"Terima kasih banyak atas jamuannya. Kami permisi dulu. Selamat sore "
"Terima kasih kembali. Selamat sore dan selamat bekerja,"balas Dylan, sesaat sebelum dua petugas patroli meninggalkan tempat. Setelah mobil patroli beranjak pergi, Dylan dan Bara pun melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan dua orang yang bersahabat dengan profesi berbeda tersebut tidak banyak bicara. Dylan masih asyik dengan pikirannya sendiri dan Bara paham bahwa sang sahabat sedang ada masalah besar. Perwira polisi tersebut memilih menikmati musik dari tape mobil. "Bara, nanti bantu aku jika keluarga kudatangi bersikap bar-bar." Akhirnya Dylan membuka mulut juga. "Memang kamu bikin ulah apaan?"tanya Bara sambil mengernyitkan dahi. "Hal memalukan. Ini akibat ulah Vira." "Vira yang sekongkol dengan polisi patroli? Cerita ke aku, kalo gak keberatan." Akhirnya Dylan menceritakan semua, dari saat acara makan bersama lalu reaksi obat yang diberikan oleh Vira membuat Dylan kelimpungan. Adista yang jadi korban pelampiasan nafsunya. "Sekarang ini kita akan mencari Adista ke rumah keluarganya?"tanya Bara dengan ekspresi tidak percaya. "Ya, aku berharap dia ada di sana. Apa pun yang terjadi, aku siap menanggung risiko." Bara yang mendengar ucapan Dylan seketika tersenyum lebar lalu menepuk bahunya. "Itu namanya pria gentle!" Dylan bertambah bersemangat mendapatkan dukungan dari Bara. Namun sayang, saat mereka sampai di alamat tujuan, pihak keluarga tidak mengetahui keberadaan Adista. "Anak saya ke mana, Tuan? Dia hanya kirim uang saja. Hapenya gak bisa dihubungi lagi,"jelas ibu Adista dengan terisak-isak. Kabar yang dibawa oleh Dylan sangat mengejutkan wanita separuh baya ini. "Saya mohon kita selalu terhubung untuk berkomunikasi. Sambil mencari informasi tentang Adista. Ini untuk gaji terakhir dari Adista, mohon diterima, Bu," ucap Dylan sambil menggenggamkan amplop warna cokelat ke tangan ibunya Adista. "Ini kok tebal sekali. Gaji Adista gak sebanyak ini, Tuan,"balas wanita separuh baya tersebut sambil membolak-balik amplop yang tampak tebal dengan kedua tangan. "Saya beri sedikit bonus, Bu. Adista sangat telaten dan sabar dalam merawat mama saya. Kedua orang tua saya merasa sangat berterima kasih kepada Adista. Kami pamit akan mencari ke tempat lain. Permisi. Selamat malam," ucap Dylan yang menyalami ibu Adista lalu diikuti oleh Bara. Pencarian mereka akan keberadaan Adista tidak mendapatkan hasil. Dylan semakin merasa berdosa dan tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sementara itu, Adista yang pergi tanpa tujuan telah mendapat sebuah kamar untuk disewa sambil mencari kerja. Beruntung sekali tetangga kos Adista sangat baik dan ramah. Gadis ini tidak begitu kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan karena informasi dari para tetangga. "Kebetulan aku kemarin tengok teman melahirkan. Ada lowongan kerja jadi asisten dokter di klinik sana. Coba kamu melamar kerja ke sana, Adista," ucap seorang wanita setengah baya yang menjadi tetangga kos Adista. "Wah, kebetulan sekali. Terima kasih banyak informasinya, Bu," balas Adista dengan mata berbinar-binar. "Buruan bikin surat lamaran kerja. Biar gak keduluan yang lain." "Baik, Bu. Saya permisi dulu mau persiapkan berkas-berkas." Itu tadi pembicaraan Adista dengan salah satu tetangganya semalam. Pagi ini, gadis berpenampilan bersahaja ini sedang menunggu waktu interview di ruang tunggu sebuah klinik. "Adista Prativi. Dimohon menuju ruang direktur utama. Terima kasih." Terdengar panggilan dari speaker di ruang tunggu. Adista gegas berdiri lalu beranjak menuju ruangan yang dimaksud. Gadis lugu hanya perlu berjalan sekitar 30 meter dan kini telah berdiri di depan pintu ruangan yang dimaksud. 'Tok tok tok!' "Permisi!"teriak Adista. "Silakan masuk!" Adista memutar handle pintu lalu mendorongnya. Tampak ruangan dalam yang luas untuk ukuran ruang kerja sebuah klinik. Ruangan full berdinding putih bersih dengan fasilitas super lux, seperti tampilan ruangan seorang CEO dalam drakor. Adista terkesima sekaligus takjub menatap setiap sudut ruangan. Dia sambil berjalan menuju meja direktur utama sambil berdecak kagum. Saat dirinya sampai di hadapan seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan, kakinya sedikit gemetar. Wajah wanita ini mirip sekali dengan Nyonya Kusumasari Binar--mama Dylan. Wanita cantik dengan wajah blasteran tersebut tersenyum ramah. "Silakan duduk, Nona." "Terima kasih, Nyonya," balas Adista sembari duduk di hadapan wanita tampak cantik dan elegan tersebut. "Perkenalkan, saya Nyonya Pamela Smith, direktur utama sekaligus owner klinik ini." "Saya Adista Prativi, Nyonya. Mohon kiranya saya bisa diterima kerja di klinik ini,"balas Adista dengan tatapan sendu. "Kenapa harus memohon. Kamu telah say terima sebagai pegawai klinik mulai besok. Tolong bersiaplah diri untuk training. Selamat," ucap Nyonya Pamela sambil berdiri lalu mengulurkan tangan. Adista yang tidak percaya dengan pendengarannya sendiri langsung berdiri lalu menjabat tangan wanita di depannya dengan ragu-ragu. "Benarkah, saya telah diterima kerja?" "Benar. Kenapa, ada yang salah?" "Enggak, Nyonya. Saya tidak percaya bisa langsung diterima kerja di sini. Terima kasih banyak, Nyonya. Saya akan bekerja semaksimal kemampuan," ucap Adista dengan raut wajah berseri-seri. "Silakan pulang dan saya tunggu Anda, besok tepat jam 8 pagi." "Baik, Nyonya Pamela. Terima kasih banyak. Selamat pagi." Adista beranjak meninggalkan ruang Nyonya Pamela dengan hati berbunga-bunga. Wanita yang tidak lagi gadis ini berniat akan ke konter ponsel untuk membeli nomor SIM card. Dia bertekad akan melupakan semua kejadian tragis yang dialaminya. Dengan berat hati, terpaksa menahan rindu sementara waktu kepada keluarganya. Adista tidak pernah bisa berbohong kepada keluarga, terutama ibunya. Dia belum tidak mau derita yang dialaminya menambah beban pikiran sang ibu. Sejak bapaknya meninggal, beban ibunya sudah semakin berat. Adista hanya ingin selalu terhubung dengan Umaya saja. "Kak, beli SIM card sekaligus isi pulsa,"ucap Adista saat sampai di depan etalase konter ponsel. "Ada, Kak. Sebelah sini. Silakan dipilih,"balas penjaga konter. Adista memilih salah satu sesuai provider yang biasa dipakainya. Setelah itu dengan dibantu penjaga konter mulai melakukan proses registrasi dan isi ulang pulsa. Wanita muda berusia 22 tahun ini mengulurkan selembar uang merah sambil berucap,"Silakan ambil kembalianya." "Terima kasih banyak, Kak," balas penjaga konter dengan wajah berseri-seri. Ini adalah hari keberuntungannya. Sementara Adista buru-buru berlari ke arah halte karena sudah mulai gerimis. Rupanya gerimis sudah menjadi butiran. Bus yang ditunggu tidak kunjung reda dan Adista iseng-iseng mengirim pesan ke aplikasi W******p. [Selamat siang. Benar ini Nona Umaya?] Tak perlu menunggu waktu lama, pesan dari Adista langsung dibaca oleh Umaya. Seketika pesan balasan pun diterimanya. [Selamat siang juga. Iya, benar. Saya Umaya. Ada yang bisa saya bantu?] [Bisa minta tolong, pesankan baso daging sapi tanpa kuah, saos dan kecap. Kasih sambal doang.] Umaya langsung membaca pesan barusan, tetapi tidak langsung dibalas. Adista menunggu dengan hati berdebar-debar. Bus pun telah tiba dan Adista bergegas naik. Sepanjang perjalanan dirinya menunggu balasan dari Umaya. Dia berharap bisa membuat surprise untuk teman karibnya itu. Bus telah sampai depan komplek indekos dan Adista turun pelan-pelan karena hujan masih turun rintik-rintik. Hingga wanita muda ini membuka pintu kamar, tidak ada balasan dari Umaya. Padahal dia tahu pasti, dengan menyebutkan makanan favoritnya saja, Umaya sudah tahu bahwa itu dirinya. Drrrt! Drrrt! Akhirnya, ponsel Adista berdering. Dia yang sedang ada di dapur gegas berlari ke kamar. Dia sudah tidak sabar akan bercerita banyak dengan teman karibnya tersebut. Namun, .... Ini nomor kontak Tuan Dylan? Kedua mata Adista langsung melotot dan seketika timbul rasa jengkel terhadap Umaya. Pengkhianat!"Rendi, kamu ditangkap!" seru Bara. Rendi mencoba melawan, tetapi Dylan cepat mengatasi situasi tersebut. Rendi dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bara dan Dylan lega karena berhasil menangkap pelaku. Dokter Pamela dan Alena telah mendengar kabar penangkapan Rendi. Namun, mereka masih cemas tentang motif Rendi dan dampaknya pada keluarga serta reputasi klinik. Beberapa hari kemudian Pengadilan dimulai. Pengacara Umaya berhasil membuktikan bahwa tindakan Umaya kepada Anton adalah murni kecelakaan. Ada rekaman CCTV soal hal itu. Hakim memutuskan bahwa Umaya dibebaskan dari segala tuduhan. Namun ada kewajiban wajib rapor dan tidak boleh keluar kota sementara waktu sampai kasus Anton dan Gopar selesai diusut. Hati Umaya, Alena dan Dokter Pamela belum bisa lega 100% karena harus menunggu keputusan negosiasi interpol dengan pihak kepolisian Singapura soal kasus Alan. Mereka masih harus menunggu kepastian. Pada suatu hari Dokter Pamela menerima panggilan misterius dari seseor
"Dia sedang ambil cuti dua hari untuk riset. Ada apa?"tanya balik Dokter Pamela dengan raut wajah heran. "Sedari pagi hapenya gak aktif. Padahal bilang akan bawain obat buat aku." "Obat apa lagi? Bukankah kamu sudah gak perlu obat lagi?" "Bukan, Mom. Ini obat herbal sekaligus buat terapi." Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat ke arah mereka. Kedua wanita tersebut menoleh ke belakang. Tampak Dylan dan Bara tersenyum ke arah mereka. "Selamat siang,"sapa kedua pria bersamaan. "Selamat siang,"balas dua wanita. Mereka berdiri berhadapan lalu saling menjabat tangan. Dokter Pamela mengajak kedua pria untuk duduk di ruang keluarga. Setelah mereka duduk di tempat masing-masing, barulah Alena bertanya,"Ada apa, nih, kalian barengan kemari?" Dylan segera menjawab,"Yang punya kepentingan si Bara, tuh." Pria yang dimaksud pun tersenyum ke arah kedua wanita. Ia berkata,"Maaf, gak kasih kabar dahulu. Saya dapat kabar mendadak dari kantor." Dokter Pamela dan Alena segera mengara
"Apakah kamu masih mau bersahabat dengan seorang pembunuh?" Alena terkejut dan mundur selangkah. "Apaan, sih, kamu! Apa yang terjadi padamu, Uma?"tanya Alena dengan kedua mata berkaca-kaca. Kini hatinya semakin tidak enak. Ada peristiwa dahsyat yang baru dialami oleh sahabatnya itu. Namun, kata pembunuh yang diucapkan oleh Umaya membuat pikiran Alena sempat oleng. Ia lalu bertanya dengan tubuh gemetar. "Apa maksudmu? Siapa yang kamu bunuh?" Umaya menunduk, air matanya jatuh. "Aku... aku membunuh Bang Anton." Alena terkejut. "Bang Anton? Bagaimana bisa? Kau selalu sangat perhatian padanya." Umaya mengisahkan peristiwa tragis tersebut. "Aku marah karena Bang Anton telah menjebak Alan. Adikku itu sekarang terancam hukuman mati di Singapura. Ia tertangkap tangan sedang membawa paket sabu-sabu seberat 500 gram. Bang Anton sengaja menyelipkan paket sabu-sabu pada makanan kemasan kaleng." "Alan ke Singapura dalam rangka apa?"tanya Alena penasaran. "Ia disuruh Bang Anton untuk mengirim
Di tempat lain, Umaya menatap foto Alena dengan perasaan menyesal. "Alena, maafkan aku. Besok aku jelaskan semua." "Semoga Alena gak kaget melihat keadaan kamu,"sahut Bara yang langsung ditanggapi linangan air mata oleh Umaya. "Saya gak pernah menyangka nasib persahabatan kami harus terpisah,"balas Umaya seraya menyeka sisa air mata. Bara tersenyum lalu berdiri dan menepuk pundak Umaya. Perwira polisi ini berkata,"Kamu telah berjasa terhadap kepolisian. Pasti ada keringanan hukuman. Nanti saya akan sewakan pengacara terbaik." "Terima kasih, Tuan Bara,"balas Umaya yang langsung dikawal seorang polwan masuk ke bagian belakang. *** Pukul 7 pagi Alena telah tiba di kantor polisi dengan diantar oleh Dylan. Dari semalam dokter muda ini tidak nyenyak tidur karena memikirkan kondisi yang terjadi dengan Umaya. "Tuan Bara sama sekali gak kasih bocoran?"tanya Alena kepada Dylan sambil mereka berjalan menuju ruang pemeriksaan. "Bara enggak mau kasih tahu. Katanya biar Umaya ngomong langs
"Kita tinggal ambil rekaman CCTV saat kejadian. Begitu tertangkap langsung bikin laporan,"ucap Rendi yang langsung diacungi jempol oleh Dylan. "Kita akan tahu, modus Pak Gopar merusak kepercayaan Dokter Pamela,"balas Dylan. Dorr! Terdengar tembakan dari arah pintu gerbang. Rendi segera memberi peringatan kepada kedua wanita. "Ma, Alena, tutup semua pintu dan jendela! Kalian bisa jadi incaran penjahat!" Kedua pria membantu menutup jendela dan pintu bagian depan lalu berlari ke halaman. "Ada apa ini?"tanya Dokter Pamela yang muncul dari ruang tengah. Alena berlari menyusul mommynya. Alena juga bingung dengan situasi yang menegangkan tersebut. "Mom, penjahat apa?" "Kita tutup semua jendela dan pintu. Kamu bagian belakang, Mommy cek depan,"ucap Dokter Pamela kepada Alena. Kedua wanita bergerak cepat. Mereka menutup semua pintu dan jendela. Benar yang diucapkan oleh Rendi, begitu terdengar langkah kejar-kejaran lalu suara pintu didobrak dari luar. Brakk! Pyaarr! Beruntung jendela
"Tentu saja benar. Aku sengaja bikin menu favorit Mommy,"balas Alena. "Wah, kebetulan. Hari ini Tuan Dylan akan datang untuk memberikan resep menu khusus untuk kamu. Bisa jadi sambil praktek cara bikinnya." Pernyataan Dokter Pamela barusan, membuat hati Rendi memanas. Bagaimanapun hatinya berharap bisa segera menikah dengan Alena. Sementara waktu, ia diminta Dokter Pamela untuk mengabaikan keinginan itu sampai emosi Alena stabil. Rendi gegas pergi ke luar rumah untuk menghindari hatinya bertambah panas. Hal itu bisa merusak rencana mama angkatnya untuk memberi rasa tenang kepada Alena. Sekitar sepuluh menit kemudian, datang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Dylan. "Apa kabar, Bang?"sapa Dylan begitu keluar dari mobil. Tampak pria ini menenteng sebuah kantong plastik besar. "Baik. Kelihatannya bisnis lo semakin maju,"sahut Rendi sambil menghampiri Dylan. "Masih merintis kedai menu khusus,"balas Dylan sambil menjabat tangan Rendi. "Ini juga mau praktek buat menu khusus Alena. Aban