Hujan deras saat aku makan malam bersama keluarga besar, aku, ibu, Om Dimas, dan Farid. Ralph dan Dave sudah pulang pada sore hari sebelum ibu datang, disusul oleh Om Dimas dan Farid, jadi mereka belum sempat bertemu.
“Gimana sekolah? Sudah mulai betah?” tanya Om Dimas sambil menyendokan nasi ke piringnya.
“Hmmm.... Lumayan, Om.”
“Ya, baru sebulan. Yang namanya adaptasi pasti perlu proses kok.” Pria tampan klinis yang berhasil memberikan kami tunjangan hidup tersenyum ramah menatapku. Satu-satunya orang yang paling ramah denganku di rumah ini.
“Iya, bang. Apalagi Agas bukan anak yang gampang bersosialisasi,” imbuh ibuku, menyembunyikan rasa kesal yang bisa kulihat dari wajahnya ketika menyeruput kuah soto.
Om Dimas mengangguk sambil tersenyum lembut, “Makanya Om nyekolahin kamu sama Farid. Biar kamu ada temen.”
Sekilas aku langsung mendengar Farid menggerutu dengan pernyataan ayah kandungnya.
Aku menahan napas sejenak, mencoba menyembunyikan perasaan sedihku. “Iya, Om,” jawabku ringkas, mencoba menyembunyikan keraguan di balik senyumku. Tapi dalam hati, aku sudah memutuskan bahwa aku akan mencari teman sendiri, tanpa bantuan paksaan dari siapapun.
“Rid, cobalah kamu berangkat sama pulang bareng Agas,” bujuk Om Dimas kepada anak sulungnya.
Farid mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Gak usah ribet-ribet, Yah. Kalo emang Agas mau naik bus sendiri kan hak dia," ujarnya dengan nyinyiran sambil menatap ayahnya.
Om Dimas menghela napas pelan. "Ya udah, tapi kamu tetap harus nungguin Agas setiap pagi, ya. Jangan sampe dia kesepian di sekolah."
Farid menggeleng cepat. "Ya, gak usah khawatir, Yah. Nanti aku jagain dia, kok," jawabnya, suaranya terdengar seolah-olah itu adalah hal yang paling biasa di dunia. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku bisa melihat keengganan yang terselip di balik kata-katanya.
Aku menarik nafas dalam-dalam, merasa seperti aku selalu menjadi beban bagi Farid. "Gak usah, Om. Aku naik bus sendiri saja. Aku gak mau ngerepotin Farid," ujarku dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan kekecewaan di balik kata-kata itu.
Om Dimas mengangguk, namun ekspresinya terlihat sedikit menyesal. "Ya udah, jika itu yang kamu inginkan, Nak. Tapi jika ada masalah, jangan ragu untuk memberi tahu Om, ya."
Aku mengangguk singkat, mencoba menutup perasaan kecewa dengan senyuman kecil. "Aku akan baik-baik saja, Om. Terima kasih," ujarku, meskipun hatiku tidak sepenuhnya yakin dengan keputusan itu.
Om Dimas melanjutkan percakapan dengan nada yang sedikit ragu, "Oh ya, Om denger cerita yang beredar, Agas. Katanya kamu punya kemampuan indigo, ya?"
Saat itu pula aku melihat ibuku memelototi diriku, seakan aku tidak boleh membahas itu. Aku tahu bahwa ibuku tidak mau aku terlihat aneh di depan semua orang.
Aku menegakkan kepala, mencoba mempertahankan ketenanganku. "Itu hanya gosip belaka, Om. Tidak ada yang benar dari cerita-cerita itu," jelas diriku. “Saya cuma insomnia doang, makanya suka ngeliat yang aneh-aneh.” Aku tersenyum berusaha menutupi fakta yang ada.
Om Dimas mengangguk perlahan, namun ekspresinya tetap penuh pertimbangan. "Om mengerti, Agas. Tapi, kadang-kadang gosip itu gak selalu tanpa dasar. Ada orang-orang yang memang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap hal-hal supranatural."
Aku merasa dadaku berdebar hebat, khawatir bahwa rahasia itu akan terbongkar. Namun, aku berusaha tetap tenang. "Saya yakin itu hanya kebetulan, Om. Gak lebih dari itu."
Ibuku menatap Om Dimas dengan senyum tipis, mencoba menutupi ketegangan di udara. "Iya, bang. Itu kayaknya cuma gosip belaka. Agas memang memiliki sedikit masalah tidur, tapi itu bukan sesuatu yang luar biasa."
Om Dimas tersenyum lembut, mencoba menenangkan aku. "Baiklah. Gak masalah. Yang penting, kamu harus tahu bahwa Om selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Kalo emang perlu psikiater, Om punya banyak kenalan psikiater, kok."
“Gak usah lah, ayah. Mahal konseling gituan,” selak Farid dengan ketus. “Dia itu cuma kurang tidur aja.”
Om Dimas menatap Farid dengan sedikit kekecewaan, namun tetap mencoba menjaga ketenangan. "Farid, gak boleh gitu, nak. Agas, biar bukan adik kandungmu, dia tetep sepupumu."
Farid menggelengkan kepala dengan keras, tetapi tatapannya tetap tajam. "Tiri!" Cetusnya. Aku bisa melihat ibuku sedikit tersinggung dengan perkataannya. Farid langsung beranjak dan pergi ke kamarnya.
Om Dimas menghela napas dalam-dalam, ekspresinya penuh penyesalan. "Maaf ya, Agas. Maaf juga buatmu, Dewi." Ia menatapku dan ibuku dengan penuh penyesalan. "Saya nanti bakal bicara dengan Farid. Dia harusnya lebih menghargai kalian."
Ibu hanya mengangguk, namun aku bisa melihat kelegaan di matanya. Dia mengucapkan terima kasih pada Om Dimas atas perhatiannya.
Setelah memberikan senyum kecil sebagai tanda penyelesaian, Om Dimas beranjak dari kursi, pamit kepada kami, lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Ruangan yang hanya Om Dimas yang boleh masuk. Aku mendengar suara pintu dikunci dari dalam.
Kami berdua hanya bisa diam, merenungkan peristiwa tadi. Ibuku menatapku dengan ekspresi yang penuh kekecewaan dan sedikit kemarahan. "Agas, denger ibu, ya. Gak ada yang namanya indigo-indigoan. Itu halusinasi kamu doang. Ibu gak mau kamu dilanda sama kayak begituan. Bikin ibu resah."
Aku menelan ludah, mencerna semua pernyataan ibuku. "Iya, bu."
Ibu menggeleng dengan kesal. "Kamu harus bisa bergaul. Liat tuh, Farid aja kayaknya gak terlalu suka sama kamu. Sedih ibu ngeliatnya." Ia mengusap-usap dadanya.
Hatiku terasa berat mendengar kata-kata ibuku. Aku tahu dia khawatir tentang bagaimana kebiasaanku itu bisa mempengaruhi reputasi dan kehidupan kami. Aku hanya bisa menunduk, menyesali atas diriku yang belum bisa menjadi anak yang terbaik.
Aku berdiri di depan wastafel kamar mandi, memperhatikan wajahku yang pucat terkena cahaya redup dari lampu. Betapa acara makan malam keluarga yang menyebalkan. Perkataan-perkataan negatif itu masih terbayang di benakku.
Aku membasahi wajahku dengan air keran di wastafel. Tatapan mataku tertuju pada cermin di depanku, dan di situ, bayangan yang aneh mulai muncul.
Sosok itu tak terlihat jelas pada awalnya, seperti kabut tipis yang mulai membentuk siluet manusia. Namun, seiring dengan setetes demi setetes air mengalir dari keran, bayangan itu semakin jelas. Manusia bertopeng beruang. Aku memicing, mencoba mencerna apa yang kulihat. Ini bukanlah halusinasi, melainkan sesuatu yang nyata.
Sontak aku menoleh ke belakang untuk melihat sosok itu. Nihil, tidak ada siapa-siapa di belakangku. Ketika aku kembali menatap cermin, sosok itu masih ada, tetapi kali ini, dia terlihat berdiri tepat di belakangku.
Sesuatu yang lebih mengerikan terjadi lagi. Bayanganku di cermin, bukanlah diriku, melainkan pria berparuh baya, dan dia mulai menunjukkan ekspresi panik yang berbeda dengan yang aku lakukan. Sosok yang seharusnya merefleksikan diriku, sekarang tampaknya memiliki pikiran dan perasaan terpisah.
Manusia bertopeng itu itu mendekati bayangan orang lain di dalam cermin. Sosok diriku juga semakin panik ketakutan. Aku menyaksikan kejadian itu dengan hikmat, sekaligus mempertanyakan kewarasanku.
Saat sosok hantu itu menyentuh pria paruh baya itu, detik itu pula, PRANG! Kaca cermin di depanku seketika pecah, membuatku terhempas ke belakang.
Aku terduduk di lantai, napas tersengal-sengal, sementara puing-puing kaca cermin berserakan di sekitarku. Apakah itu nyata atau hanya ilusi dari pikiranku yang terganggu? Yang pasti, kaca cermin di hadapanku benar-benar pecah.
Saat itu pula, ibuku muncul di ambang pintu mendengar suara pecahan kaca itu, wajahnya memancarkan kekhawatiran. "Apa yang terjadi di sini?!" serunya, matanya memandang ke sekeliling kamar mandi yang berantakan dengan keheranan.
Aku bangkit dari lantai dengan canggung, mencoba menenangkan diri sebaik mungkin. "Ibu, aku tidak tahu! Aku hanya melihat..." ucapku, suaraku gemetar, tetapi ibuku tidak memberiku kesempatan untuk menyelesaikan kalimatku.
"Dari mana pecahannya?! Kamu memecahkan kaca cermin ini?!" desisnya dengan nada tajam, matanya menatapku tajam dengan ketidakpercayaan yang menusuk.
"Ng-nggak, bu...." kata-kataku terputus saat aku menyadari betapa sia-sia usahaku untuk membela diri. Tetapi, apakah aku bisa memberi penjelasan yang masuk akal tentang sosok hantu yang aku lihat?
"Jangan bohong, Agas! Dan stop ngomong kalo kamu lihat penampakan!" bentak ibuku, kekecewaan terpancar jelas dari wajahnya.
Aku merasa terjepit di antara rasa takut akan apa yang terjadi dan keputusasaan saat ibuku menyalahkan aku atas kejadian yang tidak aku ketahui penyebabnya.
Pintu kamar mandi terbuka lagi, dan Om Dimas memasuki kamar mandi. "Agas, apa yang terjadi di sini?" tanyanya dengan nada lembut, mencoba memahami situasi tanpa langsung menghakimi. Matanya melirik ke arah ibuku, mencari penjelasan.
Ibuku segera menjelaskan, "Ini cermin di kamar mandi yang pecah, bang."
Om Dimas mendekatiku dengan langkah hati-hati, mencoba menenangkanku. "Agas, apa yang sebenarnya terjadi?"
Dengan suara gemetar, aku menjelaskan segala yang kulihat, tetapi aku bisa merasakan betapa sulitnya bagi Om Dimas untuk mempercayainya. Namun, ketegasannya menghadapi ibuku menunjukkan bahwa dia berusaha memahami dan melindungiku.
"Saya pikir kita harus membawa Agas ke dokter," usulnya, sambil menatap ibuku dengan ekspresi yang penuh kebaikan. "Bisa jadi dia perlu diperiksa."
Ibuku mengangguk, menunjukkan rasa setuju. "Oke. Kita akan membawanya ke dokter esok pagi."
Om Dimas kemudian menoleh padaku dengan senyum lembut. "Jangan khawatir, Agas. Semua akan baik-baik saja. Ayo kita bersihkan kacanya, ya?"
Aku mengangguk, merasa lega mendapat dukungan dari Om Dimas di tengah situasi yang membingungkan ini.
***
Aku kembali ke kamar dan menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Aku mulai meragukan diriku sendiri. Apakah aku perlahan kehilangan kewarasan? Apakah aku hanya berhalusinasi seperti yang orang-orang katakan tentang Ayah? Kekecewaan dan keraguan menelanku bulat-bulat.
Aku tidak tahu harus apa. Apakah memang aku harus menghapus kemampuanku ini, atau mempertahankannya? Aku butuh saran.
Daripada memikirkan beban seperti ini, mungkin pelarian justru lebih baik. Maka, aku membuka aplikasi YouTube di ponselku dan mencari video dari Ellis Reiner. Kebetulan aku menemukan video curhatan dirinya mengenai awal mula pahitnya menjadi indigo. Aku segera menekan tombol putar dan membiarkan video itu berputar.
Ellis muncul di layar, wajahnya penuh dengan ekspresi emosi yang kuat. Video itu adalah monolog dirinya dalam kamar. Dia mulai bercerita tentang pengalamannya sebagai indigo.
"When I was a child, I was often scolded and yelled at, even whipped by my own father. He never understood why I was different, why I could see things that were unseen to him. It was like living in a world that never acknowledged my existence."
Ellis menarik napas dalam-dalam, matanya dipenuhi dengan kenangan yang pahit. "But in between, there was my mom. My mom, who always stood by my side, no matter what my father said. She was my fortress, my faithful guardian, who always stood there, defended me, and encouraged me to keep going, even though the world felt so harsh. She was even willing to get beaten up to see me not get beaten up by father. She always told me that I was special."
"She was the light in the midst of darkness, the voice that gave me the courage to step forward, and the example that made me survive until now. And thank God, with the abilities I have, I have the power to help many people, and I could be here, inspiring whoever you are that watching this video."
Dengan setiap kata yang diucapkannya, Ellis memancarkan rasa syukur yang mendalam kepada ibunya, mengingat setiap momen di mana keberadaannya menjadi bimbingan dan dukungan yang tak ternilai.
"So, everyone, especially for those who possess this gift," kata Ellis dengan suara penuh keyakinan, "I want you to know that even though your life might be tough, we always have the choice to stand up and defend on our capable of. Our ability is not a curse, but a gift that we should use to help others out there. We are special. That’s what we are." Ia menutup kata-katanya dengan senyuman.
Aku merasa terhubung dengannya, seperti memiliki saudara sejati yang memahami perjuanganku, meskipun ia sudah tiada tentunya. Sejenak, aku merasa terhibur dan diberi harapan oleh kata-katanya. Saat itu pula, aku mengurungkan niatku menghilangkan kemampuan ini.
***
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih