SELUMBARI. Pernahkah kalian mendengar kata itu? Atau mungkin membacanya di suatu tulisan? Jika besok adalah besok, maka besoknya besok adalah lusa. Jika kemarin adalah kemarin, maka kemarinnya kemarin adalah? Ada yang tahu? Jika ada yang belum tahu, maka inilah selumbari, kemarin dulu. Apa saja yang pernah terjadi kemarin? Kemarinnya kemarin? Dan kemarinnya lagi? Vio hidup dalam tanda tanya besar. Hidupnya tidak pernah mudah semenjak dia menyadarinya. Pun, tidak ada yang mengulurkan tangan padanya. Membuatnya bertanya-tanya, apa yang telah terjadi di masa lalu sehingga dia mengalami semua ini? Seberat apa hidup kalian? Seberat apa pun itu, mungkin tidak akan lebih berat dari hidup Vio. Darah dan air mata mengucur deras sepanjang cerita. Dengan dirinya sendiri, Vio harus mampu melindungi diri dan adik satu-satunya. Dia harus menghadapi segala hal yang datang untuk mengganggu kedamaian hidupnya. Ancaman, penculikan, penyiksaan, tidak bisa dihindari dan diabaikan. Mampukah Vio meneruskan hidup dan mempertahankan kewarasannya?
View MoreTap tap tap. Suara derap langkah kaki menggema di sepanjang gang. Dengan kondisi yang sepi, suara langkah kaki itu terdengar keras sekali. Semua orang sudah masuk rumahnya masing-masing, meninggalkan semua hal yang telah terjadi hari ini dan bersiap memulai hari esok yang baru. Tidak ada seorang pun yang berada di luar rumah walau untuk melihat bulan purnama yang bersinar terang. Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku. Suhu malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, tidak heran, karena ini musim kemarau.
Aku baru saja selesai membeli sebungkus nasi goreng dari perempatan jalan besar. Di waktu yang tidak lagi sore, tiba-tiba perutku merasa lapar, memaksaku untuk mencari makanan meskipun baru beberapa jam yang lalu selesai menyantap bakso. Jalanan lengang, lampu-lampu jalan mati, membuatku agak sedikit risau. Namun, semua itu sirna ketika Dewi Malam hadir memberikan penerangan yang benderang, mengubah suasana horor menjadi hangat.
Beberapa saat yang lalu, masih banyak anak-anak bermain hingga memenuhi gang, ibu-ibu juga saling bergosip ria sambil menunggui anak-anaknya bermain. Dan kini, tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan batang hidungnya. Pukul 10.38 ditunjukkan oleh jam tangan analog yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Aku bergegas mempercepat langkah agar segera sampai rumah, apalagi suhu terasa semakin mencekik.
Teng! Teng! Teng! Di tengah sunyinya suasana, tiba-tiba terdengar bunyi yang tidak wajar, itu mungkin suara anak-anak yang bermain dengan tiang listrik. Suara yang seperti dua logam yang saling beradu itu terasa sangat dekat di belakangku. Entahlah, dengan kondisi yang kedinginan ini—aku ingin segera berada di bawah selimut—tidak ada niat sedikit pun untuk berbalik mengecek keadaan.
Jujur saja, saat ini aku agak merasa takut, kehangatan yang aku rasakan beberapa saat lalu menghilang begitu saja, purnama juga perlahan-lahan mulai meredup. Perasaanku sangat tidak enak sekarang. Mati-matian aku berusaha menghilangkan rasa takut yang tiba-tiba datang menyerang.
Deg! Aku berhenti, sebuah telapak tangan menyentuh pundakku. Aku menggenggam nasi bungkus di tangan kiriku dengan erat. Siapa? Bukankah tadi jalanan lengang? Aku mengatur napas dan mengumpulkan tekad, aku membalikkan badan untuk melihat sosok di belakangku. Tangan sosok yang memegangku terlepas saat aku mulai berbalik. Ada seseorang yang memiliki tubuh tinggi di depanku, dilihat dari perawakannya dia seorang pria. Dengan kondisi cahaya yang minim, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas walau jarak kami tidak sampai satu meter.
Ctar! Kilat menyambar. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Walaupun sekilas, aku dapat melihat wajah pria ini tidak mulus, aku tidak yakin. Ctar! Kilat menyambar sekali lagi. Aku tercekat, wajah pria ini tertutup dengan topeng. Dan mataku menangkap sesuatu yang menyilaukan mata saat kilat menyambar, aku melihat ke arah sumber yang aku lihat. Tangannya, memegang... pisau? Aku menatap wajah pria di depanku, melihat ke tangannya lagi. Oh, tidak. Apa yang akan dilakukan pria ini? Aku berlari.
“TOLONG!” Aku berteriak kencang, mengeluarkan seluruh tenagaku. Jantungku berdetak lebih cepat. Apa yang terjadi? Apa yang akan terjadi padaku? Air mataku tiba-tiba menetes, aku berlari sambil menangis. Aku tidak berani menoleh kebelakang, seakan-akan jika aku melakukannya, nyawaku akan melayang.
Drap drap drap! Suara langkah kaki berat itu semakin dekat, aku mempercepat gerakan kakiku. Nasi bungkus yang ada di tangan kiriku tiba-tiba menghilang, entah sejak kapan. Aku mendadak lupa dimana rumahku, aku hanya berlari, pikiranku tiba-tiba terasa buntu, sarafku hanya terfokus pada kaki agar berlari lebih cepat.
Keringat mulai mengucur dari dahi, suhu tubuhku menjadi panas. Rambut panjangku berkibar-kibar terkena angin—tidak aku ikat—mengganggu pandanganku yang mulai kabur. Tanganku mengambil semua rambut yang mengganggu, membawanya ke samping kiri bahuku, memegangnya agar tidak lagi terbang sembarangan.
Aku melihat sekeliling, di sekitarku cuma ada tembok. Aku sedikit gelisah, sedari tadi aku tidak menemukan adanya pertigaan maupun perempatan. Gang yang aku lalui ini seakan membawaku ke satu tempat, membuatku merasa lebih khawatir lagi. Apa yang akan terjadi jika orang itu menemukanku? Rumah-rumah warga sudah menghilang, tertinggal jauh dibelakang. Aku memasuki wilayah tanpa penduduk, samping kanan dan kiriku hanya ada tembok pembatas. Aku mencoba tidak menghiraukan semuanya, berusaha keras memikirkan jalan keluar. Aku tidak akan selamanya berlari, sebentar lagi aku pasti ditangkap. Setidaknya, sebelum itu terjadi, aku harus sempat bersembunyi.
Perempatan! Aku mempercepat langkah. Karena lintasan yang agak melengkung, mungkin aku akan bisa menghindar. Tentu, aku pasti selamat. Setidaknya, dengan pencahayaan yang kurang, sosok itu pasti bingung akan memilih jalan yang mana. Walau aku hanya punya peluang sepertiga saja, tidak masalah. Aku memilih jalan yang lurus. Aku berjalan perlahan setelah melewati perempatan, berusaha tidak meninggalkan jejak. Orang itu berada tepat di perempatan. Jalan mana yang akan ia pilih? Orang itu tidak segera memilih, ia mengamati semua cabang jalan.
Aku menahan napas, apa yang perlu dia pastikan? Pria itu dengan langkah pasti mulai berlari ke arahku. Astaga?!! Mengapa dari tiga jalan yang ada, ia memilih jalan yang sama denganku? Aku ketakutan sekarang, dengan tersendat-sendat segera mulai berlari. Bagaimana orang itu menemukanku? Padahal aku sudah menahan napas, bahkan tidak bergerak satu mili pun. Aku mendesah kecewa, memaki dalam hati. Bagaimana ini?
“Aw,” aku memekik tertahan, menutup mulut dengan tangan.
Kakiku terkilir, membuatku sedikit terhuyung. Aku berusaha keras untuk menyeimbangkan tubuh, tidak ingin terjatuh. Berhasil, aku segera lanjut berlari. Dua langkah, aku terhuyung lagi. Aku berjalan dengan tertatih-tatih, persis seperti balita yang baru belajar berjalan. Tangan kiriku menyentuh tembok, menjadikannya pegangan. Kaki kananku mulai melangkah dengan cepat, mencoba usaha terbaiknya. Sedangkan kaki kiriku terseret paksa. Aku menggigit bibir, kaki terkilir benar-benar sangat merepotkan.
Drap drap drap! Aku menghentikan langkah sejenak, napasku memburu kencang, suara itu terdengar sekitar sepuluh meter di belakangku. Aku melepaskan pegangan tanganku pada tembok, tubuhku sempurna berdiri tegak. Aku melakukan pemanasan sebentar, lantas detik berikutnya aku berlari dengan kencang. Aku mengerahkan seluruh tenagaku. Kaki kiriku yang terus berdenyut dapat berlari dengan baik.
Aku fokus menatap ke depan, tidak akan aku biarkan sesuatu mengganggu lagi. Aku masih berada di gang sempit yang diapit dua tembok besar. Semakin jauh aku melangkah, semakin aku masuk ke dalam kegelapan. Tidak ada lampu penerangan sama sekali, membuatku harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Suasana semakin mencekam, dan langit gelap total.
Brak! Aku memekik. Dengan kasar, tubuhku dibanting ke tembok. Aku berputar di udara, lantas memantul di atas aspal. Tubuhku menggelinding kesana-kemari sebentar. Duak! Belum sempat aku menikmati rasa sakitku, tubuhku dibanting lagi ke tembok. Aku merosot turun, posisi tubuhku bersandar pada tembok.
Aku memperbaiki posisi dudukku dengan perlahan. Ah, rasanya sulit sekali, tubuhku menegang kaku. Aku melihat sosok yang ada di depanku, ia masih membawa pisau di tangannya. Berlama-lama di kegelapan, membuat mataku dapat beradaptasi dengan cepat, dan kini orang itu sedang menatapku tajam. Duak! Orang itu membenturkan kepalaku, lantas menekan pundakku ke tembok.
“Jangan berharap banyak bocah, ini hanya permulaan.”
Pria itu berbisik di telingaku. Aku pias, tidak tahu harus melakukan apa. Pria itu bergerak mundur, sedikit menjauh dariku. Diasahnya pisau yang dibawanya itu menggunakan tangan. Aku bergidik ngeri. Badanku benar-benar kaku tidak bisa digerakkan. Setelah beberapa lama, pria itu menghentikan kegiatannya dan mendekatiku sambil membawa pisau di tangannya. Ia berjongkok di depanku, tangan kirinya menekan bahuku ke tembok, sedang tangan kanannya memegang pisau.
Aku tercekat, sebuah benda dingin menempel di leherku. Aku menahan napas. Sret! “Ah!” Tanganku refleks memegang leher.
Cairan kental keluar dari sana melalui sebuah luka. Aku mengganti tangan kananku yang memegang luka menjadi tangan kiri—untuk menutup luka yang berupa goresan untuk sementara. Mataku menatap lebar-lebar wajah orang didepanku. Orang itu terlihat menyeringai, lantas sedetik kemudian ia menatapku tajam. Orang itu membenturkan kepalaku ke tembok lagi, aku mengeluh, kepalaku benar-benar sakit sekarang. Pria tinggi besar itu berdiri, berjalan perlahan meninggalkanku.
Aku mengerang. Luka di leherku menjadi perih, dan darahnya tidak berhenti keluar. Tangan kananku memegang tembok. Dengan perlahan, kakiku berusaha sebaik mungkin untuk menopang tubuhku. Setelah aku berdiri sempurna, tangan kananku mendorong tembok—atau lebih tepatnya, aku bersandar pada tembok melalui tangan kananku—mengumpulkan tenaga yang nyaris hilang.
Butuh waktu satu menit, hingga aku dapat melepaskan pegangan pada tembok. Kaki kananku mulai melangkah diikuti dengan kaki kiri perlahan. Aku berjalan tertatih, tangan kiriku masih memegang leher. Kepalaku berdenyut, darah di leherku mengalir semakin deras. Aku berhenti berjalan pada langkah ke enam. Denyut di kepalaku semakin kencang, kakiku terasa lemas, tidak lagi kuat menyangga beban tubuh. Aku terjatuh, kepalaku terbentur keras. Aku meringis, lalu semuanya menjadi gelap.
Jam pelajaran keempat dimulai, aku berada di laboratorium kimia bersama teman-teman satu kelas. Bu guru sudah memberi tahu kami bahwa minggu ini akan ada praktikum di laboratorium. Kami baru saja selesai berolahraga, praktikum bola kasti di lapangan sekolah. Walaupun setengah jam yang lalu masih pada berkeringat, seluruh ruangan lab kimia menguar wangi parfum. Sekolah kami mewajibkan pelajaran olahraga untuk diselesaikan tiga puluh menit lebih awal dari seharusnya agar para siswa dapat beristirahat sebentar dan berganti pakaian setelah berkeringat.Hari ini kami akan melaksanakan praktikum uji nyala api pada unsur alkali dan alkali tanah. Kami dibagi menjadi enam siswa yang ditempatkan pada satu meja. Masing-masing dari enam orang itu akan mencoba satu kristal senyawa tertentu yang akan diuji unsur di dalamnya dengan larutan Hcl melalui warna nyala api yang dihasilkan. Eksperimen seperti ini sangat menyenangkan bagi kami, karena tidak perlu melihat papan tulis, buku, dan mendengarkan g
Tik… tik… tik… suara detik jam dinding bergema memenuhi ruangan. Jarum pendek berhenti sejenak di angka 4, sedangkan jarum panjang masih berjalan memutar. Jalanan gelap gulita, kendaraan tidak banyak yang berlalu lalang apalagi lampu jalan juga banyak yang mati. Lampu lalu lintas tidak benar-benar mati walau jarang kendaraan lewat. lampu warna kuningnya berkedip-kedip, meminta pengguna jalan tetap berhati-hati walau jalan nampak sepi. Pasar menjadi satu-satunya tempat yang ramai di jam itu. Kumpulan sawi putih, kol, dan wortel yang dibawa oleh mobil pick up sangat menggugah selera. Warnanya masih begitu tampak segar, membuat siapa pun yang melihatnya ingin segera membawa sayur-sayur itu untuk dibawa pulang lalu dimasak. Walaupun ramai, jam segitu masih belum banyak barang yang dijual di pasar, hanya sayur-sayuran dan beberapa ikan-ikanan.Mesin-mesin pabrik-pabrik masih banyak yang beroperasi, siang dan malam nonstop. Beberapa operatornya terpantau mengangguk-anggukkan kepala selama b
Tik! Tik! Tik! Suara jarum jam dinding yang berdenting samar-samar terdengar. Kesiur angin menggerakkan helai rambut perlahan, terasa menggelitik kulit. Aroma minyak kayu putih tipis-tipis menguar masuk ke hidung, mataku sayup-sayup terbuka karenanya. Aku melihat lurus ke depan, ada langit-langit rumah berwarna putih polos. Kakiku tidak memijak apa pun, tanganku merasakan suatu permukaan, sepertinya ini sebuah kasur. Berarti saat ini aku sedang dalam posisi terlentang. Aku langsung mengangkat punggungku hingga posisi terduduk. Mataku menelusuri sekujur tubuhku. Pakaianku tidak berubah, aku masih memakai seragam tadi siang, bahkan sepatuku juga masih menempel di kaki.Sekarang pertanyaannya, aku di mana? Mataku melihat sekeliling. Ada sebuah jendela yang terbuka di sebelah kanan. Tirainya bergerak cepat, seolah-olah angin enggan terjebak di luar. Di pojok ruangan ada lemari besar dari kayu—sepert
Bel pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu. Sekolah sudah sepi, meninggalkan beberapa siswa yang mengikuti ekstrakurikuler. Hari ini adalah harinya basket. Seluruh lapangan dikuasai oleh pebasket, baik anak laki-laki maupun perempuan. Mereka biasanya tidak memiliki jadwal yang bersamaan, entah kenapa hari ini berbeda. Mungkin saja mereka sedang sharing sesuatu, atau bertanding bersama.Aku masih berada di dalam kelas, bersama dua siswa lainnya yang sedang berkutat dengan buku dan penanya. Salah seorang guru memberikan tugas pada kami karena belum bisa mengajar. Tugasnya harus dikumpulkan hari ini, jadilah kami satu kelas harus menyelesaikan tugas dulu baru bisa pulang. Aku sebenarnya sudah selesai dari tadi—mungkin sekitar satu jam yang lalu, saat masih ada banyak siswa di kelas. Bukan tanpa alasan aku masih di kelas sampai saat ini. Guru yang memberikan tugas memberi amanah langsung kepadaku untuk mengumpulkan buku tugas di mejanya.Syla langsung pergi setelah
Hari ini adalah Sabtu, hari di mana sebagian besar orang tengah mengistirahatkan dirinya dari rutinitas harian, walau ada sebagian lain yang masih sibuk mengabdi di tempatnya masing-masing. Matahari bersinar tidak terlalu terik, sangat mendukung siapa pun untuk beraktivitas baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Jalanan ramai oleh muda-mudi yang mencari hiburan di tengah kesibukannya. Tak jarang pula, mobil-mobil yang berisi keluarga kecil melintasi jalan raya dengan santai.Aku adalah salah satu orang yang beraktivitas di luar ruangan, menjadi saksi banyaknya roda kendaraan yang berputar di depanku. Kebetulan aku sedang menunggu angkutan umum, mataku yang tidak punya pekerjaan pun melihat ramainya lalu lintas. Hampir setengah jam aku menunggu di sini, membuat seorang ibu-ibu mendekatiku dan bertanya apa yang sedang aku lakukan. Sepertinya ibu itu terheran-heran padaku yang masih duduk di sini saat ibu itu dua kali melewatiku.Harusnya angkutan tidak selangka in
“Selamat sore, Pak!” Aku menyapa pak satpam yang kebetulan ada di luar pos. Pak satpam sedang menyirami tanaman yang ada di sekitar pos kerjanya—pekerjaan harian yang dilakukan oleh pak satpam. Pak satpam berbalik sejenak untuk menjawab salamku, lalu mematikan keran air.“Kelanjutan jendela rumah saya bagaimana ya, Pak?”Pak satpam mempersilakanku untuk duduk di bangku dekat pos. Aku mengeluarkan roti bakar yang sengaja aku beli untuknya. Untung saja sudah ada yang buka di jam yang belum menunjukkan pukul empat sore ini. Pak satpam mengambil satu bagian roti bakar dan mulai memakannya.“Setelah pak Fajar mengabari saya, kami langsung melihat CCTV bersama, Dek.” Pak satpam lanjut mengunyah roti.Pak Fajar adalah ayah Lina, anak perempuan yang aku jumpai sepulang joging beberapa hari yang lalu. Keluarga pak Jafar adalah tetangga terdekatku, mereka ya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments