MasukDi malam Jumat Kliwon, keluarga Nara tiba-tiba menerima lamaran dari sebuah keluarga kaya raya. Tanpa alasan yang jelas, mereka mendesak Nara untuk menerima pernikahan itu—seakan-akan nyawanya sendiri bergantung pada hal tersebut. Namun rumah calon suaminya, Raka, bukan rumah biasa. Ada pantangan yang harus ditaati. Ada cermin yang tak boleh dibuka setelah tengah malam. Ada pintu yang tak boleh disentuh saat angin malam berdesir. Dan yang paling mengerikan— ada roh seorang pengantin perempuan yang masih bergentayangan, menuntut pernikahan yang tidak pernah ia dapatkan. Nara mulai dihantui. Ditarik dalam mimpi. Dipanggil dengan namanya. Dicemburui oleh roh yang pernah mencintai Raka… dan mati secara tidak wajar. Namun semakin Nara mencoba menjauh, semakin ia menemukan bahwa Raka pun tidak sepenuhnya manusia bebas. Ia adalah pria yang dikutuk. Dan hanya satu hal yang bisa menghentikan kutukan itu: pengantin yang bersedia menggantikan roh tersebut di dunia gaib. Dua pilihan: Menjadi istri Raka. Atau menjadi pengantin sang roh. Dan ketika cinta mulai tumbuh… pilihan itu menjadi semakin mematikan.
Lihat lebih banyakAngin malam itu terasa berbeda. Tidak berisik, tidak pula lembut.
Langit gelap tanpa bintang.
Nara merapatkan selendangnya saat ia berdiri di depan rumah panggung tua milik keluarganya. Baru saja ia pulang dari warung ketika mendapati halaman penuh dengan orang: kerabat jauh, tetangga, dan beberapa lelaki asing berpakaian serba hitam.
Ibunya memanggil pelan, “Nara… kemari.”
Suara itu terdengar bukan memanggil seorang anak—melainkan seorang korban.
Nara melangkah masuk. Matanya langsung terpaku pada meja tamu, di mana tersaji hidangan lengkap layaknya pesta kecil. Lalu sebuah kotak kayu berukir halus terletak di tengahnya, ditutupi selendang merah.
“Ada apa ini…?” tanya Nara bingung.
Ayahnya terbatuk kecil sebelum menjawab. “Keluarga besar Wiradipa datang membawa lamaran.”
Nara membeku seketika. Wiradipa?
Salah satu pria bertubuh tegap melangkah maju. Kain lurik hitam membungkus bahunya, dan tatapan matanya dingin tapi penuh hormat.
“Nama saya Surya Wiradipa,” ucapnya. “Saya datang membawa lamaran untuk adik saya, Raka.”
Nama itu menggema di kepala Nara. Raka Wiradipa—pengusaha muda yang jarang terlihat di publik tetapi selalu disebut-sebut dalam rumor-rumor aneh: rumah besarnya berhantu, keluarganya terikat janji lama, dan… calon pengantinnya tak pernah bertahan lama.
Nara menelan ludah. “Kenapa… saya?”
Surya tersenyum tipis. “Raka memilihmu.”
“Memilih saya? Padahal saya tidak mengenalnya.”
Ayahnya memotong cepat, suaranya tergetar, “Nara, ini kehormatan besar. Jangan bertanya macam-macam.”
Nara menatap ibunya, berharap jawaban. Tapi ibunya justru menunduk, tangan gemetar.
“Sore tadi,” kata ibunya lirih, “burung gagak jatuh mati di depan pintu. Lalu anjing-anjing menangis panjang… Itu tanda. Kakekmu dulu selalu bilang… jika tanda-tanda itu muncul, artinya janji lama harus ditebus.”
Nara merinding hebat. “Janji… apa?”
Tak ada yang menjawab.
“Ini tanda ikatan lamaran,” ucap Surya. “Jika Nara menerimanya, maka pernikahan harus berlangsung sebelum bulan penuh berikutnya.”
Nara hampir mengambil langkah mundur. “Kenapa buru-buru?”
“Pantangan keluarga kami,” jawab Surya singkat.
Nara menggeleng. Semuanya terasa salah. Terlalu diam. Terlalu sunyi. Terlalu… dipaksakan.
Tiba-tiba pintu belakang berderit pelan.
Bayangan perempuan bergaun putih panjang berdiri di sana. Rambutnya terurai, wajahnya kabur seperti tertutup kabut tipis. Nara membeku. Ia tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya.
Perempuan itu mengangkat wajahnya.
Dan Nara mendengar bisikan itu—
“Jangan menikah dengannya…”
Bisikan itu terasa sangat nyata, seolah langsung tertanam di dalam telinganya.
“…dia milikku.”
Lampu tiba-tiba berkelip, lalu mati seketika. Ruangan tenggelam dalam kegelapan total.
Lampu kembali menyala beberapa detik kemudian.
Perempuan bergaun putih itu sudah hilang.
Nara berdiri pucat, tangan gemetar. Surya Wiradipa memandangi tempat perempuan itu berdiri tadi, wajahnya mengeras.
Ia menoleh pada Nara.
“Besok pagi, Nara harus ikut kami ke rumah keluarga Wiradipa.”
Nara menelan ludah, suara bisikan itu masih membekas.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa…
pernikahan ini bukan untuk membangun rumah tangga.
Tapi untuk menebus sesuatu yang gelap.
Ritual pertama membuat seluruh ruangan terasa berat, seperti udara menjadi lebih tebal dari biasanya. Nara masih bersandar pada Raka, napasnya belum sepenuhnya pulih. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun perutnya terasa jauh lebih ringan dibanding sebelum ritual. Beban yang tadinya seperti tangan mencengkeram kini melemah menjadi tekanan lembut.“Aku… merasa dia menjauh sedikit,” bisik Nara, hampir tidak percaya.“Karena ikatan pertamanya sudah putus,” jelas Laksmi. “Tapi dia tidak akan tinggal diam. Dia akan mencoba melakukan serangan balik.”Raka menatap Laksmi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kita istirahat sebentar,” jawab Laksmi sambil merapikan alat ritualnya. “Setelah itu, kita lihat apakah ada tanda-tanda gangguan. Ritual berikutnya tidak bisa dilakukan langsung—kita harus menunggu agar tubuh Nara tidak rusak.”Nara mengangguk lemah. “Berapa lama aku harus menunggu?”“Paling cepat beberapa jam.” Laksmi memandang keluar jendela. “Tapi melihat betapa gelisahnya
Mobil berhenti tepat di depan sebuah gapura kayu tua. Gapura itu dijaga dua patung kecil berbentuk makhluk hutan—bermata bulat, bertaring tetapi tersenyum—ukiran lama yang sudah pudar oleh usia. Lampu-lampu minyak menggantung di sepanjang pagar bambu, membuat suasana desa terlihat seperti tersangkut di antara dunia modern dan masa silam.“Selamat datang di desaku,” ujar Laksmi pelan.Nara memandang sekeliling. Rumah-rumah panggung berdiri berjajar, dikelilingi hutan rimbun dan sungai kecil yang mengalir tenang. Meskipun malam, desa terasa hangat. Namun di balik hangatnya itu, ada sesuatu… sesuatu yang tua dan hidup, seakan desa ini bernapas mengikuti denyut bumi.Raka turun lebih dulu dan membantu Nara. “Kau baik?”“Sedikit pusing,” jawab Nara, memegang perutnya. “Tapi… lebih baik daripada tadi.”Laksmi berjalan di depan, memimpin mereka melewati jalan setapak yang diterangi obor. Penduduk yang masih terjaga memperhatikan mereka dari kejauhan. Sebagian mengangguk hormat pada Laksmi. S
Sosok kabut kecil itu melangkah mendekat, perlahan tapi pasti. Setiap langkahnya membuat udara di sekeliling mobil bergetar, seolah kaca tipis yang ditekan dari dua sisi. Raka menahan napas, tangannya tetap memegang setir, tapi mobil tidak ia gerakkan seinci pun.Lampu depan menyorot tubuh kabut itu—tidak padat, namun cukup jelas untuk membentuk siluet anak kecil dengan kepala tertunduk. Di dadanya, cahaya merah samar berdenyut pelan, mirip dengan tanda yang muncul di perut Nara.“Dia mencoba memaksa keluar dari wilayah rumahnya,” gumam Laksmi, matanya menyipit waspada. “Ini… tidak seharusnya mungkin.”Nara menggenggam lengan Raka lebih erat. “Kalau dia berhasil… apa yang terjadi padaku?”“Dia akan punya pijakan lebih kuat di tubuhmu,” jawab Laksmi jujur. “Dan jarak tidak akan berarti lagi. Di mana pun kau berada, dia bisa menyentuhmu.”Raka merasakan amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. “Lalu kita harus menghentikannya sekarang.”Kabut itu berhenti tepat di tengah sorotan lam
Cahaya-cahaya kecil itu semakin jelas ketika mereka mendekati halaman rumah. Awalnya Alya mengira itu kilatan hewan malam, tetapi semakin dekat, ia melihat bentuknya: titik cahaya bulat sebesar kelereng dengan warna berbeda-beda, melayang tanpa sayap, menyala lembut seperti kunang-kunang namun memiliki pola yang teratur.“Apa itu…?” Alya berbisik, menelan rasa takut yang mulai naik ke tenggorokan.“Mereka Para Pengamat,” jawab Mirza dengan suara yang tiba-tiba berat. “Makhluk-makhluk kecil yang mengikuti getaran energi dari penyatuanmu.”Ardan memperhatikan mereka dengan tajam. “Jika Para Pengamat datang, artinya dunia gaib sedang menilai kita.”Alya melangkah mundur satu langkah. “Menilai… apa maksudnya?”“Menilai apakah penyatuanmu layak diterima atau harus dihentikan,” jawab Mirza tanpa basa-basi.Alya menahan napas. “Dihentikan? Bahkan setelah semua ini?”Mirza mengangguk. “Tidak semua penyatuan manusia dan makhluk gaib dianggap sah. Energi dunia gaib akan memilih—menerima atau me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan