“Bu, ada hal penting apa sampai aku harus cepat pulang?” tanya Kamila sesampainya di rumah.“Kakakmu sudah menunggu di ruang tengah,” terang Mira, ibunya Kamila.“Kak Naya?”“Ya.”Dia tahu aku di Jakarta. Dia mau apa, ya? Tanyanya dalam hati.“Hallo, apa kabar Kak?” sapa Kamila seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman, tetapi Kanaya mengabaikan. Ia pun menarik kembali ulurannya.“Buruk,” sahut Kanaya ketus setelah persekian detik.“Kakak ada perlu sama aku?” “Duduklah!”Kamila duduk tak jauh dari kakaknya. “Bicaralah!”“Berhentilah menggoda Elang!” ucap Kanaya dengan menatap tajam Kamila.Jleb! Bak busur panah yang melesat tanpa aba-aba. Kamila langsung terhenyak. Sungguh tidak mengira kalau Kanaya sudah mengetahuinya. “Maksud Kak Naya apa? Aku enggak ngerti.”Aku juga ingin rasanya dari awal bilang sama kamu, kalau Elang suka bermain denganku. Agar rumah tanggamu yang harmonis hancur lebur, tetapi Elang selalu mewanti-wanti jangan sampai Kanaya tahu. Kamila berkata
Dalam waktu yang sama, Kanaya tengah mondar-mandir dalam kamarnya. Ia sedang mempersiapkan diri untuk berbicara kepada Elang. Ia berusaha menguatkan dirinya agar nanti tidak keluar air mata di depan suami pengkhianat. Ia juga memikirkan bagaimana caranya agar tidak ketahuan Anna dan Alya. Karena sekuat apapun menahan diri, kemungkinan besar keributan akan terjadi.Apa aku ajak Elang bicara di kamar mandi saja? Atau aku nyalakan musik saja agar tersamarkan bila ribut nanti. Hati Kanaya bicara.Perasaan gugup, panik dan marah bercampur jadi satu. Banyak berpikir membuat Kanaya kehausan. Ia gegas keluar kamar dan menuruni anak tangga untuk mengambil air minum dingin di lemari es lantai bawah. Saat melewati ruang TV, ia hanya mendapati Alya yang sedang asik menikmati donat gigit demi gigitan.“Al, kak Anna mana?” tanya Kanaya menghampiri.“Kak Anna mungkin sama papa. Tadi di sini. Aku habis ngambil donat di mobil,” terangnya sambil menggigit donat toping coklat.“Oh, papa sudah pulan
Kanaya langsung menyusul Anna. Ia sangat khawatir dengan keadaan anaknya yang tengah kecewa berat. Satu ketukan, dua ketukan dan pintu pun dibuka setelah tiga ketukan.“Mah,” lirih Anna. Ia langsung menghambur ke pelukan Kanaya.“Mah, Kakak kenapa?” tanya Alya penasaran.“Sayang, lebih baik kamu masuk kamar. Ini sudah malam. Nanti kalau Kak Anna sudah merasa baikan, pasti dia akan cerita sama Alya.”“Ok, Mah. Aku kasih waktu buat Kakak. Awas ya, ntar kalau enggak cerita!”“Iya,” sahut Anna pelan.“Hah! Mama juga kayak yang habis nangis. Kok kompakan dengan Kak Anna. Ih kalian ada apa, sih?” Alya penasaran.“Nanti Mama juga akan cerita. Beri kami waktu dulu, Sayang.”“Ya. Kalau begitu aku masu bobo dulu. Bye Mah,” pamit Alya.Untunglah Alya tidak memaksa, ia pun langsung menuju kamarnya. Namun saat hendak masuk kamar, ia melihat papanya basah kuyup.“Eh Papa,” tegur Alya.“Iya, Sayang. Belum tidur?”“Ini baru mau masuk kamar. Papa kenapa malam-malam malah main air?” alis pe
Malam semakin larut. Usai menenangkan Anna yang terguncang, Kanaya hanya duduk sendiri di ruang tengah. Ia menatap foto keluarga dengan bingkai besar yang bertengger di dinding. Senyuman di foto itu seakan tidak pernah pudar. Nyatanya bukan hanya pudar, tetapi terampas.Slide kenangan keromantisan Elang malah terus berputar di kepala Kanaya.Saat hari mendung Elang berkata, ‘Ay … tahukah pagi ini sinar mentari malu-malu untuk menampakkan diri? Itu karena kamu lebih bersinar darinya.’Saat hari anniversary ke 15 tahun Elang berkata, ‘Ay … bilangan tahun yang kita lalui bersama, mengajariku satu hal. Bahwa tak ada yang lebih baik, tulus dan berharga selain dirimu.’Saat malam hari Elang berkata, ‘Ay … aku sudah mengantuk dan mau tidur, tetapi kepikiran kamu terus. Semoga pas bangun nanti tidak lagi.’ Pagi pun tiba. Ia berkata lagi, ‘Ay … ternyata sama saja. Saat bangun aku juga masih kepikiran kamu terus.’Saat mengajak menghadiri acara kantor Elang berkata, ‘Ay … suatu kebanggaan kamu
Kanaya masih menghitung mundur, 94, 93, 92, ….“Ay, apa yang kamu lakukan?”Tiba-tiba saja Elang datang. “Diam kamu!” bentak Kanaya.“Mas, tolong!” teriak Kamila dengan megap-megap.“Ay, kalau dia mati kamu bisa dipenjara?”“Haha … tidak akan,” seringai Kanaya. “Aku bisa menghapus rekaman CCTV. Toh tak ada yang lihat juga, kecuali kamu. Anggap saja ini kecelakaan,” tukasnya lalu.“Ay, ta-tapi apa kamu tega? Dia itu adikmu, lho.”“Haha … kenapa harus? Dia saja tidak peduli dengan perasaanku.”“Ay, apa boleh aku menolongnya sebagai rasa kemanusiaan saja?”“Silahkan, tapi sekarang juga ceraikan aku!”Kanaya melenggang pergi meninggalkan Kamila yang tengah berjuang untuk hidup. Sekilas Elang menoleh kepada selingkuhannya yang memohon.“Mas … to-long,” ucapnya sebelum kepala masuk air kembali.Rupanya Elang tak lebih dari seorang pengecut. Ia hanya bisa melihat iba tanpa berani menyelamatkan. Gertakan cerai Kanaya baginya lebih menakutkan dari pada melihat mayat mengambang di k
Deg! jantung Kanaya menghentak. Ia bingung harus jelaskan apa? Netranya bersirobok dengan Anna. Saling menatap dalam diam. Sedangkan Elang menarik napas panjang dan berusaha sembunyikan kepanikannya. Ia takut sekali Alya tahu akan kesalahan yang telah diperbuat kepada mamanya. Keringat dingin lolos begitu saja menetes dari sela rambut sampai leher.“Kok pada diam? Apa hanya aku yang tidak tahu?” rajuk Alya.“Papa sama saja dengan papa-nya Devi,” cetus Anna tiba-tiba.“Ann ….” Kanaya tak percaya kalau Anna member tahu adiknya begitu saja.“Sama? Sama apanya? Ganteng?” Alya memastikan.“Ekhm, lebih baik kita habiskan sarapannya,” ujar Elang mencoba terlepas dari topik.“Engga, Pah. Aku mau tahu apanya yang sama dengan papa kak Devi,” kukuh Alya.“Papa memiliki cewek lain selain mama.”Sontak Kanaya dan Elang menatap Anna.“Bentar ….” Alya seakan butuh waktu untuk mencerna apa yang Anna sampaikan.“Papa selingkuh. Papa khianati kita, Al,” tegas Anna gemas.“Apa?” Mata Alya mem
Kanaya dan kedua putrinya habiskan waktu bersama di rumah. Untuk mengusir kejenuhan, mereka bermain ular tangga. Meski sedang diliputi kepedihan, tetap hidup ini harus berjalan.“Mah, Alya curang tuh! Kocok dadunya dua kali.”“Eh, No No Al!”“Enggak Mah, Kak Anna fitnah tuh. Dia takut kalah dari aku.”“Fitnah gimana? Orang iya, kamu curang.”“Udah-udah. Kita ampuni kali ini.”“Enak ya jadi anak kecil, curang aja diampuni.”“Hehehe,” kekeh Alya.“Ayok Ann, sekarang giliran kamu.”“Ya.” Anna pun mengocok dadunya dan keluar angka 5. Angka yang membawanya menaiki tangga langsung melewati satu baris. “Yes! Rezeki anak baik,” soraknya.“Good, Ann. Sekarang giliran Mama.” Kanaya mengambil alih dadunya dan langsung mengocok. Keluarlah angka 6. Angka tersebut memberi kesempatan kepada pemain untuk mengocok dadunya lagi. Kocokan kedua keluar angka 3. Angka tersebut membawa Kanaya menaiki tangga melampaui Anna.“Waw keren. Mama bentar lagi sampe garis finish,” seru Anna.“Sekarang gi
Ini hari kedua Kamila masih muntah-muntah. Dibujuk ke dokter untuk berobat masih saja menolak.“Mil, ayo makan dulu. Seenggaknya perut tidak terlalu kosong saat kamu muntah.” Mira cemas dengan keadaan anaknya yang sudah pucat pasi.“Tidak mau, Bu. Aku maunya yang seger-seger. Kayak rujak gitu.”Mendengar keinginan Kamila, Mira menjadi curiga. “Mil, kamu dan Elang pernah melakukan hubungan suami istri?”“Ya iyalah, Bu. Memangnya apa lagi yang kami lakukan selain itu,” jawabnya enteng.“Astaga!” Mil, kamu biasa datang bulan tanggal berapa?”“Biasanya sih, akhir bulan.”“Mil, ini sudah tanggal awal bulan. Apa kamu sudah datang bulan?”“Datang bulan?” Sadar akan pertanyaan ibunya, Kamila langsung menyambar kalender duduk yang ada di meja samping bed. “Aku telat tiga hari,” serunya lalu.“Apa? Jangan-jangan kamu ….”“Hamil. Yes!” girangnya.“Hamil hasil perselingkuhan, kok malah senang?”“Ini tuh rezeki, Bu. Rezeki yang tidak akan bisa Mas Elang tolak? Tahu sendiri kan bagaiman