Share

CHAPTER 12 (Pertengkaran)

Julia terbangun dari tidur. Ia mengusap sudut matanya pelan dan melemparkan   tatapannya ke sekitar ruangan. Ia tidak menemukan keberadaan Lay di mana pun. Julia mencoba untuk turun dari ranjang perlahan dengan tangan yang bertumpu pada dinding. Ia mencoba bangkit walau awalnya sempat tergelincir karena tumpuan tangannya yang kurang kuat. Ia mendengus kesal karena dirinya harus bersusah payah hanya untuk berdiri tegap. Setelah merasa kuat, ia mulai melangkahkan tungkainya perlahan menuruni anak tangga. Namun, pada tangga ke empat, tangannya kembali  tergelincir. Ia memejamkan matanya dan bersiap untuk jatuh, tetapi bukannya merasa sakit atau terbentur, ia justru merasa rengkuhan hangat yang menahan dirinya.

Lay memegang erat pinggang Julia. Sebenarnya ia sedikit kesulitan karena pada saat bersamaan ia juga harus menjaga agar tubuhnya seimbang.

“Kau ini susah sekali ya diberitahu.” Suaranya sarat akan datar bercampur risau dan kesal.

Dalam jarak sedekat ini, Julia dapat menghirup aroma maskulin yang berasal dari tubuh Lay. Bukan aroma yang menusuk, tetapi aroma lembut yang bercampur dengan maskulin dan menurutnya aroma ini menenangkannya dirinya. Ia membuka netranya dan melihat dirinya yang berada di dalam rengkuhan Lay.

Lay membantu Julia berdiri dengan tegap seraya melayangkan tatapan risau pada Julia. “Apakah semua penduduk Venus sangat sulit untuk diberitahu?” tanyanya dengan nada meninggi.

Julia tidak memiliki keberanian untuk menjawab karena ia tahu bahwa yang ia lakukan salah, bahkan ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap Lay.

Tangan kanan Lay merangkul Julia dan tangan kirinya diselipkan di bawah lutut Julia. Kemudian Lay mengangkat Julia ke dalam rengkuhannya lalu membawanya ke kamar.

Lay menurunkan Julia secara perlahan ke atas ranjang dan menatap sungut Julia. “Ada yang ingin kau jelaskan?” Dengan ketus.

“Maaf. Aku hanya ingin mencarimu.”

Lay hembus napas keras dan duduk di samping Julia. Wajahnya sudah tidak mengeras seperti tadi. “Kau kan bisa panggil aku dari atas.” Suara terdengar melembut, walaupun tak luput dari nada dinginnya.

Julia hanya melenggut.

“Lay, apakah tadi malam kau mendengar suara tembakan?” tanya Julia tiba-tiba.

Lay mengangkat salah satu alisnya. “Iya aku dengar. Asalnya dari hutan dan tadi pagi aku baru diberitahu oleh Pak Andrew kalau ada kejadi tidak mengenakkan, jadi kita tidak masuk dulu ke dalam hutan,” jelasnya.

Manik Julia melebar mendengar fakta yang baru saja ia dengar karena jika mereka tidak diperbolehkan masuk ke dalam hutan berarti dirinya tidak bisa mencari tumbuhan anuma. Ia memejamkan matanya dan mendesah pelan.

Lay menyadari perubahan ekspresi Julia. “Kenapa kau terlihat kecewa?” Lay menatap Julia dengan dengan salah satu alis terangkat ingin tahu.

“Aku butuh tumbuhan anuma untuk penelitian,” jawab Julia dengan pelan walau malah terdengar seperti berbisik.

Lay bangkit dari ranjangnya dan terlihat acuh dengan jawaban Julia. “Nanti kau ambil saja jika sudah boleh masuk. Aku akan memasak makanan. Kau tetap di kamar.” Suara Lay terdengar tegas tak ingin dibantah.

“Ya.” Julia menjawabnya dengan singkat karena ia tak minat untuk berbicara dengan Lay. Lay benar-benar tidak bisa menenangkannya. Setidaknya jika tidak bisa membantu, beri saja kalimat penyemangat untuk dirinya. Julia mendecih kesal.

Lay membuka ponsel hologram seraya menduduk dirinya di sofa ruang tamu. Ia mencari nama Benedict di kontak nomor. Setelahnya terdengar nada dering tersambung yang digantikan dengan suara pria.

“Kau bertugas di dalam hutan?... Bantu aku, tolong carikan tumbuhan anuma… Nanti akan ku traktir sesuatu, tenang saja… Nanti aku ambil dari gerbang belakang rumah… Oke.” Usai panggilan terputus, Lay melangkah pergi ke dapur.

Julia yang suasana hatinya sedang sedikit terganggu karena seluruh jadwalnya berantakan masih setia menggerutu di atas ranjang sambil sesekali memukul ranjang yang tak bersalah lalu dirinya tanpa sadar bergumam, “Penduduk Mars memang menyebalkan. Setidaknya jika tidak bisa membantu, apa salahnya memberikan kalimat penenang. Menyebalkan sekali. Kenapa aku harus berpasangan dengannya. Sudah galak, datar, ditambah menyebalkan pula….” Julia terus mengeluarkan kalimat ejekkan kepada Lay. Tanpa ia sadari kalau Lay sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar sambil mendengarkan seluruh hinaan dari Julia yang merujuk kepada dirinya.

Lay yang dari tadi terus bersabar, akhirnya meledak dan masuk ke dalam kamar seraya memegang nampan yang berisikan makanan. Kehadirannya membuat Julia terperanjat. “Sepertinya penduduk Venus suka sekali menghina di belakang. Kenapa tidak kau hina saja aku saat aku disini? Kau benar-benar tidak tahu diri Julia. Sudah dibantu malah menghina. Urus saja dirimu sendiri, aku ingin keluar,” tukasnya dengan ketus sambil menaruh nampan yang ia bawa di atas nakas dengan kasar lalu berjalan pergi keluar kamar.

Julia yang merasa geram sontak terisak. Ia tahu jika dirinya salah. Seharunya ia tidak menghina Lay di belakang seperti tadi. Lay sudah banyak membantunya, tetapi hanya karena satu sifat jelek Lay yang memang tidak terbiasa menyemangati seseorang, ia langsung merasa Lay manusia paling mengesalkan. Wanita memang seperti itu, terlalu menggunakan perasaan sampai kadang tidak sadar kalau akal sudah termakan perasaannya dan malah melampiaskan perasaan itu kepada orang lain.

 Sekarang Julia merasa sangat bersalah karena mengatakan hal buruk seperti tadi. Seharusnya ia bisa mengontrol emosinya dan tidak melampiaskannya pada orang lain.

“Bodohnya aku,” gerutunya.

Lay keluar dari rumah dengan emosi yang meluap. Ia geram karena semua yang ia lakukan selalu salah di mata Julia, tidak peduli ia melakuka hal benar atau tidak, Julia selalu saja marah dengannya. Ia tahu dirinya selalu berbicara datar dan dingin, tetapi mau bagaimana lagi, itu adalah sifatnya dari dulu. Cara ia bicara memang seperti itu. Ada hal lain yang lebih membuatnya kesal, yaitu dirinya merasa bersalah dan ingin kembali ke dalam rumah untuk meminta maaf. Ia merasa menjadi orang bodoh.

Lay mendecakkan lidahnya dan berjalan ke belakang rumah usai mendapat pesan dari Benedict kalau tumbuhan yang ia cari sudah digantung gerbang belakang rumah. Di dalam pikirannya, ia tidak ingin mengambil tumbuhan itu dan membiarkannya saja. Ia tidak ingin membantu Julia agar wanita itu menyesal sudah berlaku tidak sopan. Namun, tungkai jenjang terus melangkah cepat ke belakang rumah. Tubuhnya melakukan hal yang tidak sejalan dengan pikirannya. Ia ingin sekali mengutuk dirinya sendiri.

Julia masih menunduk dan tersengut pelan karena Lay tidak juga kembali. Ia tidak tau harus apa, ia merasa dirinya secara mendadak menjadi payah seperti ini. Biasanya ia tidak mudah menangis, tetapi lihat sekarang. Ia seperti wanita lemah. Tangis perlahan akan berhenti. Namun, tatkala mendengar pintu bawah terbuka, ia kembali menangis tersengut-sengut tanpa suara. Ia menahan suaranya keluar dengan membekap mulutnya dengan telapak tangannya sendiri. Ia takut jika yang masuk bukanlah Lay, melainkan orang jahat. Apalagi keadaan kakinya yang seperti ini membuat dirinya semakin panik.

Lay membuka pintu rumah. Ia merasa gusar karena tidak ada suara sedikit pun dari kamar. Ia lekas berlari tergesa-gesa menaiki anak tangga seraya menggenggam seikat tumbuh anuma. Saat sampai di ambang pintu kamar, ia bernapas lega melihat Julia masih tetap di atas ranjang. Ia masih bisa melihat nampan dengan makanan lengkap yang tak tersentuh. Ia merasa semakin bersalah karena berkata kasar seperti tadi.

Lay membawa tungkai jenjangnya menghampiri Julia lalu bersimpuh di depan Julia yang terduduk di tepi ranjang sambil bertanya dengan nada lebih lembut dari biasanya. “Hei. Kau kenapa menangis?” Lay melunak kala mendapati wajah sayu Julia dengan jejak air mata.

Julia membuka matanya yang sedari tadi memejam. Ia menurunkan tangannya yang menutup mulutnya lalu bernapas lega kala mendapati Lay berada di hadapannya dengan sorot mata yang melembut. “Maafkan aku, tadi aku salah berbicara. Aku emosi jadi tidak bisa mengolah kata dengan benar.” Sambil sesekali terisak.

Lay menarik tipis ranumnya seraya menepuk pundak Julia lembut untuk menenangkan. “Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena terlalu kasar. Sudah jangan menangis lagi, aku sudah memafkanmu. Aku juga sudah ada disini bersamamu. Ini aku bawakan tumbuhan Anuma.” Sambil memberikan seikat tumbuh kepada Julia.

Julia yang sudah mulai terisak kecil, kembali menangis karena mendengar ucapan Lay karena bisa-bisa ia belaku kasar kepada orang baik di hadapannya. Ia ingin sekali memukul dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa penyesalannya, bahkan pria di hadapannya memberikan tumbuhan anuma walaupun dirinya sudah menghina dengan kasar.

Lay mengernyit cemas. “Eh, Kenapa malah nangis lagi?” Sambil tetap mengusap lembut bahu Julia.

Julia mengusap kasar air matanya. “Maafkan aku.”

Lay mengusak rambut Julia. “Tidak apa-apa. Sekarang kita makan ya. Aku sudah memasakkan makanan untukmu atau mau kuambilkan yang baru?” Seraya bangkit dan mengambil tempat disamping Julia lalu mengambil nampan di nakas.

Julia menatap Lay dengan sorot mata sayu. “Aku akan makan ini saja.” Ia lantas mengambil nampas di tangan Lay dan melahap makanan Lay. Ia tidak ingin lagi membebani pria dihadapannya.

Lay terkekeh kecil sambil menggeleng pelan. “Pelan-pelan, nanti tersedak.”

Julia hanya menganggut kecil dan melanjutkan makannya.

Julia terbangun dari tidur. Ia mengusap sudut matanya pelan dan melemparkan   tatapannya ke sekitar ruangan. Ia tidak menemukan keberadaan Lay di mana pun. Julia mencoba untuk turun dari ranjang perlahan dengan tangan yang bertumpu pada dinding. Ia mencoba bangkit walau awalnya sempat tergelincir karena tumpuan tangannya yang kurang kuat. Ia mendengus kesal karena dirinya harus bersusah payah hanya untuk berdiri tegap. Setelah merasa kuat, ia mulai melangkahkan tungkainya perlahan menuruni anak tangga. Namun, pada tangga ke empat, tangannya kembali  tergelincir. Ia memejamkan matanya dan bersiap untuk jatuh, tetapi bukannya merasa sakit atau terbentur, ia justru merasa rengkuhan hangat yang menahan dirinya.

Lay memegang erat pinggang Julia. Sebenarnya ia sedikit kesulitan karena pada saat bersamaan ia juga harus menjaga agar tubuhnya seimbang.

“Kau ini susah sekali ya diberitahu.” Suaranya sarat akan datar bercampur risau dan kesal.

Dalam jarak sedekat ini, Julia dapat menghirup aroma maskulin yang berasal dari tubuh Lay. Bukan aroma yang menusuk, tetapi aroma lembut yang bercampur dengan maskulin dan menurutnya aroma ini menenangkannya dirinya. Ia membuka netranya dan melihat dirinya yang berada di dalam rengkuhan Lay.

Lay membantu Julia berdiri dengan tegap seraya melayangkan tatapan risau pada Julia. “Apakah semua penduduk Venus sangat sulit untuk diberitahu?” tanyanya dengan nada meninggi.

Julia tidak memiliki keberanian untuk menjawab karena ia tahu bahwa yang ia lakukan salah, bahkan ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap Lay.

Tangan kanan Lay merangkul Julia dan tangan kirinya diselipkan di bawah lutut Julia. Kemudian Lay mengangkat Julia ke dalam rengkuhannya lalu membawanya ke kamar.

Lay menurunkan Julia secara perlahan ke atas ranjang dan menatap sungut Julia. “Ada yang ingin kau jelaskan?” Dengan ketus.

“Maaf. Aku hanya ingin mencarimu.”

Lay hembus napas keras dan duduk di samping Julia. Wajahnya sudah tidak mengeras seperti tadi. “Kau kan bisa panggil aku dari atas.” Suara terdengar melembut, walaupun tak luput dari nada dinginnya.

Julia hanya melenggut.

“Lay, apakah tadi malam kau mendengar suara tembakan?” tanya Julia tiba-tiba.

Lay mengangkat salah satu alisnya. “Iya aku dengar. Asalnya dari hutan dan tadi pagi aku baru diberitahu oleh Pak Andrew kalau ada kejadi tidak mengenakkan, jadi kita tidak masuk dulu ke dalam hutan,” jelasnya.

Manik Julia melebar mendengar fakta yang baru saja ia dengar karena jika mereka tidak diperbolehkan masuk ke dalam hutan berarti dirinya tidak bisa mencari tumbuhan anuma. Ia memejamkan matanya dan mendesah pelan.

Lay menyadari perubahan ekspresi Julia. “Kenapa kau terlihat kecewa?” Lay menatap Julia dengan dengan salah satu alis terangkat ingin tahu.

“Aku butuh tumbuhan anuma untuk penelitian,” jawab Julia dengan pelan walau malah terdengar seperti berbisik.

Lay bangkit dari ranjangnya dan terlihat acuh dengan jawaban Julia. “Nanti kau ambil saja jika sudah boleh masuk. Aku akan memasak makanan. Kau tetap di kamar.” Suara Lay terdengar tegas tak ingin dibantah.

“Ya.” Julia menjawabnya dengan singkat karena ia tak minat untuk berbicara dengan Lay. Lay benar-benar tidak bisa menenangkannya. Setidaknya jika tidak bisa membantu, beri saja kalimat penyemangat untuk dirinya. Julia mendecih kesal.

Lay membuka ponsel hologram seraya menduduk dirinya di sofa ruang tamu. Ia mencari nama Benedict di kontak nomor. Setelahnya terdengar nada dering tersambung yang digantikan dengan suara pria.

“Kau bertugas di dalam hutan?... Bantu aku, tolong carikan tumbuhan anuma… Nanti akan ku traktir sesuatu, tenang saja… Nanti aku ambil dari gerbang belakang rumah… Oke.” Usai panggilan terputus, Lay melangkah pergi ke dapur.

Julia yang suasana hatinya sedang sedikit terganggu karena seluruh jadwalnya berantakan masih setia menggerutu di atas ranjang sambil sesekali memukul ranjang yang tak bersalah lalu dirinya tanpa sadar bergumam, “Penduduk Mars memang menyebalkan. Setidaknya jika tidak bisa membantu, apa salahnya memberikan kalimat penenang. Menyebalkan sekali. Kenapa aku harus berpasangan dengannya. Sudah galak, datar, ditambah menyebalkan pula….” Julia terus mengeluarkan kalimat ejekkan kepada Lay. Tanpa ia sadari kalau Lay sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar sambil mendengarkan seluruh hinaan dari Julia yang merujuk kepada dirinya.

Lay yang dari tadi terus bersabar, akhirnya meledak dan masuk ke dalam kamar seraya memegang nampan yang berisikan makanan. Kehadirannya membuat Julia terperanjat. “Sepertinya penduduk Venus suka sekali menghina di belakang. Kenapa tidak kau hina saja aku saat aku disini? Kau benar-benar tidak tahu diri Julia. Sudah dibantu malah menghina. Urus saja dirimu sendiri, aku ingin keluar,” tukasnya dengan ketus sambil menaruh nampan yang ia bawa di atas nakas dengan kasar lalu berjalan pergi keluar kamar.

Julia yang merasa geram sontak terisak. Ia tahu jika dirinya salah. Seharunya ia tidak menghina Lay di belakang seperti tadi. Lay sudah banyak membantunya, tetapi hanya karena satu sifat jelek Lay yang memang tidak terbiasa menyemangati seseorang, ia langsung merasa Lay manusia paling mengesalkan. Wanita memang seperti itu, terlalu menggunakan perasaan sampai kadang tidak sadar kalau akal sudah termakan perasaannya dan malah melampiaskan perasaan itu kepada orang lain.

 Sekarang Julia merasa sangat bersalah karena mengatakan hal buruk seperti tadi. Seharusnya ia bisa mengontrol emosinya dan tidak melampiaskannya pada orang lain.

“Bodohnya aku,” gerutunya.

Lay keluar dari rumah dengan emosi yang meluap. Ia geram karena semua yang ia lakukan selalu salah di mata Julia, tidak peduli ia melakuka hal benar atau tidak, Julia selalu saja marah dengannya. Ia tahu dirinya selalu berbicara datar dan dingin, tetapi mau bagaimana lagi, itu adalah sifatnya dari dulu. Cara ia bicara memang seperti itu. Ada hal lain yang lebih membuatnya kesal, yaitu dirinya merasa bersalah dan ingin kembali ke dalam rumah untuk meminta maaf. Ia merasa menjadi orang bodoh.

Lay mendecakkan lidahnya dan berjalan ke belakang rumah usai mendapat pesan dari Benedict kalau tumbuhan yang ia cari sudah digantung gerbang belakang rumah. Di dalam pikirannya, ia tidak ingin mengambil tumbuhan itu dan membiarkannya saja. Ia tidak ingin membantu Julia agar wanita itu menyesal sudah berlaku tidak sopan. Namun, tungkai jenjang terus melangkah cepat ke belakang rumah. Tubuhnya melakukan hal yang tidak sejalan dengan pikirannya. Ia ingin sekali mengutuk dirinya sendiri.

Julia masih menunduk dan tersengut pelan karena Lay tidak juga kembali. Ia tidak tau harus apa, ia merasa dirinya secara mendadak menjadi payah seperti ini. Biasanya ia tidak mudah menangis, tetapi lihat sekarang. Ia seperti wanita lemah. Tangis perlahan akan berhenti. Namun, tatkala mendengar pintu bawah terbuka, ia kembali menangis tersengut-sengut tanpa suara. Ia menahan suaranya keluar dengan membekap mulutnya dengan telapak tangannya sendiri. Ia takut jika yang masuk bukanlah Lay, melainkan orang jahat. Apalagi keadaan kakinya yang seperti ini membuat dirinya semakin panik.

Lay membuka pintu rumah. Ia merasa gusar karena tidak ada suara sedikit pun dari kamar. Ia lekas berlari tergesa-gesa menaiki anak tangga seraya menggenggam seikat tumbuh anuma. Saat sampai di ambang pintu kamar, ia bernapas lega melihat Julia masih tetap di atas ranjang. Ia masih bisa melihat nampan dengan makanan lengkap yang tak tersentuh. Ia merasa semakin bersalah karena berkata kasar seperti tadi.

Lay membawa tungkai jenjangnya menghampiri Julia lalu bersimpuh di depan Julia yang terduduk di tepi ranjang sambil bertanya dengan nada lebih lembut dari biasanya. “Hei. Kau kenapa menangis?” Lay melunak kala mendapati wajah sayu Julia dengan jejak air mata.

Julia membuka matanya yang sedari tadi memejam. Ia menurunkan tangannya yang menutup mulutnya lalu bernapas lega kala mendapati Lay berada di hadapannya dengan sorot mata yang melembut. “Maafkan aku, tadi aku salah berbicara. Aku emosi jadi tidak bisa mengolah kata dengan benar.” Sambil sesekali terisak.

Lay menarik tipis ranumnya seraya menepuk pundak Julia lembut untuk menenangkan. “Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena terlalu kasar. Sudah jangan menangis lagi, aku sudah memafkanmu. Aku juga sudah ada disini bersamamu. Ini aku bawakan tumbuhan Anuma.” Sambil memberikan seikat tumbuh kepada Julia.

Julia yang sudah mulai terisak kecil, kembali menangis karena mendengar ucapan Lay karena bisa-bisa ia belaku kasar kepada orang baik di hadapannya. Ia ingin sekali memukul dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa penyesalannya, bahkan pria di hadapannya memberikan tumbuhan anuma walaupun dirinya sudah menghina dengan kasar.

Lay mengernyit cemas. “Eh, Kenapa malah nangis lagi?” Sambil tetap mengusap lembut bahu Julia.

Julia mengusap kasar air matanya. “Maafkan aku.”

Lay mengusak rambut Julia. “Tidak apa-apa. Sekarang kita makan ya. Aku sudah memasakkan makanan untukmu atau mau kuambilkan yang baru?” Seraya bangkit dan mengambil tempat disamping Julia lalu mengambil nampan di nakas.

Julia menatap Lay dengan sorot mata sayu. “Aku akan makan ini saja.” Ia lantas mengambil nampas di tangan Lay dan melahap makanan Lay. Ia tidak ingin lagi membebani pria dihadapannya.

Lay terkekeh kecil sambil menggeleng pelan. “Pelan-pelan, nanti tersedak.”

Julia hanya menganggut kecil dan melanjutkan makannya.

Julia membuka perlahan pintu kamar mandi sembari menumpukan tangannya pada dinding kamar mandi. Matanya langsung bertemu dengan netra dingin Lay yang sedari tadi menunggunya di depan kamar mandi. Tanpa mengutarakan apapun, Lay lekas merangkul Julia dan membantu Julia untuk melangkah.

“Hari ini aku akan mengantarkan kau ke gedung ERA. Nanti saat pekerjaanmu sudah selesai, langsung telpon aku,” ungkapnya sembari membantu Julia untuk duduk di sofa.

Julia menyimpulkan belah ranumnya. “Lay, kau jadi lebih ramah dan banyak bicara,” cetusnya tiba-tiba membuat Lay terdiam.

Lay mengangkat naik salah satu alisnya. “Kau mau aku menjadi dingin lagi?” tanyanya sambil menatap aneh Julia.

Julia sontak tertawa kecil. “Bukan itu maksudnya. Aku suka kau yang seperti ini. Terima kasih banyak ya.”

Lay tersenyum tipis lalu menganggut pelan.

Lay tidak tahu kenapa dirinya tiba-tiba berubah menjadi seperti ini. Mungkin hanya kepada Julia saja ia menjadi seperti ini.

“Walaupun pria terkesan tidak peduli, tetapi sebenarnya ia adalah orang paling hangat dan perhatian dengan caranya sendiri.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status