Share

Bab 6

Malam ini kami pun pentas kembali, ada acara pernikahan anaknya pak Camat di desa Suka Warna, seperti apa yang menjadi tantangan teh Arum, selain menjadi penari pembukaan acara resepsi kami pun ikut melengser. Melengser istilah tarian malam hari, yang identik dengan duit saweran dan tarian selendang yang sedikit menggoda kaum laki-laki.

Kami turut duduk di antrean penari senior. Kami pun siap berlempar selendang dan menari bersama lawan jenis. Tampak beberapa pemuda dan bapak-bapak yang mulai naik ke panggung dan memberi saweran kepada kami, benar saja Teh Sekar Arum orang pertama dan turun dari bangku penari. Dan di susul oleh penari-penari senior lainnya, aku pun terus berdecap kagum, pasti penghasilan mereka yang di dapatkan akan lebih banyak dari kami. Kami yang sering di bilang teh Arum sebagai penari pemula dan polosan.

Sungguh apa yang mereka pakai ternyata ada pengaruhnya, teh Sekar Arum dan ke empat penari senior lainnya telah menari terlebih dahulu, sedang kami masih duduk di sini, bahkan ada seorang penari di sawer lebih dari dua orang penyawer. Aku besok harus coba mengikuti jejak-jejak para senior itu. Aku harus ikut menggunakan bedak pengasih. Atau apalah yang di sebut teh Arum sebagai cara pembuka aura. Bedak doa, bedak pengasih bedak syarat akupun harus memakainya. 

Malam ini hanya ada seorang pemuda yang menari denganku, entah karena tertarik, kasihan, atau karena sudah tidak ada penari senior lainnya yang bisa di ajak ke panggung, pemuda itu memberiku uang sebanyak Rp 25.000 bahkan nyaris sama dengan Cahyati yang memperoleh uang sawer Rp 20.000 saja.

Tidak bisa kalau terus-terusan begini, kapan aku akan memperoleh penghasilan lebih. Dan pastinya akan lama untuk dapat mengumpulkan uang yang banyak untuk sekolah adik-adik dan rumah abah yang bisa di bilang gubuk yang hampir roboh itu.

"Cahyati, lihat tidak Mereka malam ini mendapat saweran yang banyak dari yang nyewer?"

"Iya Mereka dapat banyak sekali ya Tari."

"Jadi bagaimana? mau ikutan jejak teman-teman tidak besok? Kita ikuti saran Teh Arum saja Cahyati."

"Iya tampaknya sih harus ikutan saran Teh Arum, kalau Kita mau bertahan sebagai seorang penari jaipong."

"Ya sudah, besok Kita ke Ki Slamet ya?"

"Ya, Kita coba besok ke sana, Aku pun jadi penasaran."

Kami pun pulang malam ini, tak lupa aku membungkuskan martabak manis untuk adik-adikku di rumah, hasil malam ini tak akan kuberikan lebih untuk Emak, karena sebagian uangnya akan aku pergunakan untuk ke Ki Slamet besok. Membeli bedak baru, dan mensyaratinya.

Keesokan harinya,

Jam 09.30 pagi, kami pun telah tiba di rumah Ki Slamet bersama teh Arum, minyak Serimpi dan kembang tujuh warna menjadi pengharum alami rumah Ki Slamet. Tampak sedikit seram, tapi ya bagaimana lagi, kami harus masuk dan mencobanya. Begini ternyata penampakan rumah seorang orang pintar atau yang lazim di sebut dukun.

"Ada apa Rum Kamu kesini, apa habis bedakmu yang telah Aki doakan?"

“Bukan Arum Aki, tapi ke dua Anak Mak Lasri ini Wangi dan Tanjung, Mereka ingin meminta di doakan bedaknya."

"Silakan tulis tanggal lahir dan hari kelahiran Kalian, serta nama Bapak kalian masing-masing di kertas ini."

"Iya Ki."

Aku pun memulai menuliskan apa yang Ki Slamet inginkan. Begitu juga dengan Cahyati, dan teh Arum hanya duduk sambil istirahat saja di sisi rumah ki Slamet.

"Wangi.."

"Iya Ki."

"Karena Kamu lahir malam Jumat Kliwon, Kamu harus mandi dengan kembang setaman yang Aki berikan ini, sebelumnya minumlah air ini, cukup sebagian saja yang Kamu minum sisanya kamu masukkan ke dalam sumur ya."

"Iya Ki Slamet."

"Mana bedak yang Kamu gunakan biar Aki doa kan terlebih dahulu."

"Ini Aki, bedaknya."

Aku lihat Ki Slamet komat-kamit membaca doa-doa dan mantra-mantra menggunakan bahasa sunda yang sangat halus tempo dulu.

"Ini Wangi, namamu sudah Aki kaitkan dengan doa begitu juga bedak yang Kau pakai ini. Jika bedaknya habis Kau boleh berkunjung kesini lagi ya Wangi."

"Iya Ki Slamet, terima kasih."

Begitu pun dengan Tanjung, dia diberikan air dan bedak yang sudah di doakan oleh Ki Slamet. Kamipun mengambil bedak kami masing-masing dari tangan Ki Slamet, rasanya aku sudah tak sabar dan ingin lekas mencoba khasiatnya dari bedak ini.

"Arum, si Wangi ini wadalnya Jumat Kliwon jadi penanganannya agak khusus dari Kalian yang lain."

"Oh begitu Ki."

"Iya, ya tapi Aki lihat suatu saat nanti Mereka akan menggantikan kepopuleran Kalian."

"Iya Ki, Saya juga telah melihat bakat menari mereka sangat bagus Ki."

Kami pun berpamitan kepada Ki Slamet, kami tidak dapat memberi uang lebih, hanya ala kadarnya saja yang kami berikan. Semoga nanti hasilnya lebih baik jika kami telah memakai bedak yang sama dengan teh Arum dan kawan-kawan. Jadi tidak sabar ingin mencoba khasiatnya nanti saat manggung. Tak lama kemudian, kami pun beranjak pamit untuk pulang.

***

"Neng, aya rencang na di payun."

(Neng, ada temannya di depan)

"Saha Mak?"

(Siapa Mak)

"Duka atuh pameget."

(Tidak paham, anak laki-laki)

Siapa ya, kok ada teman laki-laki yang main ke rumahku. Aku pun merapikan pakaian dan rambut terlebih dahulu.

"Eh Aa Faizal."

"Iya Neng Lestari."

"Ada apa Aa tumben main kesini?"

"Iya kan sudah hampir dua tahun tidak bertemu semenjak Kita lulus Sekolah Menengah Pertama dulu ya?"

"Iya."

"Kegiatan Kamu apa Tari? Kamu tidak lanjut sekolah?"

"Tidak Aa, Aku tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah, bagaimana dengan Aa Faisal sekarang di mana?"

"Saya mah sekarang di Bogor, sekolah di Pesantren sekalian belajar kerja di warung bakso Paman Aa."

"Oh gitu, pantas saja Tari jarang melihat Aa lagi di kampung ini."

"Iya Tari, Kamu jadi makin cantik saja Neng, selama kita tidak bertemu."

"Aa mah bisa saja."

"Astagfirullahalazim, maaf Neng Aa keceplosan, oh iya bagaimana kabar Cahyati?"

"Baik, Kami masih selalu bersama-sama."

"Tidak apa-apa kan Saya main Neng?"

"Tidak, tidak apa-apa."

"Minggu depan Saya mau ke Bogor lagi, maka Saya silaturahminya sekarang. Oh iya Aa lupa di motor itu ada martabak sama onde-onde untuk adik-adikmu Tari."

"Jangan repot-repot atuh Aa Faiz"

"Tidak, sebentar Saya ambilkan dulu ya."

Aku pun beranjak ke dapur, sambil membuatkan teh manis dan jagung rebus.

“Aa diminum tehnya, ini kebetulan Emak buat jagung rebus."

"Iya Tari terima kasih, Neng Tari Aa dengar Kamu jadi penari jaipong apa benar?"

"Iya Aa, sudah satu tahun lebih dengan Cahyati, untuk bantu-bantu ekonomi keluarga."

"Iya tidak apa-apa, yang penting Tari dan Yati bisa jaga diri saja, dan jangan lupa selalu Shalat dan berdoa."

"Iya Aa Faiz."

Sungguh kata-kata Faizal sangat membuat aku berpikir keras, tapi ya mau bagaimana lagi aku sudah di takdirkan sebagai seorang penari jaipong. Lagi pula Faizal hanya teman bagiku dan Cahyati.

Begitu juga dengan calon jodoh aku dan Cahyati belum memikirkannya sama sekali, pacar saja kami belum ada apalagi calon suami. Sekarang aku sedang berpikir bagaimana bisa membantu ekonomi keluarga dahulu, kalau hanya perkataan teman atau orang lain tentang profesiku, aku tidak terlalu memedulikannya.

Faizal sejak dulu di sekolah dia memang sangat pintar dan rajin beribadah, selain kasep alias ganteng diapun lelaki yang sholeh. Andai, andai apa Lestari? Tak mungkin laki-laki yang sholeh begitu mau menjadi kekasih hatimu. Terkadang terbesit sih perasaan ingin memiliki kekasih, ah lupakan beban keluargaku masih banyak dan adik-adik masih sekolah. Jelas aku, masih belum bisa egois memikirkan diri sendiri. Masih ada kepentingan adik-adik, emak dan Abah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status