SELUMBARI

SELUMBARI

Oleh:  Tiyas Tuti  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
17 Peringkat
16Bab
311Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

SELUMBARI. Pernahkah kalian mendengar kata itu? Atau mungkin membacanya di suatu tulisan? Jika besok adalah besok, maka besoknya besok adalah lusa. Jika kemarin adalah kemarin, maka kemarinnya kemarin adalah? Ada yang tahu? Jika ada yang belum tahu, maka inilah selumbari, kemarin dulu. Apa saja yang pernah terjadi kemarin? Kemarinnya kemarin? Dan kemarinnya lagi? Vio hidup dalam tanda tanya besar. Hidupnya tidak pernah mudah semenjak dia menyadarinya. Pun, tidak ada yang mengulurkan tangan padanya. Membuatnya bertanya-tanya, apa yang telah terjadi di masa lalu sehingga dia mengalami semua ini? Seberat apa hidup kalian? Seberat apa pun itu, mungkin tidak akan lebih berat dari hidup Vio. Darah dan air mata mengucur deras sepanjang cerita. Dengan dirinya sendiri, Vio harus mampu melindungi diri dan adik satu-satunya. Dia harus menghadapi segala hal yang datang untuk mengganggu kedamaian hidupnya. Ancaman, penculikan, penyiksaan, tidak bisa dihindari dan diabaikan. Mampukah Vio meneruskan hidup dan mempertahankan kewarasannya?

Lihat lebih banyak
SELUMBARI Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Amea81
duh ngeri juga bab awal disuguhkan dengan bab bikin merinding. tapi bagus semangat Thor
2024-01-22 16:17:46
1
user avatar
Rosemala
semangat lanjut kak
2024-01-19 18:02:56
1
user avatar
Lidia Rahmat
wah keren banget kak
2024-01-19 14:32:38
1
user avatar
Rosa Rasyidin
nextnya ditunggu yaaa
2024-01-19 14:25:00
1
user avatar
Maia82
ceritanya seru semangat thor
2024-01-19 08:18:14
1
user avatar
Komalasari
Keren sekali, Kakak. Semangat
2024-01-19 07:28:31
1
user avatar
Ayaya Malila
dalem banget kata-katanya, kak. diksi juga oke banget. top pokoknya.
2024-01-19 06:38:32
1
user avatar
Rianoir
semangat kak
2024-01-18 22:02:50
1
user avatar
WealthyPetty
ide cerita unik, gaya bahasa nyaman dibaca, informatif pula. top bangeet
2024-01-18 20:02:44
1
user avatar
Rika Jhon
Lanjut thor,bagus dan seru
2024-01-18 17:17:50
1
user avatar
Saraswati_5
bagus dan buat penasaran ceritanya.
2024-01-18 15:46:30
1
user avatar
Auphi
Baru dengar selumbari. pasti seru ini ceritanya
2024-01-18 14:41:05
1
user avatar
Ocean Na Vinli
Semangat Thor
2024-01-18 14:35:17
1
user avatar
Liya Mardina
ceritanya bagus, semangat updatenya Thor
2024-01-18 14:15:21
1
user avatar
Allyaalmahira
Semangat terus kak
2024-01-13 21:53:05
1
  • 1
  • 2
16 Bab
Prolog
Tap tap tap. Suara derap langkah kaki menggema di sepanjang gang. Dengan kondisi yang sepi, suara langkah kaki itu terdengar keras sekali. Semua orang sudah masuk rumahnya masing-masing, meninggalkan semua hal yang telah terjadi hari ini dan bersiap memulai hari esok yang baru. Tidak ada seorang pun yang berada di luar rumah walau untuk melihat bulan purnama yang bersinar terang. Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku. Suhu malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, tidak heran, karena ini musim kemarau.Aku baru saja selesai membeli sebungkus nasi goreng dari perempatan jalan besar. Di waktu yang tidak lagi sore, tiba-tiba perutku merasa lapar, memaksaku untuk mencari makanan meskipun baru beberapa jam yang lalu selesai menyantap bakso. Jalanan lengang, lampu-lampu jalan mati, membuatku agak sedikit risau. Namun, semua itu sirna ketika Dewi Malam hadir memberikan penerangan yang benderang, mengubah suasana horor menjadi hangat.Beberapa saat yang lalu, masih banya
Baca selengkapnya
Bab 2
Dari semua hari di musim kemarau, Selasa ini langit tampak berwarna kelabu, berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya dengan matahari yang bersinar terik. Ibu-ibu yang tinggal di pemukiman kumuh segera berlari ke dalam rumah, membawa keluar benda apa pun yang dapat digunakan sebagai wadah, ada ember, bak mandi, panci, gentong air, bahkan botol air mineral pun dibuat untuk menampung air hujan. Sudah sejak tiga minggu yang lalu, sungai di belakang pemukiman mereka kering kerontang. Entah airnya menghilang kemana, membuat repot warga sekitar yang membutuhkan air.Menyeberang laut, di sebuah pulau nun jauh disana, pohon-pohon saling merapat, nampak hijau tumbuh dengan subur seakan menandakan persediaan air tanah begitu melimpah. Namun, sama seperti mereka yang tinggal di pinggiran ibu kota, mereka yang berada di pulau-pulau tersebut juga mengalami krisis air. Bukan karena tidak ada air, tetapi kurangnya sarana dan prasarana penunjang untuk mendapatkan air dari dalam tanah.Tes! Setetes a
Baca selengkapnya
Bab 3
“Syla!” seorang siswi yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Ia berbalik arah, menghadap ke sumber suara. Tak butuh waktu lama, ia langsung menatap mataku—orang yang memanggilnya. Wajahnya menatapku dengan bingung. Tentu saja, aku bukan tipe orang yang akan memanggil orang di depanku, aku biasanya hanya akan menyapa mereka ketika berpapasan atau berhadapan langsung denganku. Aku tersenyum, berlari kecil mendekati perempuan yang bernama Syla. Aku merangkul lehernya setelah Syla refleks berbalik lagi begitu aku sejajar dengannya. “Apa kabar?” Aku sedikit membungkuk, menyesuaikan tinggu tubuhku dengan Syla. Syla menatapku tajam, melepaskan lenganku dari bahunya kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku mengikuti Syla setelah menatap punggungnya sebentar. Aku melihat Syla memasuki gerbang sekolah saat menuruni angkutan. Aku tidak bisa langsung memanggilnya karena harus menyeberang jalan raya dulu. Sebenarnya aku tidak ingin memanggil Syla, namun aku tidak ingin pagi-pagi sudah
Baca selengkapnya
Bab 4
“Selamat pagi, semua!” Slamet berdiri di depan pintu kelas, menyapa para penghuni kelas yang hanya ada aku dan Syla. Aku memutar leher ke kanan dan ke kiri. Baru sebentar aku membaca dengan menunduk, leherku sudah pegal. Mata dan pikiranku masih terfokus pada bacaan sebelum Slamet mengatakan sesuatu yang membuat jiwaku melayang. “Lehermu kenapa?” Deg! Aku langsung menghentikan gerakan leherku. Walaupun pandanganku tertuju pada buku, keringat dingin mengucur deras di punggungku. Aku mendongakkan kepala, menatap Slamet dengan pandangan yang mungkin tidak bisa aku mengerti. Pertanyaan yang dilemparkan Slamet pastinya bukan untuk Syla. Temanku ini kalau sedang serius, bahkan bisa menjadi patung sungguhan. Untung saja ia tidak lupa bernapas. Jadi, bagaimana Slamet bisa tahu? Di leherku tidak ada benda apapun. Aku bahkan tidak meletakkan plester di sana, sengaja agar tidak mencuri perhatian. Hanya ada segaris tipis bekas luka seperti tangan yang teriris pisau, bahkan bekasnya juga akan
Baca selengkapnya
Bab 5
Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa. Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan. Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin
Baca selengkapnya
Bab 6
Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa. Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikut memenuhi kantin dan saling berebut antrean untuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu. Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tem
Baca selengkapnya
Bab 7
Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or
Baca selengkapnya
Bab 8
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
Baca selengkapnya
Bab 9
 “Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t
Baca selengkapnya
Bab 10
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status