Dewi selalu percaya Ayahnya sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Namun sebuah busur panah tua yang diwariskan membuka rahasia lain—pesan tersembunyi, kode-kode aneh, dan bisikan: “Ayahmu tidak hilang. Dia disembunyikan.” Sejak hari itu, hidup Dewi berubah. Dari pasar Belilas hingga jalanan Pekanbaru, bayangan selalu memburu. Dua pria asing, pesan misterius di ponselnya, hingga wajah Ayah yang muncul sekilas hanya untuk menghilang lagi—semua menggiringnya pada satu kebenaran: Rizal Rahman bukan sekadar seorang ayah, tapi agen yang membawa rahasia besar. Setiap langkah membawa Dewi ke dalam pusaran konspirasi—antara proyek pembangunan negara, oligarki yang rakus, dan jaringan intelijen bawah tanah. Ia dipaksa menjadi pion, lalu perlahan sadar: dirinya adalah kunci. Di tengah pelarian bersama ibunya, Dewi harus belajar membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Sebab musuhnya tidak selalu datang dengan senjata; kadang mereka berdiri tepat di depannya, tersenyum seolah sahabat. Apakah Dewi akan berhasil menemukan Ayahnya—atau justru terjebak dalam permainan yang dirancang untuk menghancurkan keluarganya sejak awal?
View More“Ayahmu tidak hilang. Dia disembunyikan.”
Kalimat itu selalu terngiang di kepala Dewi. Entah desas-desus di warung kopi, bisikan tetangga, atau sekadar mimpi—semuanya bercampur. Yang pasti, sore itu ia kembali merasakan kekosongan yang sama. Desa Batu Taba di lereng Gunung Singgalang tampak damai, tapi bagi Dewi, ketenangan itu hanyalah selimut tipis yang menutupi rahasia kelam keluarganya. Gudang tua di belakang rumah panggung menyambutnya dengan bau kayu lapuk. Di sana tergantung busur panah usang—peninggalan terakhir Ayahnya, Rizal Rahman. “Kenapa Emak nggak pernah membuang?” gumam Dewi sambil menyentuh busur. Klik. Suara mekanis terdengar. Dari celah tersembunyi jatuh sebuah logam bundar seukuran koin, berukir pola aneh. Bersamanya, selembar kertas lusuh. Tulisan tangan membuat napas Dewi tercekat: “Jika kau membaca ini, berarti waktuku habis. Jangan percaya siapapun, bahkan darah sendiri. Cari kebenaran lewat tanda ini.” “Ayah… apa maksudmu?” bisiknya. Belum sempat mencerna, terdengar ranting patah di luar. Dua pria asing berdiri di halaman. Wajah serius, gerak-gerik kaku—jelas bukan orang kampung. Salah satunya menempelkan jari ke telinga, seakan menerima instruksi dari alat komunikasi. Tatapannya lurus ke arah rumah Dewi. Busur di tangannya terasa berat. Logam kecil itu berdenyut panas di telapak. Langkah mereka makin mendekat. Malam itu, untuk pertama kalinya, Dewi sadar—ia bukan lagi gadis biasa. Ia buru-buru masuk rumah, menyembunyikan logam dan kertas ke saku baju. Saat melangkah ke dapur, Mak Rini menoleh. “Dari mana kau? Basah kuyup begitu,” tegurnya. “Dari… kebun belakang, Mak,” jawab Dewi cepat. Tatapan ibunya tajam, seolah tahu ada yang ia sembunyikan. Tapi Mak Rini hanya mendesah. “Jangan keluyuran malam-malam. Dunia sekarang beda.” Dewi ingin bertanya soal Ayah, tapi takut. Kata-kata di kertas—bahkan darah sendiri—membuat lidahnya kelu. Malam semakin larut. Dewi menyalakan lampu kecil di kamar, mengamati logam bundar itu. Pola ukirannya berkilau tipis, seperti hidup. Kertas lusuh masih ia genggam, kalimat “bahkan darah sendiri” berulang kali ia baca. Pikirannya kacau. Bagaimana kalau pria asing tadi ada hubungannya dengan pesan ini? Bagaimana kalau Mak Rini juga tahu? Ia mencoba mengetik simbol itu di ponselnya, tapi hasil nihil. Hanya QR code biasa. Rasa frustasi membuatnya menggigit bibir. Sekitar tengah malam, suara ketukan pelan terdengar di jendela. Dewi terlanjur. Ia membuka tirai sedikit—tak ada siapa-siapa. Hanya hujan. Tapi di sela jendela, terselip kertas basah. Tangannya gemetar saat membacanya: “Kami tahu kau menemukannya. Jangan melawan.” Dewi buru-buru menyembunyikan kertas itu di bawah bantal. Jantungnya berpacu. Ada orang yang mengawasi setiap geraknya sejak ia menemukan busur. Esok paginya, pasar Belilas ramai seperti biasa. Anak-anak berlarian, pedagang berteriak. Dewi mencoba tenang, membeli beras dan cabai. Tapi tatapannya terus mencari. Lalu ia melihat mereka. Dua pria asing itu berdiri di kerumunan, pura-pura berbelanja, tapi mata mereka tajam, mengikuti setiap langkahnya. Dewi panik, menyelinap ke lorong sempit pasar. Tapi langkah cepat terdengar dari belakang. Mereka mengejar. Lorong buntu. Nafas Dewi tercekat. Saat bingung mencari jalan keluar, seorang lelaki tua penjual buku bekas menghampiri. “Ini titipan. Cepat bawa,” bisiknya, menyerahkan amplop tipis. “Dari siapa, Pak?” Lelaki itu menghilang begitu saja. Dengan tangan gemetar, Dewi membuka amplop. Matanya membelalak: tiket pesawat ke Seoul. Nama penumpang: R.R. “Rizal Rahman…” suara Dewi bergetar. Jeritan keras memecah suasana pasar. “Tangkap dia!” Dewi menoleh. Dua pria asing menerobos kerumunan, langsung menuju ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Dewi lari sekencang-kencangnya, menggenggam tiket itu erat. Suara gaduh pasar berubah jadi arena perburuan. Dan saat langkahnya hampir goyah di jalanan licin, Dewi tahu satu hal: hidupnya sudah tidak akan pernah sama lagi. Kerumunan pasar makin riuh. Orang-orang berteriak heran melihat Dewi berlari. Seorang pedagang sampai menjatuhkan dagangannya karena tersenggol. “Kenapa dikejar?” teriak salah satu warga, tapi Dewi tak sempat menjawab. Ia hanya fokus menjaga tiket itu tetap aman. Nafasnya tersengal ketika masuk ke gang belakang pasar. Dinding sempit berlumut, aroma anyir menusuk. Ia menempelkan tubuh ke tembok, berusaha mengatur napas. Langkah sepatu berat mendekat. Suara pria asing itu terdengar jelas. “Dia nggak mungkin jauh. Cari ke setiap lorong!” Dewi menutup mulut dengan tangan, menahan suara. Jantungnya berdegup kencang, seakan bisa terdengar sampai ke luar. Tiba-tiba, suara lain muncul di belakangnya. “Kau cari jalan keluar lewat sini.” Dewi menoleh cepat. Seorang pemuda berpakaian lusuh menunjuk pintu kayu kecil di antara kios tertutup. Ia tak mengenalnya. “Siapa kau?” tanya Dewi waspada. Pemuda itu mendesah, “Bukan waktunya tanya-tanya. Kalau kau tetap di sini, mereka bakal menemukanmu. Ayo cepat.” Ragu hanya sebentar. Dewi akhirnya mendorong pintu kayu itu dan masuk ke lorong gelap yang tembus ke jalan samping pasar. Saat ia menoleh kembali, pemuda tadi sudah menghilang. Di jalan samping, suasana lebih sepi. Dewi berlari keluar, baru berhenti setelah cukup jauh dari keramaian. Lututnya lemas, keringat bercampur dengan hujan tipis. Ia membuka amplop lagi, memastikan tiket itu nyata. Tanggal keberangkatan tertera jelas—dua hari lagi. Maskapai internasional, tujuan Incheon, Seoul. “Kenapa ke Korea… dan kenapa atas nama Ayah?” gumamnya. Semua terasa terlalu aneh. Busur rahasia, logam misterius, pesan ancaman, sekarang tiket pesawat. Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk. Dengan tangan gemetar, ia membuka. Satu kalimat pendek membuat darahnya membeku: “Kalau kau ingin tahu kebenaran Ayahmu, naiklah ke pesawat itu.” Dewi menatap layar lama, mulutnya kering. Ia bahkan tidak tahu siapa pengirim pesan. Nomornya asing, tak ada identitas. “Ini jebakan?” bisiknya. Tapi dalam hatinya, ada dorongan kuat. Ayah. Semua ini pasti berkaitan dengan Ayah. Langkah kaki mendekat lagi dari arah pasar. Dewi buru-buru menyimpan tiket ke dalam baju, lalu menunduk berjalan cepat ke arah rumah. Kali ini ia sadar, hidupnya benar-benar diawasi. Dan ia tidak bisa lagi menganggap semua hanya bayangan atau gosip. Begitu sampai di rumah, Mak Rini sudah menunggunya di beranda. Wajahnya cemas. “Kau dari mana? Orang-orang bilang kau dikejar-kejar di pasar. Apa yang terjadi, Dewi?” Dewi menelan ludah. “Nggak… nggak ada, Mak. Cuma salah paham.” Tatapan ibunya dalam, seolah mencari kebenaran. Tapi Dewi memilih diam. Ia tak bisa menceritakan tiket, logam, atau pesan ancaman. Kata-kata Ayah di surat masih terngiang: “Jangan percaya siapapun, bahkan darah sendiri.” Malam itu, Dewi duduk di kamarnya dengan jendela tertutup rapat. Tiket pesawat ia genggam erat-erat. Ia sadar satu hal: jalan yang ia pilih tidak akan mudah. Entah jebakan atau jalan menuju kebenaran, ia harus melangkah. Dan di luar rumah panggung itu, dua pria asing masih berdiri di bawah pohon. Salah satunya berbicara dingin lewat alat komunikasi: “Target sudah menerima umpan. Perintah selanjutnya?” Tiba-tiba, dari belakang pasar terdengar teriakan menggema. “Tangkap dia!” Dewi membeku. Tiket di tangannya bergetar, dan sebelum sempat berpikir, dua pria asing itu sudah menerobos kerumunan—tepat ke arahnya.“Jangan pernah percaya sepenuhnya pada siapa pun, bahkan pada bayanganmu sendiri.” Dewi mengucapkan kalimat itu dengan suara berat, seolah ungkapan itu menjadi mantra untuk mengendalikan kegelisahan yang mengoyak hatinya. Lampu ruang komando berpendar merah, memperlihatkan wajah-wajah lelah namun penuh tekad di sekelilingnya. Bunyi alarm yang baru saja padam menyisakan getaran tegang di udara, menandakan bahwa bahaya masih mengintai dari segala arah. Di sudut ruangan, Rizal mengutak-atik perangkat hologram, mencoba mengekstrak data dari dokumen yang belum mereka selesaikan. Wajahnya menegang, matanya terpaku pada grafik kompleks yang berputar di depan layar. “Ini bukan hanya soal pengkhianatan kecil atau kesalahan operasional,” katanya pelan, “ini perang skala besar—serangan yang datang dari dalam dan luar, semua terkoordinasi dengan rapi.” Damar berjalan mondar-mandir, suaranya serak namun penuh urgensi. “Kalau ada pengkhianat, kita tidak bisa membiarkannya berjalan begitu saja. K
“Ini bukan tentang kita lagi, Dewi. Ini tentang masa depan bangsa yang sedang bertaruh,” suara Rizal bergetar, menembus keheningan ruang bawah tanah yang remang. Dewi menatap tajam ke arahnya, mata mereka bertemu dalam keseriusan yang sulit diungkapkan kata-kata. Di luar dinding beton itu, suara langkah dan gemericik hujan membuat malam semakin kelam, seakan alam pun menyesuaikan dirinya dengan ketegangan yang menggumpal. “Kau yakin kita siap?” tanya Dewi pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Karena sekali kita mulai, tidak akan ada jalan kembali.” Rizal mengangguk, menggenggam tangan Dewi dengan erat. “Sudah terlalu lama kita bermain dalam bayang-bayang. Waktunya menerangi kegelapan.” Lampu-lampu tanda bahaya berkedip, mendapatkan ketenangan sebelum badai. Dari layar hologram, peta jaringan konspirasi membentang luas; aliran dana gelap, tokoh-tokoh tak terlihat, dan jebakan-jebakan yang sudah disiapkan. Dewi melangkah ke jendela kecil yang memperlihatkan kota yang tertutup aw
Suara pintu besi terkunci rapat meninggalkan gema yang mendalam di ruang sempit itu. Dewi dan timnya berdiri dalam hening penuh ketegangan, napas mereka saling bertaut dalam irama yang sama—antara perjuangan dan ketakutan. Di balik layar monitor yang terus menampilkan wajah Dewi dengan label ‘Target Utama’, mereka sadar bahwa satu langkah salah bisa menghancurkan semuanya. “Sekarang, kita benar-benar mulai,” ujar Dewi pelan, matanya berkilat dengan tekad kuat. “Pengkhianatan ada lebih dekat dari yang kita duga, dan kita harus temukan sebelum terlambat.” Rani membuka file di laptopnya, mencoba memindai data dan pola komunikasi untuk mencari jejak mata-mata. “Ada sinyal aneh dalam jaringan kita yang sama sekali tidak bisa dijelaskan. Seseorang sengaja mengaburkan informasi dan mengalihkan perhatian.” Damar mengangguk, “Dia bermain di medan ini sejak lama. Kita harus belajar bermain lebih cerdik.” Ketika mereka membahas langkah berikutnya, pintu ruangan bergetar perlahan, suara l
“Tidak semua yang kau anggap teman, adalah penyelamat. Kadang, mereka adalah pembunuh dalam selimut,” suara berat itu berbisik di telinga Dewi saat ia berdiri dalam ruang gelap, dikelilingi bayangan yang menyatu dengan kegelapan malam. Dewi menatap tajam ke arah sosok yang baru saja muncul dari balik tirai, matanya menangkap keraguan dan pengkhianatan yang lama tersembunyi. “Kenapa kau tidak bicara dari awal? Jika kau mengkhianati kami, aku ingin tahu alasannya,” suaranya tegas tapi bergetar oleh perasaan sakit yang mendalam. Sosok itu tersenyum dingin, menanggapi dengan lirih, “Kadang kebenaran terlalu pahit untuk diterima. Aku melakukan ini demi sesuatu yang lebih besar—yang mungkin kau belum siap mengerti.” Rani dan Damar berdiri di belakang Dewi, waspada, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. “Kita harus segera putuskan, apakah dia musuh atau sekutu,” kata Damar dengan nada serius, melihat ke arah Dewi. Dewi menarik napas panjang, menyadari bahwa perang sejati bukan h
“Kalian pikir ini akan mudah? Ini baru permulaan, dan kegelapan tak akan pernah pudar,” suara dingin itu menggema memenuhi ruang bawah tanah, membuat udara semakin berat dan menusuk ke dalam tulang. Dewi menatap ke sekeliling, dengan napas terengah dan mata yang tetap waspada, memeriksa setiap sudut yang mungkin menjadi jalan keluar. “Kita harus berpikir jernih, walau terjepit,” bisiknya kepada Damar dan Rani yang berdiri tak jauh darinya. Damar mengepalkan tangan, menatap pintu logam yang tertutup perlahan. “Ini jebakan yang tak terduga. Musuh semakin ganas dan siap untuk memusnahkan siapa saja yang menghalangi mereka.” Dewi mengangguk, “Kematian atau keadilan—ini bukan lagi soal pilihan, tapi konsekuensi dari setiap langkah kita.” Suasana mencekam menekan mereka, tapi tekad untuk melawan justru makin membara. Lampu merah yang menyala redup memantulkan bayangan panjang di dinding sempit ruang bawah tanah. Udara pengap terasa membungkus, namun Dewi dan yang lain menahan diri dari
Dewi berdiri membeku saat wajah yang selama ini dipercayainya muncul di depan matanya—senyuman tipuan yang mengerikan membayangi segala harapan yang pernah ia punya. Mata yang dulu penuh semangat kini terjerat dalam tipu daya. “Kenapa kau, Ardi? Mengapa kau berkhianat?” suaranya serak, penuh rasa kecewa dan kebingungan. Ardi menatap balik dengan dingin. “Ini bukan soal kau percaya, Dewi. Ini soal bertahan hidup dalam sistem yang keras. Aku memilih jalanku; kau juga harus memilih jalanmu.” Di luar ruangan bawah tanah, Damar dan Rani berlari mengejar sinyal terakhir yang dikirim Dewi. “Kita harus segera ke sana, sebelum terlambat!” kata Damar tegas sambil membuka peta dan memilih rute tercepat. Ardi menurunkan suara, “Aku tidak ingin kau mati di sini, Dewi. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan kau menghancurkan rencana kami. Ini lebih besar dari sekadar kita.” Dewi mengumpulkan keberanian. “Kalau kau benar-benar peduli, buktikan. Bantu aku membongkar kejahatan ini, bukan jadi bagian
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments