"Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng
"Ya Allah, kamu bisa masak daging sebanyak ini punya uang dari mana?" tanya Bu Aminah dengan wajah heran. "Ibu kan tahu kalau Indah kerja di pemotongan daging." jawab indah. "Masyaallah ... kamu tahu saja kalau dari kemarin Ibu pengen sekali sate. Ibu boleh ambil satu tusuk nggak?" Bu Aminah menatap wajah anaknya. Aroma sate dengan bumbu kacang yang sedang dipindahkan ke atas piring begitu menggugah selera. "Kenapa satu tusuk, Bu? Semua juga ngga apa-apa. Indah senang, kalau Ibu bisa menghabiskan semuanya." "Tapi, kalau Ayahmu tahu Ibu makan sate bisa kena marah." Bu Aminah meletakkan kembali sate yang sudah dipegangnya. "Itu kalau ada Ayah, Bu. Sekarang kan Ayah sedang pergi." "Iya, juga, ya. Mumpung Ayahmu sedang tidak ada di rumah Ibu bisa makan daging yang kamu masak. Pasti rasanya enak sekali. Kamukan pintar masak." "Ibu mau makan pakai lauk yang mana dulu? Biar Indah ambilkan?" tanya Indah sambil mengambil piring dan menyendok satu centong nasi yang masih mengepul
Indah menatap potongan kuku di tangan ibunya."Aduhh, maaf, Bu, Itu potongan kuku Indah." Indah mengambil potongan kuku dari tangan ibunya."Kok bisa potongan kukumu masuk ke dalam kuah soto?" Bu Aminah mengerutkan kening."Kemarin waktu Indah motongin daging jari Indah kena pisau." jawab Indah sambil memperlihatkan salah satu jarinya yang terbungkus kain kasa dan hansaplas."Astaghfirullah--- kok bisa, sih, Nak?""Pisaunya baru diasah, Bu, tajam sekali.""Lain kali hati-hati, Nak." Bu Aminah memegang jari Indah."Aww, sakit, Bu!" Indah meringis."Maaf, Sayang. Sudah dikasih Betadine belum? Takutnya inpeksi.""Sudah, Bu.""Ibu sudah kenyang. Soto sama rendangnya buat lauk besok saja. Ayahmu mungkin beberapa hari ngga pulang mengurus ibumu yang sedang sakit." ucap Bu Aminah sambil menutup sayur yang tersisa dengan tudung saji. "Ibu tiri, Bu! Sampai kapanpun Indah hanya punya satu Ibu!""Kita ngobrolnya sambil nonton telivisi, yuk. Ibu kangen. Sudah seminggu ngga ketemu kamu."
"Sudah! Jangan menangis apa lagi cerita sama ibumu." Danang menarik rambut Indah hingga kepalanya mendongak."Sakit, Yah, Ampun!" rintih Indah berusaha melepaskan tangan kekar ayahnya."Kalau kamu tidak diam, Ayah tidak akan ke rumah sakit. Biarkan ibumu membusuk di sana!" bentak Danang sambil menaikkan resleting celana jeans-nya."A-ayah jahat!" "Sekali lagi kamu bilang Ayah jahat. Kamu akan tahu akibatnya!""Sekarang ayah mau ke rumah sakit. Kamu jangan ikut. Istirahat saja. Ini uang jajan buat kamu." Danang mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan melemparkan ke arah wajah Indah. "Maaf kan, Ayah, Sayang! Ayah tadi khilaf, janji tidak akan mengulang lagi. Demi Tuhan!" Mendengar ucapan Danang yang penuh penyesalan, Indah semakin menenggelamkan wajah pada kedua lututnya. Berusaha meredam suara tangisnya agar tidak memicu kemarahan ayahnya. "Ayah ke rumah sakit dulu, ya. Ingat kalau kamu berani cerita tentang hari ini, bukan kamu saja yang akan kugantung tapi ibum
"Iya, Kang. Indah baru tahu kalau perempuan juga boleh menyembelih hewan.""Boleh, sayang. Selagi dia mampu dan memiliki tenaga extra.""Tapi Indah lebih baik bagian motong-motong daging dari pada menyembelih langsung. Ngga tega, Kang." Indah bergidik sambil melingkarkan sebelah tangannya pada pinggang Faiz."Terus terang, dulu pertama kali berani nyembelih hewan, Akang sambil ngebayangin motong hewan apa yang kita benci." "Sama Kang, Indah tadi ngebayangin motong leher Ayah.""Husss ... ngga boleh begitu, Sayang. Sejahat apapun perlakuan ayahmu tetap lah beliau orang yang harus kamu hormati.""Tapi tetap saja Indah benci sama Ayah." Indah menyadarkan kepalanya pada punggung suaminya."Nak, diminum kopinya nanti keburu dingin." Bu Aminah menyentuh pundak putrinya yang sedang melamun."Iya, Bu, itu tinggal ampasnya. Indah mau tidur dulu, ya." Indah menutup mulutnya yang sedang menguap."Ya sudah, istirahat lah di kamar. Ibu mau kasih makan ayam dulu di belakang." ucap Bu Aminah.***
Danang mengerakkan lehernya yang semakin kaku. Darah yang keluar terus dari dada membuat semakin kehilangan tenaga. Tapi ia masih bisa mengenali baju yang di maksud oleh putrinya. Indah benar-benar telah mempersiapkan semua dengan sangat matang termasuk baju terakhir yang digunakan oleh Faiz saat ..."M-maaf ..." Danang berusaha mengeluarkan suaranya. "Maaf? Ayah bilang maaf? Apa dengan kata maaf Kang Faiz bisa hidup kembali?""Ayah jahat! Gara-gara janda murahan itu Ayah tega menjual ginjal menantu sendiri." "Ayah heran mengapa Indah tahu semuanya?"Indah mengguncang bahu Danang yang semakin lemah. Andai belati itu menikam tepat di bagian jantungnya mungkin ia tak akan merasakan rasa sakit yang menyiksa. Putrinya itu seperti sengaja ingin membuat ia mati perlahan dengan rasa sakit."Ayah tahu, gara-gara sejak kecil aku dipaksa minum obat pencegah kehamilan, kini rahimku kering. Padahal Ibu ingin sekali punya cucu," bisik Indah di telinga ayahnya. "Mengapa Ayah jahat sama Indah
Tepat di usia dua puluh dua tahun, Indah berkenalan dengan seorang pemuda yang berasal dari kampung sebelah."Sendirian saja, Neng?" Indah yang sedang duduk melepaskan penat dikejutkan oleh kedatangan seorang pria."Jangan takut. Saya bukan orang jahat," ucap pria itu saat melihat Indah hendak beranjak dari duduknya."Kenalkan, namaku Faiz. Aku dari kampung sebelah. Neng Indah sendirian saja?"Mata Indah menatap dua ikat jerami yang dibawa pria tersebut. Ia heran mengapa dia tahu namanya."Aku tahu nama kamu dari teman-teman. Kita juga pernah satu sekolah cuman aku lebih dulu lulus." Kamu haus ngga, Neng?" "Kalau haus kita minum air kelapa muda, yuk!" Indah menggelengkan kepala. Sejak tadi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ini kali pertama dirinya berhadapan langsung dengan orang asing.Faiz mengambil dua buah kelapa yang masih berwana hijau dari kolong gubuk. Dengan cekatan ia memotong bagian ujung kelapa."Satu buat kamu dan satu buat aku." Faiz menyodorkan kelapa mud
"Yang namanya judi itu ngga ada untungnya, Nak. Baik itu judi biasa atau judi online. Nama dan caranya saja yang berbeda tapi tetap tujuannya sama dan dampaknya juga sama.""Lihat Ayah mu? Apa ada perubahan dalam hidupnya? Ngga ada, kan?""Itu karena Ayah sambil main perempuan, Bu," jawab Indah."Nah, itulah salah satu dampaknya. Uang yang didapat dari hasil judi itu panas. Makanya agama kita melarang judi dan minum-minuman keras.""Ibu kok kuat dan masih bertahan hidup dengan ayah yang total?""Total? Maksudnya?""Iya, total main perempuan, total judi, total mabuk-mabukan belum lagi ringan tangan." Indah menekan suaranya."Itu sudah takdir Ibu, Nak. Yang penting nasibmu tidak seperti ibu.""Andai dulu Ibu tak dibutakan oleh cinta mungkin kamu tak ikut susah. Jika suatu saat kamu dipertemukan lagi dengan laki-laki, yang harus kamu lihat adalah sholatnya karena itu akan menjadi pondasi dalam rumah tanggamu." Bu Aminah menatap Indah dan melanjutkan kembali obrolannya."Ibu semakin miris