Aku membuka kedua mata dengan berat. Rasanya tidak ingin bangun, tapi sekolah harus tetap berlanjut.
Tunggu, ini bukan kamarku. Aku di mana? Aku diculik? Aku melihat sekeliling kamar dan sungguh, ini bukan kamarku. Ini seperti kamar laki-laki.
Terdapat foto di sana. Satu pria dan satu wanita. Aku baru sadar. Pria difoto ini adalah Nikki. Tampan, tapi mengingat dia pernah mencekik, membuatku tidak menyukainya.
Biar kutebak, wanita ini pasti Anette. Tidak buruk juga. Pakaiannya sangat mewah dengan perhiasan serba berlian. Pasti dibelikan oleh Nikki.
"Kenapa begitu?"
Eh? Suara orang? Kupikir hanya aku di sini. Kutaruh kembali foto itu dan keluar dari kamar.
Aku bisa melihat ada tiga orang di bawah. Ya, aku di lantai dua. Salah satunya wanita dan aku yakin dia adalah Anette, lalu ada dua pria. Pasti salah satunya Nikki.
"Apa alasan kita harus berpisah?"
Oh, aku seperti sedang menonton drama lagi. Hanya saja ini terlihat berbeda.
"Aku sudah mempunyai pria lain dan kami sudah bertunangan sekarang." Ya, Anette. Kamu memang ular.
"Siapa pria itu? Siapa tunanganmu?"
"Aku, Nikki. Aku tunangannya."
Aku terkejut mendengar pria itu berbicara. Pria yang memakai kaus hitam, yang berdiri di sebelah Nikki bilang bahwa dia tunangan Anette. Aku harus melihat wajahnya. Ah sial, tidak terlihat. Dan rumah jenis apa ini yang tidak memiliki tangga?
"Marcus? Kamu tidak bercanda, 'kan? Hey, kita bersahabat selama enam tahun."
"Kali ini aku tidak ingin berbohong lagi. Anette adalah tunanganku dan aku menyuruhnya untuk mendekatimu hanya untuk mengambil hartamu."
Pantas saja saat aku menolak permintaan Nikki, dia terlihat sangat marah. Tidak ada yang membantunya sama sekali.
Teman bisa menusuk dari belakang dan sahabat juga bisa menikung. Aku harus berhati-hati.
"Sialan kamu, Marcus!"
Aku melihat Nikki meninju Marcus terlebih dahulu dan itu membuat Marcus juga ikut emosi. Bahkan Anette mengambil vas bunga sekarang. Aku harus bagaimana? Aku ingin turun! Berikan tangganya astaga!
Tidak bisa dipercaya, Anette memukul kepala belakang Nikki menggunakan vas bunga sampai pecah. Dan itu membuat Marcus bisa membalas Nikki dengan mencekik leher sahabatnya.
Pria seperti itu tidak bisa dipanggil sahabat lagi.
"Hentikan!" Mereka tidak dengar aku berteriak.
Setelah itu aku melihat Anette memberikan tali itu pada Marcus. Marcus mengikat leher Nikki dengan tali.
Baiklah, aku akan lompat dari lantai dua. Tidak peduli aku bisa hidup di dunia nyata atau tidak.
Ternyata tidak. Aku tidak bisa membantu Nikki dimimpiku. Napasku tidak beraturan dan tidurku terganggu. Dua melawan satu, tidak adil.
Kedua orang itu memang tidak bisa dimaafkan. Aku harus memasukkan mereka ke penjara secepat mungkin dan memberi tahu William.
***
Ocehan William tidak kudengar. Aku sedang asik melihat orang-orang yang tidak berhenti berlalu lalang di jalan.
Seketika aku merasakan lagi hawa dingin, tapi aku tidak melihat keberadaan Nikki.
"Minggir!"
Aku melihat ada mobil yang tidak berhenti saat lampu hijau sudah berganti menjadi merah. Sepertinya rem mobil itu rusak. Tapi yang kulihat ada Nikki yang duduk di sebelah pengemudi itu sambil tersenyum jahat. Dia pasti ingin melakukan sesuatu, tapi pada siapa?
Ada wanita yang membawa banyak belanjaan sedang sibuk dengan ponselnya.
Benarkah Nikki ingin mencelakai wanita itu? Entahlah. Aku dengan cepat langsung mengejar wanita itu untuk menjauh dari serangan Nikki.
Senang rasanya bisa menghindar dari kecelakaan yang disengaja.
"Zoe! Kamu baik-baik saja?"
Aku lupa, jika aku bersama William. Dia pasti akan memarahiku. Akhir-akhir ini dia tidak suka sekali ada orang yang menggangguku.
"Kalian ini apa-apaan? Ponselku jadi rusak."
Wanita ini tidak tahu terima kasih.
"Kamu mementingkan ponsel dari pada nyawa sendiri? Tidak lihatkah, jika temanku menyelamatkan nyawamu dari mobil yang hampir menabrakmu?"
William memarahi wanita itu di depan banyak orang. Dia memang tidak mengerti cara berhadapan dengan orang yang lebih tua.
Tunggu, sepertinya aku pernah melihat wajah wanita itu. Rasanya tidak asing. Jangan-jangan ...
"Anette?"
Wanita itu mulai menatapku bingung. Sepertinya dia benar Anette. Pantas saja Nikki sengaja ingin mencelakainya.
"Dari mana kamu tahu namaku?"
"Ikut kami sebentar. Kami ingin bertanya sesuatu padamu dan ini sangat penting," ajakku sopan.
"Kalian ganti dulu ponselku, baru aku ikut dengan kalian."
Dia terlalu mencintai ponselnya dari pada nyawa sendiri. Seharusnya aku tidak menyelamatkanmu tadi.
"Aku yang ganti. Sekarang ikut kami." William menarik paksa Anette dari hadapan banyak orang.
Belanjaan Anette yang ditinggal kubawa semua, dari pada dia meminta ganti rugi lagi. Nikki memacari wanita yang gila akan harta.
"Lepas! Aku bisa laporkan kalian berdua karena pemaksaan."
"Kami juga bisa melaporkanmu karena pembunuhan berencana."
Balasan ancaman William mampu membuat Anette terdiam. Hebat, Will. Kali ini aku mendukungmu.
"Jadi begini Anette ... apa kamu mengenal Nikki Jones?" Aku sengaja bertanya seperti itu supaya bisa melihat apakah dia berbohong atau tidak.
"Aku tidak kenal," jawabnya angkuh sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Dia berbohong. Kertas gambaran wajahnya aku bawa dan kutunjukkan padanya. "Kamu tahu kenapa aku bisa tahu wajahmu? Aku menggambar wajahmu tiba-tiba dan terdapat inisial A dan M. Mungkin saja M ini adalah nama belakangmu atau... tunanganmu?"
"Berhentilah berbohong. Kamu menelan ludah." William menangkap basah Anette yang mulai ketakutan.
"Nikki adalah anak dari teman ibuku. Dan alasan lain bagaimana aku tahu kamu, karena Nikki sendiri datang padaku. Arwahnya mendatangiku dan memaksaku."
Wajah Anette menunduk. Entah dia merasa makin takut atau menyesal. Tubuhnya terlihat sangat gemetar.
"Hey, berikan jaketmu padanya," pintaku pada William.
"Jaketku? Tidak. Jaketmu saja. Tidak sudi aku meminjamkan jaket pada orang yang mementingkan harta dari pada nyawa."
Mulai. Dari pada menghabiskan waktuku untuk berdebat, lebih baik aku berikan saja jaketku. William memang tidak ada bedanya dengan Anette. Sama-sama keras kepala.
Setelah aku memakaikan Anette jaket, tiba-tiba dia memegang tanganku dengan kencang. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Kumohon bantu aku. Aku yakin kamu bisa membantuku."
***
Dan sekarang, kami bertiga sudah berada di tempat makan sederhana. Hening tanpa ada pelanggan lain.
"Kamu ingin meminta bantuan temanku? Tapi kamu bisa kita percaya tidak?"
Aku menyikut lengan William dengan kencang. "Pertanyaan macam apa itu? Tidak lihat dia sedang menangis?"
"Kamu sudah lihat perilakunya, bukan? Keras kepala."
"Sama seperti kamu."
"Aku ... "
Dengan cepat aku menoleh Anette. William lama-lama membuatku muak.
"Akhir-akhir ini aku seperti diteror sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. Aku anggap yang menerorku adalah orang yang ingin membalas dendam, tapi aku tidak berpikir jika itu adalah Nikki. Nikki sudah tiada. Dia tidak akan mengganggu-"
"Sebenarnya ... Nikki yang mengganggumu. Dia bilang jika aku tidak menemukanmu, maka aku tidak akan hidup dengan tenang. Aku yakin kamu ingin hidup tenang sama sepertiku. Jadi, bisa kita kerja sama?"
Seharusnya bisa. Katakanlah iya.
Anette menganggukan kepala dengan pelan.
"Jawab dulu pertanyaanku. Apa benar kamu dan tunanganmu membunuh Nikki?" Kenapa William mendadak seperti Detektif?
"A-aku hanya memukul kepalanya dengan vas bunga-"
"Lalu, kenapa kamu memberi Marcus tali? Nama tunanganmu Marcus, 'kan?"
"Iya! Iya! Namanya Marcus!" teriak Anette sambil berdiri. Air matanya semakin keluar dengan deras. "Aku memberinya tali, karena ... aku pikir Marcus akan mengikat tangan dan kaki Nikki. Tapi, dia malah mencekiknya ... dan mengikat leher Nikki seakan Nikki gantung diri."
"Apa kalian berdua, kamu dan Marcus, berencana untuk mengambil harta Nikki? Jadi, kamu mau saja disuruh Marcus untuk menjadi pacar Nikki?"
Anette menganggukkan kepala lagi.
William mematikan rekaman diponsel. Oh, ternyata dia mendadak jadi detektif karena ingin merekam pengakuan Anette.
"Lalu di mana Marcus?"
"Marcus sudah meninggal. Saat kami kabur, tiba-tiba penyakitnya kambuh. Ternyata dia memiliki sakit jantung."
Karma memang ada. Tuhan memang adil akan perlakukan manusia.
"Apa kamu masih punya barang-barang dari Nikki?" Giliranku bertanya.
"Ya, ada beberapa. Sisanya aku buang, karena sudah hancur dan rusak," jawab Anette dengan cepat. "Apa yang Nikki inginkan dariku? Katakan. Aku tidak ingin di teror terus-menerus."
Pegangan tangannya pada tanganku sangat kuat. Dia sungguh-sungguh ingin berhenti dari siksaan Nikki.
"Nikki bilang, dia ingin kamu kembalikan semua barang-barang yang dia berikan padamu pada keluarganya, akui kesalahanmu dan terimalah konsekuensi yang sudah kamu lakukan. Atau kita berdua tidak akan hidup dengan tenang."
"Tapi, bagaimana dengan barang-barang yang sudah kubuang?"
"Nikki pasti akan mengerti. Nanti aku yang bilang padanya."
"Kamu bisa melihat Nikki? Nikki masih hidup?"
Ini kejadian normal. Pertanyaan yang sudah menjadi makananku setiap hari. Bosan juga aku harus menjawab pertanyaan itu.
"Nikki sudah meninggal, tapi aku bisa melihat arwahnya."
"Dari pada tunggu lama, kita selesaikan saja sekarang. Lebih cepat lebih baik." William membuatku dan Anette kembali membicarakan topik awal, tentang ponsel.
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Hari baru, wajah baru. Karena kesulitan tidur, wajah ini terlihat buruk. Mata seperti mata panda. Rasanya ingin kupecahkan kaca di depan."Zoe, kalau kamu nanti pulang sekolah, tapi rumah masih dikunci, kabari Ibu ya.""Hm? Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyaku sambil menoleh pada ibu."Tante Grace mengajak Ibu ke rumah temannya yang baru saja menjadi pengantin baru. Keluarga Thompson. Mereka bingung bagaimana cara menaruh barang-barang yang nyaman dilihat. Nanti Ibu akan dijemput Tante Grace."Ugh ... Tante Grace yang menyebalkan. "Salam untuk Keluarga Thompson.""Kamu tidak ingin memberi salam pada Tante Grace?" tanya Ibu sambil memberiku bekal makan."Tante Grace tidak akan berubah. Aku berangkat dulu ya, Bu."Aku lupa memberi tahu, jika ibu mempunyai ahli, yaitu mendekorasi ruangan. Makanya, Tante Grace memanggil ibu. Semua dekorasi di rumah juga ibu yang mengu
"Kakak?"Huh? Kakak? Aku menoleh ke belakang. Di sana ada anak perempuan dengan wajah pucat dan pakaian yang basah. Dia terlihat seperti berumur 6 tahun."Kakak sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah polos.Aku mendekatinya, lalu jongkok supaya tinggi kami sama."Dan siapa mereka semua?""Ada ibuku, tanteku dan kedua orang tuamu," jawabku dengan santai.Dia memiringkan kepala seperti orang bigung. Lucu sekali. Aku jadi menginginkan seorang adik."Orang tuaku? Orang tuaku sudah pergi dan mereka tidak kembali. Mereka bukan orang tuaku. Aku tidak kenal mereka."Lantas, aku langsung bingung. Jika Keluarga Thompson bukan orang tuanya, lalu anak ini siapa? Kenapa bisa ada di sini?"Namaku Isabelle Brooks. Aku sudah berada di sini sebelum mereka datang."Brooks? Entah kenapa, aku seperti pernah dengar marga itu. Aku te
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Setelah kejadian kemarin, David sudah merasa tenang dan ceria. Beban akan rasa bersalahnya sudah menghilang. Dia selalu pergi dan pulang sekolah bersama teman sekelas."Mendengar ceritamu kemarin, aku jadi tidak ingin membiarkan adikku sendirian." William membuka suara, ketika aku sudah tidak memperhatikan David lagi."Itu sudah pasti. Aku jadi ingin memiliki adik," ujarku sambil tersenyum."Wildan bisa menjadi adikmu," balas William membuatku menoleh dan bersorak bahagia.Kelas yang biasa kami tempati sekarang harus ditutup untuk sementara. Guru bilang, kelas kami sedang dipakai untuk urusan penting. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkan itu. Jadi, kami harus pindah ke lantai tiga untuk bergabung dengan kelas lain. Untung pelajarannya sama."Rasanya seperti menjadi murid baru, ya?" tanya William sambil terkekeh. "Aku tidak pernah ke lantai tiga sebelumnya. Untuk apa ke sana? Pemandangannya ju
"Kamu pegang ponselku, biar aku yang pegang kameramu."Aku sengaja memberikan ponsel pada Karen. Kalau William memberi kabar, dia yang membaca."Entah kenapa aku tidak yakin, Zoe." William menggelengkan kepala berkali-kali. Dia memang tidak mengatakan setuju tadi, tapi dia tidak bisa meninggalkanku sendirian. Ma-maksudku, aku juga butuh lelaki untuk pelindung."Ini tidak berbahaya. Kamu cukup menjadi pengawas saja," balasku mulai masuk bersama Karen. "Kami tidak akan lama."Aku mulai mengatur napas untuk menenangkan diri. Di sebalah, ada Karen yang menggandeng lengan kiriku. Kamera berada ditangan kananku, supaya dia bisa melihat juga."Dingin, ya?" tanya Karen sambil melihat ke arah lampu."Kamu juga merasakannya?" tanyaku balik, tanpa menjawab karena sudah terbiasa."Kadang-kadang," jawabnya singkat.Aku dan Karen sudah berdiri di depan kamar ma
Aku bersama William kembali memasuki kelas kemarin, karena kelas kami masih ditutup. Tapi sebelum itu, aku ijin pada William untuk ke kamar mandi lagi.Walaupun kamar mandi perempuan bukanlah tempat Stephanie dibunuh, tapi dia pasti bisa memberi petunjuk lain. Misal, muncul tulisan berembun dikaca atau membisikku sesuatu, seperti saat dia marah pada Karen.Sekarang aku berdiri di depan kaca. Berharap Stephanie bisa memberi petunjuk."Baiklah Stephanie, aku tidak punya banyak waktu. Kamu harus memberiku petunjuk lain. Aku tidak bisa diam tanpa petunjuk. Aku temukan apa yang kamu maksud, yaitu nama. Lalu, apa selanjutnya?"Lampu kamar mandi pun berkedip. Berikan aku petunjuk, Stephanie.Apa yang kuharapkan sirna. Lampu kembali normal, ketika ada beberapa murid perempuan masuk ke kamar mandi. Ini bukan waktu yang tepat."Bagaimana?" William bertanya padaku, saat aku keluar dari kam
"Apa?!"Karen sungguh terkejut mendengar penjelasanku, sampai beberapa murid kelas menoleh pada kami."Rekaman ini buktinya. Mereka akan mengajakmu ke kamar mandi, jika aku tidak berhenti. Tapi, jika aku berhenti, pasti Stephanie juga tidak akan membiarkanku diam," ujarku menjadi dilema.William terlihat marah. Dia tidak percaya akan menjadi sangat parah. "Kita harus melapor sekarang! Ini sudah tidak bisa dibiarkan!""Aku tidak yakin rekaman ini cukup untuk dijadikan bukti. Kita harus mencari saksi. Danny! Kita harus mencarinya nanti! Dan Karen, jika Kevin mengajakmu untuk ikut, jangan terima."Karen mengangguk setuju.Masalahnya sekarang, di mana Danny berada?Jika mereka bisa membuat rencana, kami pasti bisa juga.Bel pulang sekolah berbunyi, dengan cepat kami bertiga keluar dari kelas. Sebelum Pak Clint dan Kevin menemukan Danny, kami harus men