"Kita tidak bisa menentukan kapan kita harus jatuh cinta, tetapi kita bisa memutuskan, kapan harus meninggalkan cinta. Kamu lihat Taka, itu di sana ada Anes bersama suaminya." Arum menunjuk pemandangan jauh di depan mereka dengan dagunya. Seorang lelaki sedang mendorong wanita di atas kursi roda dalam keadaan perut yang cukup besar. Dialah Anes;wanita yang sudah enam bulan tidak ditemui oleh adiknya.
Hari ini adalah jadwal Arum fisioterapi untuk kakinya. Semenjak ikut program pemerintah seperti BPJS, Arum sudah mulai rutin untuk latihan berjalan. Kakinya sudah lebih baik, walau masih terseret-seret untuk berjalan. Siapa sangka, di rumah sakit ini, mereka bertemu dengan Anes. Wanita yang tengah mengandung anak Taka.
Anes baru saja keluar dari lobi sambil didorong oleh seorang pria yang ia yakini adalah Julian dan satu orang wanita paruh baya lainnya, tetapi Arum tidak mengenalinya.
"Besarkan hatimu dan kembali pada niat pertama kamu, muncul saat Anes melahi
Aku sangat menyukai angin, tetapi ia selalu berubah-ubah. Kadang dingin, kadang panas. Kadang ada, kadang pergi. Hingga aku sadar beberapa hal hanya cocok untuk bertemu, tidak untuk dimiliki.Taka masih menatap sendu layar ponsel yang menampilkan pesan mutiara di sebuah aplikasi. Bersama angin yang menerpa wajahnya sore ini, ia mengingat wajah Anes. Sedikit pun takkan pernah bisa ia hapus dari ingatan. Bagaimana hidung mancung wanita itu. Kulitnya yang putih bersih dan pernah ia sentuh. Lekuk wajah, tangan, bahkan kakinya begitu terpatri di ingatannya.Kedua sepatunya basah, karena angin membawa hujan menerpa dedaunan yang memberi tumpangan untuk berteduh bagi burung gereja yang tidak ingin basah. Dia persis di bawah pohon, di dekat halte kampus. Berteduh dari hujan cukup deras, karena tidak membawa mantel hujan. Taka baru saja kembali dari mengantar tiga puluh paket kepada pelanggannya. Sebenarnya bisa saja dijemput oleh kurir, tetapi Taka memilih mengantar send
"Katakan padaku, Mira! Kamu sedang berbicara dengan siapa?" Julian maju perlahan mendekati istrinya. Wanita itu sudah mematikan ponsel, lalu menatap Julian dengan ketakutan. Mulutnya sungguh ceroboh mengatakan apapun yang sebenarnya tidak boleh meluncur dari bibirnya."Ini, tadi Mama menelepon, menanyakan kabar kehamilanku. Kata Mama aku harus bertahan di sini, karena aku yang lebih berhak atas kamu, karena di dalam perutku ini adalah keturunan keluarga Permana. Makanya, tadi Mama sedikit keras padaku untuk memberitahu kamu, Lian," ujar Mira berbohong. Wanita itu tidak berani menatap mata suaminya. Ia berujar dengan mata yang gelisah. Julian tahu, ada yang disembunyikan Mira, meskipun apa yang dikatakan wanita itu tetap masuk akal."Hum ... Ya sudah, ayo masuk. Ini mau Magrib, pamali ibu hamil berada di luar seperti ini." Julian menarik masuk Mira ke dalam kamar, lalu menutup serta mengunci pintu balkon. Tanpa diketahui oleh Raka, Mira sudah terlebih dahulu memat
Langit benar-benar gelap, tetapi rintik hujan belum juga reda. Taka membawa Anes masuk ke dalam minimarket sejuta ummat, untuk membeli jas hujan. Jika hanya dia sendiri saja yang naik motor, tidak masalah kegerimisan, tetapi ini ada wanita yang tengah mengandung anaknya ingin ikut serta dan tidak mau bila naik mobil. Anes bersikeras ingin ikut Taka naik motor, pulang ke rumah kontrakan pemuda itu. Anes tidak mau ia sampai kehilangan jejak Taka untuk kedua kalinya.Anes memeluk pinggang Taka terlalu keras, sehingga pemuda itu kesulitan bernapas, tetapi ia tidak akan protes, ia akan membiarkan Anes melakukan apapun yang wanita itu inginkan.Motor berhenti di sebuah warung baso. Jika Anes tidak bicara apapun mengenai perut besarnya yang lapar, maka Taka tahu persis apa yang diinginkan wanita itu saat ini. Bola mata Anes berbinar saat di depannya terpampang jejeran baso yang tertata di etalase."Saya lapar, temani saya makan ya?" Taka membukakan jas huja
Uap kopi mengepul di udara. Aroma biji kopi yang sudah diseduh dengan air panas mendidih begitu sedap, menggoda kerongkongan untuk segera mencicipinya. Ditambah lagi cuaca di luar masih gerimis tipis-tipis. Menonton TV, menikmati film kolosal, ditemani sang terkasih sangat cocok dilewati malam ini. Namun berbeda keadaan yang sedang cukup mencekam di rumah tamu kontrakan Taka. Anes duduk berdampingan dengan sang kakak, sedangkan di depan mereka, duduk Taka dan juga Arum. Dua pasangan yang sepertinya menyimpan banyak kejutan dalam kehidupan percintaan mereka.Wanita yang biasa mereka panggil Bude, tentu saja merasa heran dengan keadaan di depannya, belumada satu orang pun yang bersuara memulai percakapan, padahal wanita paruh baya itu tahu, ada banyak pertanyaan bersarang di kepala dua pasang adik kakak ini.“Ehm … Bude merasa di rumah sedang tidak ada orang. Kenapa sepi sekali?” sindir wanita itu sambil menghidangkan potongan kue bolu yang dibawa oleh
Doni dan Anes sampai di rumah orang tua mereka sudah pukul sebelas tiga puluh malam. Seisi rumah telah sepi. Semua orang sudah bergelung di balik selimut, berharap bertemu dengan mimpi indah yang mampu membuat pagi mereka lebih indah.Di lantai dua rumah mereka. Doni berbelok ke kanan untuk menuju kamarnya, sedangkan Anes berbelok ke kiri untuk masuk ke kamarnya. Sedangkan kamar dua adik kembar mereka ada di bawah, di dekat kamar orang tuanya.Anes menguap beberapa kali sampai matanya berair. Lekas ia mencuci wajahnya dan mengganti pakaian. Mandi malam bukan pilihan yang tepat, mengingat udara di luar sangat dingin. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, udara dingin itu masih menembus pori-porinya. Anes memutuskan tidak menjelaskan AC. Dia sudah cukup puas hanya dengan udara dingin dari alam."Kamu di mana? Ini sudah malam?" Anes membaca pesan dari Julian saat baru saja hendak memejamkan mata."Aku menginap di rumah Papa. Tidak mungkin aku
“Julian koma.” Napas Anes tertahan saat dokter mengatakan bahwa Julian koma. Bukan hanya tak sadarkan diri sesaat, melainkan menutup mata sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Setelah Julian kembali mengeluh sakit kepala hingga berakhir pingsan di ruang keluarga rumah orang tuanya, kini dokter malah mengatakan suaminya itu koma. Anes tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Matanya terasa sangat panas dan nyeri. Ingin sekali ia menumpahkan air matanya saat ini. Bukannya sedih atas komanya Julian, tetapi merasa kesal dengan jalan takdirnya. Ia yang tadinya merasa semua akan cepat berakhir dengan perceraiannya dengan Julian, tetapi lelaki itu malah koma. Lalu, apakah boleh jika dia berharap Julian mati saja?Julian memang kejam, tetapi tidak akan sekejam itu pada Julian. Karena bagaimana pun lelaki itu pernah menjadi orang yang penting dalam hidupnya.Suara hentakan cepat sepatu yang menyusuri lorong rumah sakit, membuat Arya dan Anes
Anes membuka mata perlahan, saat hidungnya mencium aroma menyengat dari obat-obat dan disinfektan. Awalnya memang samar, tetapi setelah ia mengerjapkan matanya beberapa kali, barulah pandangannya jelas. Ada Mama, Papa, Doni, dan juga Taka di sana. Anes menggerakkan kepalanya ke samping untuk memastikan dia ada di ruangan apa. Selang infus yang menggantung di samping kananya membuatnya yakin bahwa ia tengah berada di kamar perawatan rumah sakit.“Ma, Pa.” Anes merasa tenggorokannya amat kering hingga terasa sakit untuk mengeluarkan kata-kata. Semua yang ada di sana menoleh da nada tatapan penuh sukur saat melihatnya membuka mata. Ririn berjalan cepat mendekat pada anaknya, lalu memberikan air mineral. Anes menyeruputmya dengan sedotan, karena tubuhnya masih sangat lemas untuk bergerak. Kepalanya juga terasa amat pening. Anes memegang pelan perban yang melilit di kepalanya. Matanya membulat sempurna, saat ingat satu hal, perutnya. Pandanganny
"Anes, Sayang ... turun, Nak ... jangan seperti ini." Arya merayu putrinya agar tidak nekat loncat dari balkon. Anes sama sekali tidak menoleh ke belakang. Pandangannya melihat ke bawah, di mana hamparan rumput hijau menghiasi pekarangan rumah orang tuanya yang asri.Arya sangat merasa ngeri karena Anes sudah berdiri di atas tembok. Kedua kaki anaknya juga nampak sedikit bergoyang ke kanan dan ke kiri, mencari keseimbangan."Anak Anes kasihan, Pa. Anes harus menemaninya," gumam Anes dengan suara bergetar. Arya tak kuasa menahan tangis. Sebelah tanganny mengubungi Taka, melakukan video call. Beruntung Taka sedang packing barang dan ponsel ada di dekatnya. Melihat nomor siapa yang memanggil, dengan cepat Taka menggeser layar terima panggilan video.Ponsel diarahkan kepada Anes yang sudah berdiri di tembok balkon. Terdengar pekik dari Taka di seberang sana."Bicaralah pada Anes. Cepat!" Arya menyalakan speaker ponselnya agar Anes mendengar suara Arya.&