Siang itu, Indah kedatangan tamu yang mengaku ayahnya Euis. Bik Wati yang mengantar pria tersebut ke rumah Bu Aminah karena Indah sedang menunggu kepulangan ibunya. "Apa benar Bapak ini ayahnya Euis?" Indah menatap pria di depannya. Kalau di lihat dari penampilannya mungkin seumuran dengan Danang."Iya. Tiga tahun yang lalu saya bercerai dengan Lilis. Hak asuh pengadilan agama waktu itu jatuh pada mantan istri saya." Indra menundukkan kepala. "Euis memang tinggal bersama saya. Bukan saya tidak percaya dengan Bapak, tapi saya heran mengapa selaku Ayah kandungnya baru menemui Euis sekarang ini?" Indah merasa geram melihat pria yang memasang wajah penuh penyesalan."Maafkan saya. Keadaan menyulitkan saya untuk bisa pulang," jawab pria tersebut."Memangnya Bapak tinggal di mana? Sampai tak bisa pulang di saat anaknya dalam masalah besar." Indah berusaha menahan gejolak dada. Setidaknya ia harus memberi kesempatan pada pria yang mengaku orang tua Euis."Saat saya mendapat kabar tenta
"Astaghfirullah. Kang Danang itu benar-benar biadab!" Bu Aminah mengepalkan tangannya."Sayang dia sudah meninggal dunia jadi sulit bagi saya untuk mendapatkan langsung keterangan tentang bayi yang dia culik." "Sayang sekali kalau begitu. Saya jadi kehilangan jejak," sesal IndraBerbagai praduga memenuhi pikirannya indah. Namun ia tak ingin cepat menyimpulkan. Kalau memang bayi Pak Indra yang hilang diculik oleh Danang, besar kemungkinan bayi itu adalah dirinya."Benar kata Nak Indah tadi, kita tak pernah tahu cara Tuhan mengatur pertemuan. Berharap putri saya masih hidup dan bisa secepatnya di pertemukan," tutur indra."Ibu sama Pak Indra mengapa menatapku seperti itu?" Indah salah tingkah saat melihat Bu Aminah dan pak Indra menatapnya."Apa ada tanda lahir atau ciri-ciri lain pada putri Bapak?" Bu Aminah malah memberi pertanyaan pada Pak Indra."Yang saya ingat di bagian kiri punggung Anjani ada tanda lahirnya.""Anjani?""Itu nama Putri saya yang hilang," jawab Indra."Masya
"Kalau boleh tahu, kenapa bunda bisa masuk rumah sakit jiwa?" Indah akhirnya mengungkapkan rasa penasarannya."Ayah terpaksa harus memasukan Bundamu ke rumah sakit jiwa. Ayah tak bisa kalau setiap saat mengontrol kondisi Bundamu yang selalu mengamuk,""Lima tahun kami menunggu kehadiran seorang anak, namun setelah kamu lahir malah di culik orang. Itulah yang membuat Bundamu depresi dan berusaha mengambil bayi yang ia kira anaknya yang hilang."Bukan Ayah tak mau merawat Bundamu tapi kerja di laut itu tak bisa pulang ke rumah setiap hari.""Tadi waktu Ayah ngajak untuk bertemu Ibu, Indah kira mau ke kantor polisi bertemu Bu Lilis.""Ayah menikahi Lilis setelah lima tahun Bundamu di rumah sakit jiwa. Namun Ayah salah memilih wanita. Selain materialistis dia juga beberapa kali ketahuan selingkuh." "Berati, Indah sama Euis satu ayah beda Ibu?""Betul sekali, Nak. Ayah harap kamu bisa menerima Euis dan menyayangi dia walau kalian terlahir beda Ibu.""Indah sudah sayang sama Euis jauh s
Malam Minggu memang waktunya buat para muda mudi menikmati malam panjang. Walau sampai sekarang ngga ada yang bisa mengukur seberapa panjangnya dengan malam-malam yang lain. Malam naas bagi para jomblo. Itu kata Euis.Tampak kedai Indah malam itu sangat ramai pengunjung. Aroma jagung bakar dan wedang jahe seolah ingin mengusir udara Lembang yang terkenal dengan hawa dinginnya. Pasangan muda-mudi terlihat asik mengobrol di atas tikar sambil menikmati menu jajanan yang ada di tempat Indah. Saung terbuka yang terletak di pinggir jalan raya memang sangat strategis. Di sini kita bisa melihat kecantikan kota Bandung malam hari yang seperti berada di lembah."Lihat putri kita, dia percis bunda waktu masih muda. Ayah jadi ingat awal kita bertemu." Indra meraih jemari istrinya."Iya. Dulu Ayah pembeli jagung bakar bunda yang paling setia. Ngga tahunya ada udang di balik jagung." Diah tersipu."Alhamdulillah kita sekarang bisa berada di sini. Setelah melewati waktu yang begitu panjang. Mung
"Jadi Ayah sama orang tua Kang Milan sudah saling kenal?" "Iya, Nak. Kami dulu pernah tinggal bertetanggaan. Ya Allah, ngga nyangka kita bisa bertemu kembali setelah sekian lama." Indra menepuk-nepuk bahu Pak Dahlan."Dunia ini memang sempit, ya, Teh." Bu Diah merangkul bahu ibunya Milan. Mereka benar-benar terlihat akrab."Terus terang saya masih belum percaya kalau ini teh beneran nyata. Soalnya tadi waktu dikasih tahu ada tamu, saya baru saja lelap," ucap Bu Diah sambil menepuk-nepuk pipinya."Beneran atuh, Teh. Tuh lihat suami kita, duduknya mani kaya pengantin baru.""Bunda mah syirik saja. Memangnya kalian berdua juga engga? ini Kita sampe lupa sama anak-anak kita." Pak Dahlan menggeser duduk memberi tempat untuk Milan."Indah, kenalkan, ini teman Ayah namanya Pak Dahlan dan itu istrinya, Bu Dian. Kami dulu sangat dekat cuman sayang Pak Dahlan di pindah tugaskan. Pindah ke mana waktu itu, Kang?""Waktu itu kami di pindah tugaskan di daerah Kuningan Jawa-barat. Coba dulu sudah a
"Sudah, sudah, nanti saja kita bahas ini kalau sudah di rumah. Milan kan lagi nyetir nanti perhatiannya terbagi," ucap Pak Dahlan."Bunda itu greget punya anak laki-laki kok seperti ngga jantan gitu!" gerutu Bu Dian."Bukan ngga jantan, Bun. Kurang apa coba selama ini putra kita sering bawa teman wanitanya ke rumah. Iya, kan, Mil?" Pak Dahlan membela putranya."Iya. Tapi mereka pada kabur. Itu karena anakmu itu ngga tegas!""Untung ngga tegas, kalau Milan nikah dari dulu berarti kita ngga bisa besanan sama Kang Indra," jawab Pak Dahlan ngga mau kalah. "Loh, kenapa yang ribut Ayah sama Bunda, sih! Yang mau nikah siapa yang ngebet siapa?!" ucap Milan."Sekarang gini aja, kamu itu suka ngga sama Indah. Ingat kamu sudah hampir kepala tiga!" Bu Dian mulai kesal."Ian butuh waktu buat meyakinkan perasan ini. Ngga bisa buru-buru ambil kesimpulan. Bunda sabar, ya." Milan menarik nafas. Dari sekian banyak perempuan yang berusaha mendekat baru kali ini ibunya begitu antusias. Sementara wanit
Semakin jauh meninggalkan jantung kota kembang, udara semakin terasa dingin. Halimun nampak masih menutup kawasan yang banyak menghasilkan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Hamparan kebun teh dan petak-petak berbagai jenis tanaman sayuran membuat mata terasa segar. Pot dengan berbagai jenis bunga berjejer sepanjang jalan. Terutama tanaman kaktus yang beragam bentuk terlihat begitu manis. Apa lagi strawberry yang siap panen membuat siapapun yang melihatnya akan tergoda. Kalau ia punya banyak waktu mungkin sudah berhenti untuk membeli oleh-oleh buat sang Bunda. Namun saat ini ada yang lebih penting, menemui wanita yang semalam telah membuatnya hampir gila. Semalam, saat pulang dari kedai, Milan merasa malam yang begitu panjang. Sekitar tengah malam ia terbangun karena mimpi buruk dan mendapati tubuhnya bermandikan keringat. Setelah itu ia tak bisa lagi memejamkan mata. Wanita penjual sate itu terus membayangi di pelupuk mata. Bila dibandingkan dengan wanita-wanita yang
Jarak keduanya semakin dekat. Indah yang tadi begitu beringas perlahan menunduk seiring butiran bening yang menyusuri pipinya. Ia benar-benar tak sanggup menatap mata teduh pria di depannya. Melihat bahu Indah yang berguncang karena menahan isak, Milan pun merengkuh tubuh Indah ke dalam pelukannya. Tak perduli dengan kedua orang tua Indah yang berada di ambang pintu. Tangis Indah seketika pecah di dada bidang pria yang yang sedang memeluknya. Kedua orang tua Indah saling tatap. Mereka benar-benar tak mengerti. Pak Indra yang menarik nafas lega memberi isyarat pada istrinya untuk memberi ruang pada Indah dan Milan."Menangis lah. Keluarkan semua unek-unek yang ada di hatimu. Akang bersedia menjadi pendengar." Milan berbisik di telinga Indah yang kini mulai tenang. "Maaf!" Indah menengadahkan wajahnya yang basah bahkan di sudut mata matanya masih terus keluar air mata."Minta maaf untuk apa?" Milan mengusap air mata Indah dengan telunjuknya."Baju Akang basah." Indah merenggangkan