Malam ini kami pun pentas kembali, ada acara pernikahan anaknya pak Camat di desa Suka Warna, seperti apa yang menjadi tantangan teh Arum, selain menjadi penari pembukaan acara resepsi kami pun ikut melengser. Melengser istilah tarian malam hari, yang identik dengan duit saweran dan tarian selendang yang sedikit menggoda kaum laki-laki.
Kami turut duduk di antrean penari senior. Kami pun siap berlempar selendang dan menari bersama lawan jenis. Tampak beberapa pemuda dan bapak-bapak yang mulai naik ke panggung dan memberi saweran kepada kami, benar saja Teh Sekar Arum orang pertama dan turun dari bangku penari. Dan di susul oleh penari-penari senior lainnya, aku pun terus berdecap kagum, pasti penghasilan mereka yang di dapatkan akan lebih banyak dari kami. Kami yang sering di bilang teh Arum sebagai penari pemula dan polosan.
Sungguh apa yang mereka pakai ternyata ada pengaruhnya, teh Sekar Arum dan ke empat penari senior lainnya telah menari terlebih dahulu, sedang kami masih duduk di sini, bahkan ada seorang penari di sawer lebih dari dua orang penyawer. Aku besok harus coba mengikuti jejak-jejak para senior itu. Aku harus ikut menggunakan bedak pengasih. Atau apalah yang di sebut teh Arum sebagai cara pembuka aura. Bedak doa, bedak pengasih bedak syarat akupun harus memakainya.
Malam ini hanya ada seorang pemuda yang menari denganku, entah karena tertarik, kasihan, atau karena sudah tidak ada penari senior lainnya yang bisa di ajak ke panggung, pemuda itu memberiku uang sebanyak Rp 25.000 bahkan nyaris sama dengan Cahyati yang memperoleh uang sawer Rp 20.000 saja.
Tidak bisa kalau terus-terusan begini, kapan aku akan memperoleh penghasilan lebih. Dan pastinya akan lama untuk dapat mengumpulkan uang yang banyak untuk sekolah adik-adik dan rumah abah yang bisa di bilang gubuk yang hampir roboh itu.
"Cahyati, lihat tidak Mereka malam ini mendapat saweran yang banyak dari yang nyewer?"
"Iya Mereka dapat banyak sekali ya Tari."
"Jadi bagaimana? mau ikutan jejak teman-teman tidak besok? Kita ikuti saran Teh Arum saja Cahyati."
"Iya tampaknya sih harus ikutan saran Teh Arum, kalau Kita mau bertahan sebagai seorang penari jaipong."
"Ya sudah, besok Kita ke Ki Slamet ya?"
"Ya, Kita coba besok ke sana, Aku pun jadi penasaran."
Kami pun pulang malam ini, tak lupa aku membungkuskan martabak manis untuk adik-adikku di rumah, hasil malam ini tak akan kuberikan lebih untuk Emak, karena sebagian uangnya akan aku pergunakan untuk ke Ki Slamet besok. Membeli bedak baru, dan mensyaratinya.
Keesokan harinya,
Jam 09.30 pagi, kami pun telah tiba di rumah Ki Slamet bersama teh Arum, minyak Serimpi dan kembang tujuh warna menjadi pengharum alami rumah Ki Slamet. Tampak sedikit seram, tapi ya bagaimana lagi, kami harus masuk dan mencobanya. Begini ternyata penampakan rumah seorang orang pintar atau yang lazim di sebut dukun.
"Ada apa Rum Kamu kesini, apa habis bedakmu yang telah Aki doakan?"
“Bukan Arum Aki, tapi ke dua Anak Mak Lasri ini Wangi dan Tanjung, Mereka ingin meminta di doakan bedaknya."
"Silakan tulis tanggal lahir dan hari kelahiran Kalian, serta nama Bapak kalian masing-masing di kertas ini."
"Iya Ki."
Aku pun memulai menuliskan apa yang Ki Slamet inginkan. Begitu juga dengan Cahyati, dan teh Arum hanya duduk sambil istirahat saja di sisi rumah ki Slamet.
"Wangi.."
"Iya Ki."
"Karena Kamu lahir malam Jumat Kliwon, Kamu harus mandi dengan kembang setaman yang Aki berikan ini, sebelumnya minumlah air ini, cukup sebagian saja yang Kamu minum sisanya kamu masukkan ke dalam sumur ya."
"Iya Ki Slamet."
"Mana bedak yang Kamu gunakan biar Aki doa kan terlebih dahulu."
"Ini Aki, bedaknya."
Aku lihat Ki Slamet komat-kamit membaca doa-doa dan mantra-mantra menggunakan bahasa sunda yang sangat halus tempo dulu.
"Ini Wangi, namamu sudah Aki kaitkan dengan doa begitu juga bedak yang Kau pakai ini. Jika bedaknya habis Kau boleh berkunjung kesini lagi ya Wangi."
"Iya Ki Slamet, terima kasih."
Begitu pun dengan Tanjung, dia diberikan air dan bedak yang sudah di doakan oleh Ki Slamet. Kamipun mengambil bedak kami masing-masing dari tangan Ki Slamet, rasanya aku sudah tak sabar dan ingin lekas mencoba khasiatnya dari bedak ini.
"Arum, si Wangi ini wadalnya Jumat Kliwon jadi penanganannya agak khusus dari Kalian yang lain."
"Oh begitu Ki."
"Iya, ya tapi Aki lihat suatu saat nanti Mereka akan menggantikan kepopuleran Kalian."
"Iya Ki, Saya juga telah melihat bakat menari mereka sangat bagus Ki."
Kami pun berpamitan kepada Ki Slamet, kami tidak dapat memberi uang lebih, hanya ala kadarnya saja yang kami berikan. Semoga nanti hasilnya lebih baik jika kami telah memakai bedak yang sama dengan teh Arum dan kawan-kawan. Jadi tidak sabar ingin mencoba khasiatnya nanti saat manggung. Tak lama kemudian, kami pun beranjak pamit untuk pulang.
***
"Neng, aya rencang na di payun."
(Neng, ada temannya di depan)
"Saha Mak?"
(Siapa Mak)
"Duka atuh pameget."
(Tidak paham, anak laki-laki)
Siapa ya, kok ada teman laki-laki yang main ke rumahku. Aku pun merapikan pakaian dan rambut terlebih dahulu.
"Eh Aa Faizal."
"Iya Neng Lestari."
"Ada apa Aa tumben main kesini?"
"Iya kan sudah hampir dua tahun tidak bertemu semenjak Kita lulus Sekolah Menengah Pertama dulu ya?"
"Iya."
"Kegiatan Kamu apa Tari? Kamu tidak lanjut sekolah?"
"Tidak Aa, Aku tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah, bagaimana dengan Aa Faisal sekarang di mana?"
"Saya mah sekarang di Bogor, sekolah di Pesantren sekalian belajar kerja di warung bakso Paman Aa."
"Oh gitu, pantas saja Tari jarang melihat Aa lagi di kampung ini."
"Iya Tari, Kamu jadi makin cantik saja Neng, selama kita tidak bertemu."
"Aa mah bisa saja."
"Astagfirullahalazim, maaf Neng Aa keceplosan, oh iya bagaimana kabar Cahyati?"
"Baik, Kami masih selalu bersama-sama."
"Tidak apa-apa kan Saya main Neng?"
"Tidak, tidak apa-apa."
"Minggu depan Saya mau ke Bogor lagi, maka Saya silaturahminya sekarang. Oh iya Aa lupa di motor itu ada martabak sama onde-onde untuk adik-adikmu Tari."
"Jangan repot-repot atuh Aa Faiz"
"Tidak, sebentar Saya ambilkan dulu ya."
Aku pun beranjak ke dapur, sambil membuatkan teh manis dan jagung rebus.
“Aa diminum tehnya, ini kebetulan Emak buat jagung rebus."
"Iya Tari terima kasih, Neng Tari Aa dengar Kamu jadi penari jaipong apa benar?"
"Iya Aa, sudah satu tahun lebih dengan Cahyati, untuk bantu-bantu ekonomi keluarga."
"Iya tidak apa-apa, yang penting Tari dan Yati bisa jaga diri saja, dan jangan lupa selalu Shalat dan berdoa."
"Iya Aa Faiz."
Sungguh kata-kata Faizal sangat membuat aku berpikir keras, tapi ya mau bagaimana lagi aku sudah di takdirkan sebagai seorang penari jaipong. Lagi pula Faizal hanya teman bagiku dan Cahyati.
Begitu juga dengan calon jodoh aku dan Cahyati belum memikirkannya sama sekali, pacar saja kami belum ada apalagi calon suami. Sekarang aku sedang berpikir bagaimana bisa membantu ekonomi keluarga dahulu, kalau hanya perkataan teman atau orang lain tentang profesiku, aku tidak terlalu memedulikannya.
Faizal sejak dulu di sekolah dia memang sangat pintar dan rajin beribadah, selain kasep alias ganteng diapun lelaki yang sholeh. Andai, andai apa Lestari? Tak mungkin laki-laki yang sholeh begitu mau menjadi kekasih hatimu. Terkadang terbesit sih perasaan ingin memiliki kekasih, ah lupakan beban keluargaku masih banyak dan adik-adik masih sekolah. Jelas aku, masih belum bisa egois memikirkan diri sendiri. Masih ada kepentingan adik-adik, emak dan Abah.
Sudah satu bulan aku menggunakan bedak pengasih dari Ki Slamet sama dengan temanku yang lainnya. Kini penghasilan aku dan Cahyati semakin membaik, terkadang kami membawa pulang uang sampai Rp 300.000 sekali tampil. Lumayan bukan, sedikit demi sedikit aku dapat membelikan furnitur untuk Emak di rumah. Kemarin sudah terkumpul dua juta rupiah, aku membeli kasur dua set untuk kamar emak dan kamarku. Melihat adik-adik tidur dengan layak di atas kasur membuatku sangat senang. Setidaknya tentu saja mereka tidak akan merasakan sakit dan dingin seperti dulu lagi. Bedakku pun sudah hampir habis, aku harus segera pergi ke rumah Ki Slamat lagi. Kalau bisa, kali ini aku pergi kesana sendiri dan diam-diam saja, dalam hatiku terbesit pikiran andai aku bisa mendapat Mustika atau sejenisnya sebagai pemikat yang berbeda dari teman-teman biasanya. Mungkin aku bisa mendapat duit saweran lebih banyak lagi. "Cahyati, Aku mau ke rumah Ki Slamet Kamu mau ikut bareng tidak?"
Dan akhirnya aku pun pergi ke rumah ki Anom, dengan sengaja menyewa sebuah mobil beserta sopirnya. Aku bilang kepada abah dan emak ingin main ke kota mengunjungi teman lama dan mungkin menginap di sana jika tidak pulang atau terlambat pulang. Aku sengaja pergi dari rumah menjelang subuh, dan aku yakin Cahyati tak akan memergokiku, perjalanannya lumayan lama, ke Ciamis lebih dari 5 jam aku baru sampai ke dusun abah Anom. Dusun yang aku cari sudah benar, hanya saja aku harus bertanya kepada warga di mana rumah abah Anom tepatnya. “Permisi Bu.” “Iya Neng ada yang bisa ibu bantu?” “Saya mau bertanya alamat rumah Abah Anom Bu apa ibu kenal?” “Oh abah Anom? Dia rumahnya ada di atas bukit sana neng, neng lurus saja dari sini naik ke bukit, tapi tidak bisa bawa mobil neng.” “Ya, baik Bu.” Aku akan meminta pak sopir menunggu di sini, lagi pula biar saja pak sopir beristirahat dulu saja sejenak, karena aku tahu pasti beliau lelah saat dalam perj
"Neng bangun." "Iya Mak, Neng masih mengantuk ini." "Bagaimana tidak mengantuk, Kamu pulang itu hampir subuh Neng." "Masa Mak? Lestari kenapa tidak ingat ya?" "Ya Kamu sangat lusuh dan sangat terlihat lelah semalam, Mak tidak mau mengganggumu, ya sudah lekas mandi dan berganti pakaian." "Iya Mak." Ya aku pasti lupa, tapi kenapa ya sampai larut malam begini, bahkan menjelang pagi. Apakah memang kami mendapatkan banyak tanggapan dan saweran semalam. Aku pun berdiri dari kasurku, aku mengambil tas pribadiku dan aku buka, astaga duitnya banyak sekali. Aku pun hitung lembar-demi lembar uang yang ada. Totalnya ada dua puluh juta rupiah, doa gepok uang pecahan 100.000. Duit siapa ini? oh iya aku pun ingat saat aku mau naik ke panggung aku melihat ada Abah Rahmat di sana. Sungguh dia memberikan aku uang sebanyak ini dalam satu malam saja saat menari? Aku pun bergegas mandi dan mengganti pakaianku, aku ingin sarapan dahu
Aku harus tetap menari, agar teman-temanku tidak curiga dengan kejanggalan- kejanggalan yang terjadi ini. Memang benar aku memperoleh banyak uang dari itu semua, tapi haruskah aku mengorbankan seseorang demi syarat Nyi Mas Srinti. Hampir setiap malam pun aku memimpikannya mimpi yang aneh dan sangat menakutkan, mimpi yang sama terus berulang-ulang tentang Nyi Mas Srinti yang meminta bantuanku untuk membalaskan dendamnya. Terkadang aku juga bermimpi, mimpi tentang kehidupan masa lalu Nyi Mas Srinti sebagai seorang penari jaipong. Tampak sosoknya yang memiliki paras yang ayu dan sangat piawai menari. Rasanya ingin berhenti dari semua kehidupan dan mimpi-mimpi buruk ini, tapi sepertinya tidak mungkin, masih sangat berat dan terlanjur semua, aku sudah terlambat untuk mundur. "Teh...." "Iya ada apa Asep dan Jaja?" "Asep sebentar lagi lulus Sekolah Menengah Pertama, Asep mau kerja saja ya? biar dapat bantu Teteh dan Abah." "Jangan! Asep dan J
“Lestari Aku makin curiga sama Kamu.” “Curiga apa sih Cahyati? Kamu ada-ada saja deh pakai acara curiga segala sama aku.” “Ya, Aku sering merasa Kamu itu aneh Lestari kalau sedang tampil di panggung. Kamu tidak seperti yang aku kenal sejak dulu tau, kamu makin aneh setiap malamnya.” “Aku baik-baik saja Cahyati, percaya deh, hanya saja Aku ingin total kalau sedang tampil.” "Tidak, kamu kalau tampil seakan tidak kenal dan tidak dekat kepadaku, bahkan kamu suka pergi sendiri tanpa pamit padaku." Gawat, Cahyati sudah sering menegurku sikap dan kelakuanku saat manggung. Sedangkan aku sungguh-sungguh tidak sadar dengan semua yang aku lakukan setiap harinya. Ya tuhan, sampai kapan aku harus berkelit seperti ini. Dan aku pun telah di tegur mak Lastri kemarin. Apa iya aku sangat berbeda jika sedang manggung. Aku pun terus melipat pakaian yang baru saja aku ambil dari halaman rumahku, terus menyibukan diri agar diriku tidak melamun. Tamp
Bertubi-tubi dalam setahun ini Nyi Mas Srinti menjalankan aksinya untuk balas dendam. Aku benar-benar merasa stress dan ketakutan sekali, rasanya nyaris aku tidak bisa menjalani kehidupanku dengan tenang. Dalam satu bulan terakhir ini saja sudah ada emoat orang yang meninggal, dan aku rasa semua karena perbuatan balas dendam Nyi Mas Srinti dan semua kisah kematiannya mereka nyaris sama mati terbunuh secara misterius. Nyi Mas Srinti membunuh pak Asep, korban ke 4 empatnya, kemudian juragan Pepen dan pak Waluyo. Mereka terbunuh dengan motif yang sama, malam di mana telah berjaipong denganku, meninggal dengan kisah yang sama tragisnya. Hari ini tepat tanggal 1 Suro, seperti kesepakatanku dengan abah Anom. Aku harus menggelar ruwatan mandi kembang di kediamannya. Aku berangkat dari rumah menggunakan bus umum, aku tak ingin seorang pun tahu apa yang aku lakukan. Hal ini aku lakukan untuk menjaga khasiat dari susuk-susuk yang aku gunakan di tubuhku. Dan satu
Badanku terasa sakit, makin hari aku semakin drop dan stres. Memang sih aku aman, tak ada bukti yang mengarah kepadaku. Tapi sadar dan tak sadar aku paham dengan apa yang terjadi. jika aku sanggup aku ingin lari dari kenyataan ini. Tapi semua tidak mungkin dan aku tak bisa.Sabtu besok tanggal 5 Malam Jumat Suro kami akan tampil dalam ruwatan kampung Jati Bahagia. Aku sungguh takut, akankah malam itu Nyi Mas Srinti akan meminta tumbalnya yang ke tujuh. Siapa lagi nyawa yang akan ia rebut dengan perantara aku."Tok....tok....tok...., Assalamualaikum.""Waalaikumsalam""Eh Aa Faizal, kapan pulang dari Bogor Aa?""Tiga hari lalu Neng.""Aa dandanannya bikin Tari pangling sekarang, sudah seperti bapak-bapak ustaz."
Faizal, Malam ini, entah mengapa batinku tidak tenang, ingin rasanya aku melihat pertunjukan Lestari. Aku dengar jika malam ini di Balai Desa Group sanggar Jaipong Tari akan tampil. Hatiku berkata aku harus melihatnya malam ini. "Ke sana jangan ya?" Ya Allah, kenapa hati ini resah gelisah, tak pernah aku khawatir seperti ini. Bismillah, ya sudahlah aku akan ke sana saja, biar aku tenang dan tidak khawatir seperti ini. Aku bergegas mengeluarkan motor dalam garasi. Segera Aku pacu motorku. Lima menit aku tiba di sana sangat tergesa-gesa dan was-was. Sungguh ramai warga kampung yang berkumpul. Ternyata masih tarian anak-anak. Aku pun duduk di kursi di bawah tarup. Sungguh jarang sekali bahkan nyaris tak pernah aku melihat tontonan seperti ini. Baru kali ini mengapa langkahku ingin sekali membawaku kesini. Melihat wanita yang aku cintai tampil dalam sanggar jaipongan, mengapa hatiku sedih dan tidak ikhlas. Tari dan Cahyati sangat tidak pantas berada di ac