Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih.
"Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu.
"Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih.
"Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"
Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali.
"Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.
Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas.
"Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Anette mengikuti permintaan Nikki? Biasanya, emosi lelaki berbeda dengan perempuan."
"Kuharap Nikki bisa menjalani apa yang dia katakan. Dia memintaku untuk menyuruh Anette. Jika tidak, kupanggil pengusir hantu saja."
Ketika kami sedang asik berbincang, tiba-tiba terdengar suara teriakan Anette dari kamar. Kami dengan cepat berlari ke kamar, tapi pintu terkunci. Entah Anette yang mengunci atau Nikki, karena aku merasa ada hawa dingin.
Di saat William berhasil mendobrak pintu, aku terkejut karena Nikki melilitkan kabel lampu meja ke leher Anette.
"Kyambilkan pisau." Aku bergegas pergi ke dapur untuk mengambil pisau, lalu kembali lagi ke kamar.
William langsung memotong kabel tersebut dengan sekuat tenaga.
Aku bernapas lega, karena Anette masih bisa bernapas. Jika dia tewas di tangan Nikki, mungkin semuanya tidak akan pernah berakhir.
"Nikki?" Aku sengaja memanggilnya untuk mengajak bicara. "Jangan pernah lakukan itu lagi! Percuma aku membantu!" Aku tidak peduli, mereka melihatku, ketika aku berbicara ke segala arah.
Nikki menghilang setelah William berhasil memotong kabel.
"Sekarang Anette sedang melakukan semua yang kamu inginkan! Jangan mempersulit semuanya!"
"Kapan?" Tiba-tiba Nikki muncul di hadapanku. "Kapan Anette akan melakukan tugasnya? Kapan Anette akan mendapatkan konsekuensi?"
"Hari ini. Sekarang juga. Bersabarlah," balasku sambil menatap matanya yang berapi-api.
Benar kata William, tidak semua emosi lelaki itu mudah diatur.
"Baik, akan kutunggu. Ini hari terakhir kamu dan Anette menyelesaikan semuanya." Setelah berbicara seperti itu, Nikki menghilang. Enak sekali dia, sudah menyerang tiba-tiba sekarang menghilang.
"Kita harus cepat. Aku akan membantumu, Anette," ajakku pada mereka berdua.
***
Anette memegang lenganku dengan erat. Sepertinya akan ada bekas pegangan dilenganku nanti.
"Aku takut. Baru hari ini aku bisa datang setelah kematian Nikki. Bagaimana jika orang tua Nikki tidak ingin memaafkanku? Bagaimana jika Nikki juga tidak ingin memaafkanku?"
"Anette, kamu harus tenang. Tarik napas, buang. Kami di sini berusaha membantu." Aku membantu mengelus tangannya yang dingin.
Pintu rumah terbuka, Nyonya Julie yang melihat Anette tiba-tiba menjadi kesal. Dia membentak Anette.
"Dari mana saja kamu?! Kamu sebagai pacar anakku menghilang begitu saja?!"
Aku dan William mencoba memisahkan Nyonya Julie. Untung Tuan Jones datang, dia juga langsung bantu melerai.
"Tenangkan dirimu, Julie."
"Bagaimana aku bisa tenang? Jika wanita itu peduli pada anak kita, aku tidak akan marah."
Aku setuju dengan Nyonya Julie. Hati seorang ibu pasti sangat terikat dengan anak.
"Kenapa kamu baru datang, Anette? Apa kamu ingin membunuh kami seperti kamu membunuh anak kami?" tanya Tuan Jones membuat istrinya terkejut saat menangis.
"Dia membunuh Nikki? Apa benar itu?" tanya Nyonya Julie memastikan.
"Saya punya buktinya." William memutar rekaman tadi. Selesai dengan putaran rekaman, William menyuruh Anette menjelaskan.
Sekarang waktunya Anette menjelaskan. Aku tahu sebenarnya yang membunuh Nikki adalah Marcus, tapi dia juga terlibat kasus pembunuhan.
"Sebelum aku berpacaran dengan Nikki, aku sudah bertunangan dengan Marcus. Tapi Marcus memaksaku untuk memacari anak anda hanya untuk mengambil harta. Semakin lama aku menjadi lemah akan rayuan Marcus, jadi aku menerima permintaannya ... "
Kulihat Nyonya Julie menutup mulut. Aku sangat yakin jika dia terkejut.
"Tapi kalau membunuh, bukan aku yang melakukannya. Aku hanya ... memukul kepalanya menggunakan vas bunga. Lalu, kuberi tali yang kukira untuk mengikat tangan dan kaki. Ternyata, Marcus telah mencekik Nikki dan mengikat tali itu dileher Nikki. Aku tidak tahu akan seperti itu. Aku minat maaf."
Nyonya Julie dengan sadar menampar Anette. Aku bisa mendengar suara tamparan. Sedangkan Tuan Jones menghela napas berat berkali-kali.
"Kamu penipu! Menyesal aku memberi kalian restu. Kenapa kamu melakukan itu?"
Anette menangis sambil memegang pipi. "Aku minta maaf. Aku sungguh menyesal ... "
"Aku tidak bisa memaafkanmu. Kamu harus menanggung akibatnya."
Tiba-tiba Anette berlutut pada Nyonya Julie. Dia memegangi kaki Nyonya Julie dengan erat. "Aku tahu aku salah besar. Aku akan menanggung akibatnya, tapi mohon maafkan aku. Aku membawa semua barang-barang Nikki. Aku juga tidak bisa hidup tenang setelah diteror Nikki "
"Itu bagus. Nikki pasti kecewa dengan perilakumu. Kami sebagai orang tuanya lebih kecewa lagi."
Kulihat Tuan Jones sedang menelpon. Aku tidak tahu dia menelpon siapa, tapi dia berkata, "Aku sudah menelpon polisi. Kamu harus katakan semua pada mereka."
Anette hanya mengangguk lemah. Aku merasa kasihan padanya.
Tanpa menunggu lama, mobil polisi datang. Dua orang petugas polisi keluar dari mobil dan mulai mendekati kami.
Aku jadi teringat kembali peristiwa pemburu gadis. Kuelus lengan berkali-kali.
William mengetahui aku sedang ketakutan, dia memijat pundakku dengan pelan. Kali ini, dia bisa memahami perasaan perempuan.
Tanpa adanya orang tua yang mendukung, mau atau tidak, Anette harus menginap di jeruji besi. Semoga dia memiliki masa depan yang cerah.
"Zoe, saya berterima kasih telah membantu. Ibumu pasti senang melihat anaknya bisa membantu orang lain."
Tuan Jones, jangan memujiku seperti itu.
"Aku juga berterima kasih. Aku tidak tahu apa yang bisa kuberikan padamu."
"Tidak masalah, Nyonya Julie. Aku melakukan ini dengan senang." Sebenarnya terpaksa, karena aku diancam anakmu. Seandainya aku bisa mengatakan itu.
Sebelum pergi dari rumah Keluarga Jones, aku melihat ada Nikki dari dalam rumah. Pintunya terbuka lebar, jadi aku bisa melihat isi rumah. Dia meminta untuk berbicara empat mata. Dan sekarang aku harus berbohong dulu.
"Nyonya Julie, apa aku bisa menggunakan kamar mandi?"
"Tentu," jawabnya sambil tersenyum. "Biar kuantar."
Aku langsung mengunci pintu kamar mandi. Sedikit terkejut, karena melihat kemunculan Nikki di depan mata secara tiba-tiba.
"Jangan mengejutkanku, Nikki Jones."
"Maaf," balasnya sambil terkekeh. "Terima kasih, telah membuat Anette mengakui kesalahannya ... "
"Dan?" Aku sengaja berkata seperti itu supaya dia mengingat kesalahannya juga.
"Dan aku minta maaf telah apa yang kulakukan padamu, juga Anette. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Lihat cahaya terang di luar rumah? Aku akan pergi ke sana."
Aku tersenyum tanda menerima semua ucapannya sambil mengangguk pelan.
"Ibu kita berteman, tapi kita tidak berteman, bertemu saja tidak," ujarku sambil terkekeh. "Apakah sampai di sini saja pertemanan kita?"
"Kamu ... menganggapku teman?"
"Tentu."
Dia ternyum lebar seakan ada rasa senang. "Kita akan berteman selamanya. Walaupun aku tidak ada, aku akan tetap mendukungmu. Dan teman lelakimu itu, aku juga akan mendukungnya. Kalian bagus menjadi kelompok. Semoga kalian berdua bisa bersama selamanya."
"Ya, terima kasih," balasku juga sambil tersenyum.
Aku melihat Nikki mulai menghilang dari hadapan dengan senyum bahagia. Tunggu, apa yang dia katakan tadi? Aku dan William selamanya?
"Zoe, kamu sedang buang air besar?"
Aku menepuk dahi. Pertanyaan William membuat malu saja. Bagaimana jika Keluarga Jones mendengar? Mau ditaruh di mana wajahku?
"Aku sudah selesai. Ayo, pulang," ajakku sambil cemberut. "Nyonya Julie, Tuan Jones, kami permisi dulu," ijinku sopan.
"Akan kami antar ke rumahmu. Sekalian, kami ingin pergi ke kantor polisi untuk mengurus semua," ajak Tuan Jones.
Aku menatap William yang juga menatapku. Tumpangan gratis, kenapa tidak? Tidak ada salahnya menumpang.
Hari baru, wajah baru. Karena kesulitan tidur, wajah ini terlihat buruk. Mata seperti mata panda. Rasanya ingin kupecahkan kaca di depan."Zoe, kalau kamu nanti pulang sekolah, tapi rumah masih dikunci, kabari Ibu ya.""Hm? Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyaku sambil menoleh pada ibu."Tante Grace mengajak Ibu ke rumah temannya yang baru saja menjadi pengantin baru. Keluarga Thompson. Mereka bingung bagaimana cara menaruh barang-barang yang nyaman dilihat. Nanti Ibu akan dijemput Tante Grace."Ugh ... Tante Grace yang menyebalkan. "Salam untuk Keluarga Thompson.""Kamu tidak ingin memberi salam pada Tante Grace?" tanya Ibu sambil memberiku bekal makan."Tante Grace tidak akan berubah. Aku berangkat dulu ya, Bu."Aku lupa memberi tahu, jika ibu mempunyai ahli, yaitu mendekorasi ruangan. Makanya, Tante Grace memanggil ibu. Semua dekorasi di rumah juga ibu yang mengu
"Kakak?"Huh? Kakak? Aku menoleh ke belakang. Di sana ada anak perempuan dengan wajah pucat dan pakaian yang basah. Dia terlihat seperti berumur 6 tahun."Kakak sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah polos.Aku mendekatinya, lalu jongkok supaya tinggi kami sama."Dan siapa mereka semua?""Ada ibuku, tanteku dan kedua orang tuamu," jawabku dengan santai.Dia memiringkan kepala seperti orang bigung. Lucu sekali. Aku jadi menginginkan seorang adik."Orang tuaku? Orang tuaku sudah pergi dan mereka tidak kembali. Mereka bukan orang tuaku. Aku tidak kenal mereka."Lantas, aku langsung bingung. Jika Keluarga Thompson bukan orang tuanya, lalu anak ini siapa? Kenapa bisa ada di sini?"Namaku Isabelle Brooks. Aku sudah berada di sini sebelum mereka datang."Brooks? Entah kenapa, aku seperti pernah dengar marga itu. Aku te
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Setelah kejadian kemarin, David sudah merasa tenang dan ceria. Beban akan rasa bersalahnya sudah menghilang. Dia selalu pergi dan pulang sekolah bersama teman sekelas."Mendengar ceritamu kemarin, aku jadi tidak ingin membiarkan adikku sendirian." William membuka suara, ketika aku sudah tidak memperhatikan David lagi."Itu sudah pasti. Aku jadi ingin memiliki adik," ujarku sambil tersenyum."Wildan bisa menjadi adikmu," balas William membuatku menoleh dan bersorak bahagia.Kelas yang biasa kami tempati sekarang harus ditutup untuk sementara. Guru bilang, kelas kami sedang dipakai untuk urusan penting. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkan itu. Jadi, kami harus pindah ke lantai tiga untuk bergabung dengan kelas lain. Untung pelajarannya sama."Rasanya seperti menjadi murid baru, ya?" tanya William sambil terkekeh. "Aku tidak pernah ke lantai tiga sebelumnya. Untuk apa ke sana? Pemandangannya ju
"Kamu pegang ponselku, biar aku yang pegang kameramu."Aku sengaja memberikan ponsel pada Karen. Kalau William memberi kabar, dia yang membaca."Entah kenapa aku tidak yakin, Zoe." William menggelengkan kepala berkali-kali. Dia memang tidak mengatakan setuju tadi, tapi dia tidak bisa meninggalkanku sendirian. Ma-maksudku, aku juga butuh lelaki untuk pelindung."Ini tidak berbahaya. Kamu cukup menjadi pengawas saja," balasku mulai masuk bersama Karen. "Kami tidak akan lama."Aku mulai mengatur napas untuk menenangkan diri. Di sebalah, ada Karen yang menggandeng lengan kiriku. Kamera berada ditangan kananku, supaya dia bisa melihat juga."Dingin, ya?" tanya Karen sambil melihat ke arah lampu."Kamu juga merasakannya?" tanyaku balik, tanpa menjawab karena sudah terbiasa."Kadang-kadang," jawabnya singkat.Aku dan Karen sudah berdiri di depan kamar ma
Aku bersama William kembali memasuki kelas kemarin, karena kelas kami masih ditutup. Tapi sebelum itu, aku ijin pada William untuk ke kamar mandi lagi.Walaupun kamar mandi perempuan bukanlah tempat Stephanie dibunuh, tapi dia pasti bisa memberi petunjuk lain. Misal, muncul tulisan berembun dikaca atau membisikku sesuatu, seperti saat dia marah pada Karen.Sekarang aku berdiri di depan kaca. Berharap Stephanie bisa memberi petunjuk."Baiklah Stephanie, aku tidak punya banyak waktu. Kamu harus memberiku petunjuk lain. Aku tidak bisa diam tanpa petunjuk. Aku temukan apa yang kamu maksud, yaitu nama. Lalu, apa selanjutnya?"Lampu kamar mandi pun berkedip. Berikan aku petunjuk, Stephanie.Apa yang kuharapkan sirna. Lampu kembali normal, ketika ada beberapa murid perempuan masuk ke kamar mandi. Ini bukan waktu yang tepat."Bagaimana?" William bertanya padaku, saat aku keluar dari kam
"Apa?!"Karen sungguh terkejut mendengar penjelasanku, sampai beberapa murid kelas menoleh pada kami."Rekaman ini buktinya. Mereka akan mengajakmu ke kamar mandi, jika aku tidak berhenti. Tapi, jika aku berhenti, pasti Stephanie juga tidak akan membiarkanku diam," ujarku menjadi dilema.William terlihat marah. Dia tidak percaya akan menjadi sangat parah. "Kita harus melapor sekarang! Ini sudah tidak bisa dibiarkan!""Aku tidak yakin rekaman ini cukup untuk dijadikan bukti. Kita harus mencari saksi. Danny! Kita harus mencarinya nanti! Dan Karen, jika Kevin mengajakmu untuk ikut, jangan terima."Karen mengangguk setuju.Masalahnya sekarang, di mana Danny berada?Jika mereka bisa membuat rencana, kami pasti bisa juga.Bel pulang sekolah berbunyi, dengan cepat kami bertiga keluar dari kelas. Sebelum Pak Clint dan Kevin menemukan Danny, kami harus men
Hari ini, aku tidak akan tinggal di rumah dengan menghabiskan banyak waktu hanya untuk tidur saja.Ibu mengajakku keluar kota selama empat hari, karena ada pelanggan yang menelpon untuk datang. Ingin meminta pendapat tentang dekorasi rumah.Di tengah jalan, kami juga sempat berhenti untuk mengisi bensin mobil, dan membeli cemilan serta minuman.Rasanya, ingin seperti ini terus, tapi kalau terlalu lama libur sekolah juga tidak menyenangkan.Kali ini, pelanggan yang kita temui memiliki rumah yang lumayan besar, jika dilihat dari luar. Jadi penasaran, isi rumahnya pasti luas sekali.Seorang wanita berambut pirang terang keluar dengan senyum bahagia. "Selamat datang. Maaf, jika aku menyulitkanmu sampai datang ke sini," ujarnya merasa tidak enak."Tidak masalah, Nyonya Ginger," balas ibu dengan tenang."Panggil saja Maddie, Maddie Ginger," balas Maddie.