Share

Welcome The Game

"Aku tidak bercanda!" Shuura memasang mimik wajah serius. "Jika kalian tidak percaya lihat sendiri!"

"Bagaimana kami bisa ke sana? Masalah di sini saja belum selesai."

Keluhan datang dari Rayyan yang masih sibuk menyerang para Zombie bersama Fattah. Keduanya berusaha mendorong sekumpulan mayat hidup itu agar menjauh dari ambang pintu supaya bisa ditutup. Namun, sepertinya mustahil ketika para titan itu terus bertambah banyak.

Di sisi lain, Amru dan Cakra menahan sisi pintu dari benturan. Kekuatan yang tiada batas membuat mereka kewalahan. Sibuk dengan perlawanan mereka tak menyadari jika Varen masih menganggur. Pria berambut merah itu malah asyik menonton teman-temannya yang berjuang sampai titik darah penghabisan.

"Oi, Varen! Dari pada kamu diam saja di sana, mending bantu Shuura memilih pintu yang benar," perintah Fattah memberi saran.

"Jangan! Nanti mereka bertengkar lagi," cegah Amru menolak keras usulan itu. Lirikan matanya lantas tertuju pada Shuura yang masih menahan pintu bertuliskan Neraka.

"Iya juga, sih."

Fattah kembali teringat akan perseteruan bocil tadi. Hanya akan menambah bencana jika Shuura dipasangkan dengan Varen. Mereka berdua bagai kucing dan tikus. "Ya sudah, biar aku yang menahan pintu ini sendiri. Kalian pergilah ke Shuura!"

Semua orang terkejut dengan keputusan yang diambil pemimpin tak resmi mereka, terkhusus bagi Rayyan yang langsung menyalak tak setuju. "Tidak. Kami tidak bisa meninggalkanmu sendiri, Fattah."

"Benar, aku juga tidak setuju," timpal Amru menatap Fattah muram. "Tolong, jangan berpikir mengorbankan diri untuk kami."

"Bukan seperti itu, justru aku ingin menyelamatkan kita semua," elak Fattah lalu mengingatkan mereka tentang batas durasi waktu yang tersisa.

Kelima pria itu sontak merasa seperti baru saja ditampar oleh kenyataan. Bisa-bisanya mereka melupakan bahwa gedung ini bisa meledak kapan saja. Tanpa berkata apapun, Varen menyusul Shuura yang telah masuk lebih dulu ke dalam ruangan. Tindakannya itu membuat keempat pria lain tercengang, tetapi memilih tidak berkomentar.

Amru menatap Fattah penuh arti. "Tapi kamu tidak bisa sendirian, Fattah. Para Zombie ini akan melumpuhkanmu nanti."

"Tolong jangan terlalu cemas. Aku baik-baik saja," balas Fattah tersenyum tipis.

"Tapi_____"

"Tidak apa. Cepat susul mereka sebelum bertengkar lagi."

Dengan satu tarikan napas panjang, Amru pun pergi diikuti oleh Cakra. Mereka meninggalkan Rayyan yang masih teguh menahan pintu di sisi mantan teman satu sel tahanannya.

"Kenapa kamu masih di sini, Rayyan? Cepat pergi!" usir Fattah.

"Tidak. Biar aku membantumu di sini."

"Tapi_____"

"Kamu tidak bisa mengatasi ini sendiri. Jadi biarkan aku membantumu ... demi masa lalu kita," cengir Rayyan menatap Fattah yang tertegun di tempat.

"Baiklah. Mohon bantuannya, Kakak Ipar," balas Fattah melempar senyum tulus.

"Tentu, Adik Ipar."

***

Sementara itu ....

"GROAAHHHH!"

Krak!

Kedatangan Cakra dan Amru disambut dengan geraman dan bunyi denting pecahan kaca. Baru saja merasa lega karena terbebas dari belenggu serangan para titan, mereka justru dilemparkan dalam kasus yang lebih parah. Jika mengetahui akan terjadi seperti ini, lebih baik mereka menahan pintu bersama Fattah dan Rayyan tadi.

Siapa sangka jika tiga pintu misterius yang disinggung Shuura, ternyata terbuat dari bahan dasar kaca yang mudah pecah. Bahkan mungkin peluru revolver Varen bisa menembusnya.

Akan tetapi, bukan itu yang menjadi titik masalah, melainkan segerombolan Zombie yang berusaha menerobos masuk. Terlebih fakta ketiga pintu tersebut terletak berjauhan. Di setiap dinding terdapat masing-masing satu pintu. Entah siapa arsitektur yang mendesain ruangan serumit ini.

"Jangan hanya diam!" hardik Shuura menegur ketiga temannya. "Ayo, bantu aku menahan pintu lain. Mereka sudah menemukan kita."

"Apa yang terjadi, Shui?"

Cakra berlari ke pintu bagian Barat, tempat di mana Shuura bersi tegang dengan para mayat hidup, sedangkan Amru bergegas menahan pintu  sebelah Timur dan Varen masih berdiri di posisinya yang berada tepat di pintu tengah.

"Aku tidak yakin," jawab Shuura penuh keraguan. "Tapi sepertinya para Zombie ini memiliki penglihatan yang tajam."

"Huh ... benarkah?" tanya Cakra mengerutkan alis.

Shuura mengangguk. "Saat melihatku tadi mereka langsung bersikap agresif. Makanya aku masuk ke sini dan menahan pintu."

Sekali lagi Cakra termenung, menatap segerombolan Zombie yang mencakar dan memukul-mukul kaca pintu dengan beruntal. Goresan memanjang dan retakkan pun sudah terlihat di setiap penjuru, hanya masalah waktu sampai ini benar-benar pecah dan hancur.

Hal serupa juga terjadi pada Amru yang menahan pintu lain sendirian. Meski demikian perhatian Cakra terpokus menganalisis situasi. Tatapan matanya tertuju pada mayat hidup yang memiliki sinar mata berwarna kemerahan.

"Mereka Zombie yang sama seperti di lorong tadi," gumam Cakra lirih. Namun, masih dapat ditangkap oleh Shuura yang mengernyit kebingungan.

"Benarkah? Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Tidak ada."

"Hah?" Shuura menganga. Syok bukan main dengan balasan santai sahabat dekatnya. "Jangan bercanda. Ini bukan waktunya untuk tidak peduli."

"Tahu ... tapi kita tidak bisa menang melawannya."

Cakra lalu menerangkan bahwa variant Z-H Dark 04 adalah Zombie yang memiliki tipe sensorik sangat tajam. Mereka memiliki indera penglihatan layaknya kucing. Ketika Zombie biasa akan tenang di tempat gelap, mereka justru tidak terpengaruh.

"Lalu apa tidak ada jalan keluar lain?" erang Shuura frustrasi, menjambak rambut pirangnya sendiri.

"Ada."

Shuura mengernyit, mengikuti arah tatapan Cakra yang tertuju pada Varen. Lebih tepatnya menatap pintu terakhir. Namun, Shuura salah sangka dan malah berteriak menyuruh Varen membukanya.

Tentu saja, mengenal sikap Varen, pria berusia 26 tahun itu menolak keras. Varen beralasan takut akan ada tembakan susulan. Merasa gemas sendiri dengan sikap aneh para rekannya, Shuura mencibir. "Lalu, kamu akan terus berdiri di sana, begitu?"

"Ya ... tidak. Tapi aku tak mau menjadi orang yang membuka pintu," ketus Varen tersinggung akan nada ejekan dalam suara pria bermanik biru.

Shuura berdecak. "Ck, ribet amat, sih."

"...."

Varen tidak menanggapi. Ia menyadari semakin diladeni akan semakin berbuntut panjang. Keributan season dua pun bisa terjadi. Dan itu bukan hal baik, mengingat waktu akan terus berjalan sampai gedung inj meledek.

"Ya, sudah kamu gantikan posisiku saja," usul Shuura memberi saran.

"Tidak. Aku tak mau berada di dekat orang yang menganggapku pengkhianat," tolak Varen menatap sinis Cakra.

Sementara itu, Subjek yang disindir hanya mendengkus dan membuang muka. Tidak ingin memicu konflik lanjutan. Suasana saat ini sudah cukup panas dan tegang. Tidak perlu menambah masalah ketika geraman para Zombie pun masih terus menebarkan teror kematian.

"Dasar kurang ajar."

Shuura mengumpat sambil beranjak menggantikan posisi Varen yang kini membantu Amru menahan pintu. Akan tetapi, begitu Shuura berdiri di depan pintu terakhir, alisnya terangkat naik.

"Kenapa, Shui? Apa pintunya terkunci?" tanya Cakra menyentak Shuura yang tiba-tiba terdiam di depan pintu masuk.

"Hm ... sepertinya, sih?!"

Cakra mengernyit. "Kenapa kamu terdengar ragu? Coba saja buka pintunya."

"Ng ... Iya."

Shuura menuruti permintaan temannya, bergegas ia mencoba mendorong pintu besi itu sekuat tenaga. Namun, tidak ada reaksi apapun. Bahkan bunyi derit engsel tidak terdengar. Jelas sekali pintu ini dibuat dengan bahan berkualitas tinggi.

Shuura mengeluh. "Pintunya terkunci, Cakra."

"Apa di sana tidak ada kuncinya?" tanya Cakra sedikit menaikan suara.

"Tidak ada. Tapi di sini ada sesuatu yang aneh."

"Aneh bagaimana?"

"Ada monitor kecil komputer."

"...."

Cakra tertegun, mengingat akan satu teknologi barier yang sangat canggih. Di mana ada sebuah pintu yang di desain dengan kunci teka-teki paling rumit. Menurut rumor, pintu itu bahkan tidak bisa diledakan dengan bom seperti halnya brankas besi.

"Apa kamu yakin, Shui?" tanya Cakra mengulangi pertanyaan serupa.

"Iya."

"Kalau begitu ... cepat cari dan tekan tombol powernya! Kita akan menemukan petunjuk selanjutnya."

Mimik serius di wajah Cakra membuat Shuura terperangah, ia pun hanya bisa mengangguk dan bersiap mengikuti instruksi yang diberikan. Hanya butuh beberapa detik sampai Shuura menemukan apa yang dicari.

Ketika selesai menekan tombol power, layar pun menyala menampilkan perangkat lunak yang sedang memproses pengerjaan.

Di sana jelas tertulis kata loading, kemudian ....

[Selamat datang di Labirin Of The Death].

... Suara komputer berdengung menyapa ramah. Gemanya yang nyaring mungkin terdengar sampai ruangan sebelah. Bahkan para Zombie dibuat semakin tak tenang. Kekalutan itu bertambah tegang ketika komputer kembali bersuara.

[Waktu yang tersisa dari permainan tinggal 180 detik lagi. Mulai mengaktifkan program hitung mundur].

180 ....

TIK!

179 ....

TIK!

178 ...

TIK!

Gawat! Mereka kehabisan waktu. Apa mereka akan mati di sini? Tanpa mengetahui situasi apa yang mereka alami?

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status