng. Kalian kan sudah lama di sini. Terutama, Ibu juga kenal baik dengan almarhum Pak Sutrisno. Kalian sudah Ibu anggap cucu sendiri.”

“Hatur nuhun, Bu Popon. Sekali lagi, punten kalau merepotkan,” tutur Ibuku dengan senyum segan.

“Neng Ambar, apa sudah nanya-nanya sama Pak Haji Asep?” sela bu Popon sedikit berbisik pada ibuku.

“Kemarin saya sempat minta tolong sama beliau pas Robi sakit. Tapi selebihnya saya nggak banyak cerita, Bu. Karena saya terlalu fokus sama keadaan Robi,” jawab ibu.

“Oh, kalau gitu, kita tunggu saja Farhan dan Danu pulang. Mudah-mudahan usaha mereka membuahkan hasil.”

Bu Popon memang tetangga yang cukup lama tinggal di sini dan sangat mengenal kakek dan nenekku. Oleh karena itu, tak heran jika beliau sangat baik pada kami. Terlebih, ia belum memiliki cucu. Namun, ada hal yang cukup aneh akhir-akhir ini. Semenjak kehadiran teh Nining, beliau sudah jarang bertamu atau sekedar mampir ke rumah kami. Apa bu Popon tak menyukai teh Nining? Ah, mungkin hanya perasaanku saja.

“Neng, dari kemarin, Ibu teh mau nanya sesuatu tapi takut salah,” ujar bu Popon pada ibu ragu-ragu.

Aku cukup heran dengan sikap teh Nining. Dari dalam rumah, aku melihatnya menemani adik-adikku bermain di luar dengan ekspresi yang tak biasa. Sesekali ia terdiam dengan wajah murung. Memang, semenjak kejadian ada ular saat itu, ia lebih banyak diam dan tak ceria seperti biasanya.

“Neng Ambar, punten pisan Ibu mau tanya, pengasuhnya anak-anak berasal dari mana, ya?” tanya bu Popon.

“Oh, Nining? Dari Ciamis, Bu. Memangnya kenapa?”

“Aduh, Ibu ngga enak mau ngomong.”

“Loh, nggak pa-pa, santai saja …. Ada apa, Bu?”

“Entah kenapa, setiap Ibu melihat Nining, Ibu merasakan ada sesuatu dari dirinya. Kemarin siang, nggak sengaja Ibu melihat Nining menggendong Tasya ke loteng lantai dua rumahmu, saat itu Ibu sedang menjemur pakaian di lantai atas. Ketika ibu sedang memerhatikan mereka, tak lama kemudian ia menengok ke arah Ibu dengan raut wajah yang datar. Aduh Neng, jujur saja, kalau Ibu ingat itu langsung merinding. Saat itu, Ibu langsung cepat-cepat turun ke bawah sampai lupa kalau masih ada baju basah yang belum dijemur.”

Cerita bu Popon terdengar sangat meyakinkan. Mengingat, kejadian Tasya yang tiba-tiba ada di lantai dua seorang diri sangatlah mengejutkan keluargaku. Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang diceritakan bu Popon? Dalam benakku.

“Apa Ibu yakin nggak salah lihat?” tanya Ibuku penasaran.

“Yakin sekali Ibu tidak salah lihat, Neng. Tadinya Ibu mau cerita, tapi keburu dengar ada kejadian di rumah Eneng jadi nggak sempat,” jawab bu Popon.

“Menurut Ibu, apakah hadirnya Nining ada hubunganya dengan kejadian kemarin, Bu?”

“Ibu nggak berani jawab Neng, takut salah.”

Ibu terdiam dan menengok ke luar melalui jendela tempat adik-adikku dan teh Nining bermain.

Akhirnya, yang dinanti pun tiba. Tak lama setelah percakapan antara ibu dan bu Popon selesai, datanglah Ayah dan mang Danu.

“Begini, Bu. Fajar, temannya Danu kan kerja di salah satu radio terkenal di kota ini, Radio Gordan. Ibu tau kan?” tutur ayah pada ibu.

“Iya, Ibu tau. Terus, gimana?” jawab ibu.

“Nah, di radio Gordan kan ada siaran Cerita Misteri setiap malam jum’at. Kebanyakan, cerita yang disiarkan di acara itu adalah kisah nyata. Danu dan Fajar berinisiatif untuk mengangkat cerita kita ke sana,” lanjut ayah.

“Yang benar saja Yah, situasi sedang menghawatirkan begini sempat-sempatnya cari celah untuk hal tidak penting seperti itu. Yang kita butuhkan itu solusi, Yah!” pungkas ibu dengan nada yang meninggi.

“Teh Ambar, tenang heula. Dengar dulu penjelasan kami. Bukan itu maksud dan tujuanya. Kieu, Teh. Kan di acara itu kebanyakan dari kisah nyata. Biasanya, setelah cerita disiarkan, dari pihak Gordan sendiri menyediakan jasa untuk membantu pengusiran makhluk di tempat tersebut dengan sukarela atas dasar menolong sesama,” jelas mang Danu.

“Memangnya, orang seperti apa yang akan membantu itu? Dan, apa kamu yakin perbuatan ini bukan termasuk syirik? Di agama kita kan dilarang?!” ujar ibu resah.

“Ah, ini bukan hal seperti kitu , Teh. Mereka bukan dukun atau semacamnya, anggap saja mereka adalah perantara kita dengan Allah. Dan setau Danu mah, mereka tetap berdasar dengan agama kita kok, Teh. Nggak melenceng kemana-mana.”

Ibu terdiam sejenak, rautnya menyiratkan antara pasrah dan kebingungan. Aku menggenggam jemari ibu dengan erat untuk menyemangatinya. Ia menatapku tersenyum dilanjutkan dengan menghela napas. Bu Popon ikut meyakinkan ibu dengan memberi anggukan serta senyum haru.

“Hmm … Baiklah. Kalau memang cara ini bisa membantu, Teteh harap Pak Haji Asep dilibatkan, ia lebih dulu tau tentang situasi di rumah ini. Jadi, dia bisa menjelaskan detailnya. Satu hal lagi, kalau keadaan di rumah ini semakin memburuk karena kedatangan mereka, kamu harus tanggung jawab ya, Danu?!” tegas ibu pada mang Danu.

Saat itu, semua orang bergegas melakukan rencana yang mereka buat atas rumah ini. Ayahku melibatkan Pak Haji Asep sebagai saksi untuk diwawancarai nanti malam saat team dari Radio Gordan datang.

“Cara ini akan berhasil kan, Bu?” tanyaku penuh harap.

“Doakan yang terbaik ya, Nak. Ah, iya. Kalau kamu melihat, atau merasakan sesuatu, beri tau Ibu atau Ayah ya, Nak.”

Beruntung, aku diajak oleh ibu mengikuti acara ini walaupun hanya sekedar melihat-lihat. Kedua adikku berada di rumah bu Popon bersama teh Nining.

Waktu menunjukkan jam delapan malam. Team radio Gordan sudah datang dan bersiap memasang berbagai peralatan guna kepentingan siaran. Kami menyambut mereka sengan hangat begitu pun sebaliknya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Ada satu orang yang berbeda penampilannya dari yang lain. Ia mengenakan pakaian serba putih dan alas kepala melingkar dengan warna serupa serta janggut yang cukup panjang.

“Pak Farhan, perkenalkan ini Kyai Usman yang akan memantau rumah ini serta berjalannya acara bersama Pak Haji Asep dari pihak Bapak,” ungkap salah satu kru radio.

“Baiklah, sekitar satu jam lagi siaran akan segera dimulai. Kami persilahkan Ibu Ambar dan Bapak Farhan, serta Pak Asep untuk bercerita senyaman mungkin saat diwawancara nanti. Karena kami menyiarkan siaran langsung,” jelas sang penyiar.

Ibu dan ayah hanya mengangguk. Aku yakin, mereka juga sedikit canggung melakukan ini karena tidak biasa. Rasanya, kegiatan ini seperti acara di film-film dan keluargaku adalah artisnya.

“Adik kecil, kalau mau cerita juga boleh,” ucap team radio.

“Ehh …. Tidak. Dia di sini hanya untuk menemani saya saja. Dia sudah cerita banyak pada saya. Nanti, akan saya ceritakan semuanya, ” sanggah ibu.

Kami semua berkumpul di ruang tamu dengan menyalakan lampu redup berwarna kuning dan mematikan lampu di ruangan lain. Tujuannya, supaya lebih fokus pada cerita dan team radio ini berharap akan ada sesuatu yang terjadi saat siaran dimulai.

Tak ada yang aneh sejauh ini. Sampai, aku melihat seseorang dari sela-sela gorden jendela yang sedang mengintip dari luar rumah namun terlihat ragu-ragu.

‘Teh Nining? Apa yang sedang ia lakukan? Bukannya ia menjaga Tasya dan Robi di rumah bu Popon?’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status