Share

Astral Projection

last update Last Updated: 2025-01-12 12:13:00

Se-pulang sekolah, aku dan Ralph pergi ke Gramedia. Aku menemaninya membeli buku Everything About The Other World, A Guidance For A Psychic, karya Ellis Reiner. Setelah itu kami pergi ke sebuah restoran siomay terdekat.

"Gue emang kagum banget sama Ellis Reiner," kata Ralph sambil menyuap siomay kering favoritnya di mall. Kebetulan ia mentraktirku makan siang hari ini.

"Mantan cenayang dari Inggris,” tambahnya.

Aku menatap Ralph sedikit heran. "Kenapa lo bisa kagum sama dia? Di sini juga banyak cenayang, kan?"

Ralph menggeleng, menaruh sendoknya di piring. "Jujur aja, gue nggak terlalu percaya sama cenayang-cenayang di Indonesia. Banyak yang nipu, ngejual omong kosong demi duit. Mereka sering kali bikin sensasi daripada membantu orang. Lo liat aja di TV, semua pada pamer kekuatan, padahal isinya cuma tipuan."

Dia meneguk minumannya sebelum melanjutkan, "Beda sama Ellis Reiner. Gue ngikutin channel YouTube-nya sejak lama, dan dari video-videonya kelihatan dia beneran ngerti soal dunia mistis. Nggak ada omong kosong, nggak ada dramatisasi berlebihan. Dia kayak punya pandangan yang lebih rasional, kalau itu mungkin bisa dibilang."

Aku mengangguk pelan, sedikit tertarik. "Berarti lo lebih percaya sama Ellis daripada cenayang-cenayang lokal?"

"Jelas. Dia nggak pernah ngejual rasa takut atau memanfaatkan orang. Dia cuma cerita apa yang dia alami dan gimana dia ngatasin kemampuan indigonya. Beda banget sama cenayang di sini yang kadang lebih banyak nipu daripada membantu orang," jawab Ralph, sambil tersenyum tipis.

"Sayangnya, dia meninggal secara misterius beberapa tahun lalu. Sampai sekarang masih belum ada yang tau gimana dia meninggal," Ralph menatapku serius sambil menyuapkan satu lagi potong batagor. "Gue masih ikutin channel YouTube-nya sampai sekarang, meskipun dia udah nggak ada."

"Serius?" Aku sedikit kaget.

Ralph mengangguk. "Bukan cuma beredar, banyak orang yang masih merasa terbantu sama cerita-ceritanya. Kayak dia tuh, ya, udah nggak ada, tapi jejaknya masih hidup dan membekas di benak orang-orang."

“Gua itu kayaknya lagi diincer makhluk tinggi gede, badan kurus, warnanya item kayak bayangan, mata gede bersinar kayak lampu, punya tanduk rusa di kepala, dan cakarnya tajem kayak ranting pohon. Udah tiga kali gua liat sosok itu buntutin gua.” Aku bercerita seketika, selayaknya mungkin karena memang aku ingin curhat.

Ralph terdiam sejenak. Aku bisa melihatnya merasa canggung karena aku melihatnya dengan risih. "Wow, dari ciri yang lo deskripsiin kayaknya itu sosok hantu paling keren yang pernah gue denger," katanya dengan nada simpatik.

Meskipun pengalaman yang kualami mengerikan, aku merasa lebih tenang karena memiliki Ralph di sisiku. Tentu saja, mungkin dengan Dave juga.

"Pertama kali gue liat makhluk itu pas mata batin gua kebuka. Gua pas itu kayak ada di dunia lain, terus makhluk itu ngejer-ngejer gue. Abis itu gua sempet liat dia lagi di jalan pas gue mau pulang. Sama, dia terus ngejer-ngejer gue."

Ralph menatapku dengan serius, tak lagi menunjukkan antusiasme berlebihan. "Gue ngerti, Gas. Gue nggak bisa bayangin gimana rasanya, tapi gue di sini buat lo. Kapan pun lo butuh bantuan, gue siap. Kita bakal cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan ini terjadi, aku merasa tidak sendirian. "Thanks, Ralph. Gue bener-bener butuh temen yang bisa diajak ngomong soal ini."

Ralph tersenyum kecil, kali ini dengan tulus. "Lo gak perlu takut, Gas. Kita hadapi bareng-bareng."

***

Esok harinya, di hari Sabtu pagi Ralph datang bermain ke rumahku. Dia menepati ucapannya untuk bermain ke rumah.

“Gas, Nih, lu harus liat video ini.”

“Apaan?” tanyaku sambil melangkah mendekatinya. Di layar, terlihat sebuah video Youtube yang menunjukkan seorang wanita yang sudah terlihat paruh baya. Ia terlihat sedang duduk di tengah sebuah auditorium dan banyak orang melihatnya, seakan sedang membawakan kuliah.

“Ellis Reiner. Paranormal asal Inggris. Ini dia,” Ujar Ralph dengan antusias.

Aku menyaksikan video wanita itu menerangkan mengenai keunikan seorang indigo. Hal yang sedikit membuatku penasaran adalah ketika wanita itu menjelaskan mengenai astral projection. Seketika, terbesit rasa penasaran pada Ralph.

“Coba lu demonstrasiin, Gas. Astral Projection.”

“Eh, jangan, dong. Gue takut kalo masuk alam sana. Serem, cuy. Apalagi kalo gue gak bisa balik.” Jawabku. Gila saja, melihat wujud makhluk astral di dunia nyata saja sudah membuat bulu kudukku menggigil, apalagi sampai mengunjungi dunia mereka.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu.

“Eh, siapa itu?” tanya Ralph.

Aku menoleh ke belakang. Suara itu berasal dari pintu depan rumahku. Kebetulan ibuku sedang keluar sejenak, jadi aku berinisiatif membuka pintu.

“Dave?” sapaku gembira.

Dave berdiri di depan pintu mengenakan kaos biru polos dilapisi dengan jaket hijau abri. “Hai. Aku bawa kue, barangkali suka.” Ia memberikanku sekotak berisi kue balok.

“Makasih. Yuk, masuk.”

Aku meletakan kue hadiahnya di meja dapur. Aku mengajak Dave melihat sekeliling rumah. Hal yang membuatku gembira adalah bisa memperkenalkan dirinya kepada Ralph.

“Hmmm, lu ngomongnya aku-kamu, ya?” tanya Ralph penasaran.

“Iya. Gak masalah, kan, ya?” ujar Dave menghangatkan suasana. Ia meletakan ranselnya di lantai di belakang pintu kamarku.

“Yaa... gak masalah, sih. Terserah lu aja. Tapi, gue ngomongnya lo-gue, ya.”

“Santai.” Jawabnya ramah.

Senang melihat kedua teman baruku bisa langsung klop dalam sekejap. Itu adalah momen bersejarah yang akan menjadi kenangan terbaik di masa hidupku.

“Btw, kalian lagi ngapain?” tanya Dave, yang malah justru mengarah kepada Ralph ke hal yang enggak-enggak.

“Oh, kita abis ngeliat video paranormal tentang dunia hantu. Rencananya aku mau bantu Agas buat masuk ke dunia itu.”

Mendengar itu, Dave malah tersenyum kesenangan. “Oh, iya. Agas kan bisa ngeliat hantu.”

Oh, tidak. Pikirku. Kenapa malah jadi begini? Aku senang sekali bisa mendapatkan teman yang bisa klop bersamaku. Tapi, aku tidak menyangka sama sekali bahwa mereka menginginkan aku untuk mengeksplor bakatku yang justru menjadi sumber masalah baru dalam hidupku. Saat itulah, senyuman bahagiaku sirna menjadi wajah renungan.

“Mau ya, Gas? Lu nyoba pergi ke The Other World?” tanya Ralph dengan nada mendramatisir.

“Aduh, gimana, ya. Menurutmu gimana, Dev?” tanyaku ragu. Aku mencoba mencari pembelaan dari Dave. Semoga ia memiliki opini tersendiri.

“Hmmm....” Ia berpikir sejenak. “Menurut aku coba aja, sih. Barangkali kamu emang punya kemampuan itu. Bisa jadi itu bakal jadi hal yang berguna buat kamu dan orang lain.” Tuturnya sembari duduk di lantai dan menyelonjorkan kedua kakinya. “Ya, gak, sih?”

Ralph menjadi semakin antusias. “Nah, betul, tuh. Mau, yaa.... Pliis.....”

Oh, sial. Tak kusangka kedua kawan baruku ini malah sependapat. Ingin sekali aku menolak, tapi apa daya. Mereka teman baruku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka.

Aku menarik napas panjang. Dengan berat hati, aku mengatakan. “Oke. Kalau itu yang kalian mau.”

Duh, kok malah jadi gini, sih? Aku menelan ludah. “Yaudah, tapi kalian harus jagain aku, ya.”

“Yes.” Jawab Ralph semangat. “Hayu, hayu.”

Akhirnya, lampu dimatikan. Gorden jendela ditutup hingga tak ada cahaya matahari masuk. Kami duduk melingkar di lantai.

“Oke, kita pake aplikasi jam dari hape gua aja, ya.” Ralph mengaktifkan fitur jam pada ponselnya hingga terdengar suara jarum detik memutar.

“Eh, serius, nih? Asli gua takut beut, Ralph.” Tuturku ragu.

Tapi sepertinya, Ralph begitu antusias hingga ia terus menyemangatiku. “Ayolah. Lu pasti bisa. Lu kalo udah biasa juga bakal nganggep itu rumah kedua lu, asli.”

Baiklah, aku berusaha optimis. Aku menarik napas sejenak sejenak. “Oke, aku coba, ya.”

Ayo, Agas. Lu pasti bisa. Bisikku dalam hati berusaha menyemangati diri.

“Mending jangan lama-lama. Bareng dua sampe tiga menit aja.” Sanggah Dave.

“Nah, iya. Lu kasih tanda kalo misal arwah lu udah berhasil keluar dari tubuh lu.”

What? Bagaimana caraku melakukan itu? Ya, sudahlah. Apa saja yang penting aku bisa cepat menyelesaikan permintaan bodoh ini.

Ponsel Ralph dilekatakan di tengah-tengah kami. Aku menarik napas sejenak. Lalu, aku memejamkan mataku. Perlahan, aku mendengarkan dentuman detik dari aplikasi ponsel itu. Aku memusatkan pikiranku pada suara itu. Hingga tak lama, aku merasa lingkunganku menjadi dingin, dan pikiranku terlelap. Aku merasakan lingkunganku semakin gelap.

Akhirnya, aku membuka mataku. Aku masih melihat Ralph dan Dave di depan mataku. Hanya saja, di bawah mereka terdapat banyak sekali kabut. Dan ruangan di sekitarku nampak lebih gelap dari sebelumnya.

“Ralph? Dev?” aku memanggil mereka. Tetapi, mereka tidak menjawab.

Aku pun berdiri dan melangkah sedikit. Saat itu, aku melihat tubuhku yang masih duduk dan terpejam. Sungguh, aku begitu syok parah, hingga aku tak sengaja menabrak meja kecil di belakangku, menjatuhkan beberapa buku.

Seketika, Ralph melihat ke arahku. Tepatnya, ke arah buku yang jatuh.

“Eh, liat. Bukunya jatoh sendiri.” Ujarnya. “Jir, keknya lu berhasil Kal.” Suara Ralph terdengar sedikit menggema. Mungkin karena efek perbedaan dunia, atau entahlah.

Saat itu juga, gadis hantu itu muncul berdiri di dekat tubuhku yang masih duduk. Ia menatapku datar.

“Katanya kamu mau ngilangin kemampuanmu?” tanyanya.

Bingung juga bagaimana menjawabnya. Tapi, akhirnya aku punya opiniku sendiri. “Yah, pengennya, sih. Tapi, kayaknya aku bakal pikir-pikir lagi.”

Gadis itu tersenyum. Ia tiba-tiba sirna perlahan.

Tepat di samping kananku—di lantai, muncul sebuah lentera yang menyinari ruangan ini. Melihatnya, membuatku tertarik, dan aku mengambil lentera itu dan membawanya. Saat itu juga, muncul sosok pria paruh baya di dekatku, membuatku terkejut. Pria itu juga menatapku dengan datar. Aku tidak tahu siapa dia.

“Dia meninginkanmu, dia menginginkanmu, dia menginginkanmu....” Pria itu mengulang-ulang ucapannya dengan nada monoton.

“Si-siapa, pak?” Aku menatapnya dengan tertegun.

Pria itu seketika terdiam. Dia terus menatapku. “Pria yang berwujud bayangan; pria dengan mata bercahaya; pria yang sangat tinggi, melebihi tinggi manusia.” Kata-katanya sungguh menyeringai menderu di telingaku. “Dia menginginkanmu. Jangan biarkan ia kembali ke cahaya.” Pria itu kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kamarku.

Dari jalannya, ia terlihat kaku. Saat itu melihat ke arah luar kamarku, pria itu sudah hilang dalam kegelapan. Suara-suara rintihan jeritan terdengar di sekelilingku, memberikan suasana bak penderitaan. Bulu kudukku merinding. Ini lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Dengan sigap, aku langsung berlari dan melompat ke tubuhku. Seketika aku terbangun—mengambil napas panjang—dan aku tersadarkan.

“Eh, gimana? Gimana?” Ralph bertanya begitu antusias.

Aku bergeming sejenak, menjernihkan pikiranku. Setelah itu, aku menceritakan semuanya.

“Mantap! Lo adalah satu-satunya orang yang punya kelebihan di mata batin, Gas. Fix! Yang lain gak ada soalnya.” Puji Ralph sembari menepuk pundakku. “Janji lo gak bakal hapus bakat lo?” ia bertanya dengan memberikan wajah merana.

Di sisi lain, Dave juga mengacungkan jempol, menandakan ia sependapat dengan Ralph.

Aku menghela napas sejenak. Namun, dengan wajah yang termenung, aku berkata, “Oke.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Penguntit di Kegelapan

    “Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Warisan Baru

    Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Insiden

    Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Berdamai Dengan Masa Lalu

    Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Kenangan Baru

    Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Pertarungan Terakhir

    "Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status