Deska memberhentikan kendaraannya di sebuah lahan parkir dari suatu gedung. Ia mematikan mesin dan melepas sabuk pengaman. Ia bergerak tanpa berpikir. Keluar dari dalam mobil dan membukakan pintu untuk sang kekasih. "Terima kasih," kata Yepa ketika ia turun dari dalam kendaraan tersebut. "Ya." Deska tersenyum seraya menarik tubuh sang kekasih ke sisinya. "Di sini tempatnya." Begitu Yepa mendongak, ia mendapati sebuah bangunan berlantai dua dengan plang kayu bergantung yang bertuliskan "Bar Lussuria" di atasnya. Ia mengerjap. Dari luar penampilan tempat ini sangatlah biasa-biasa saja. Seluruh gedung bercat putih tanpa dekorasi yang berlebih. Hampir tidak membocorkan esensi yang berkenaan dengan "nafsu" dari arti tertentu. "Bagaimana?" Deska memegangi kedua bahu sang kekasih dengan sikap yang sangat alami. "Nama tempat ini sangat menarik, bukan?" Yepa mengangguk dengan kosong. "Sangat unik," akunya. Bar macam apa ini? Tidakkah sebutan ini terlalu ambigu? Deska terkekeh pelan. Ia me
"Maaf, Anda siapa?" Orang itu tidak segera menyahut. Sikapnya justru tidak kalah bimbangnya dengan penampilan Yepa yang bermandikan keraguan. "Maaf." Ia meneguk ludahnya sendiri. Ada harapan di dalam sorot matanya. "Apa Eden adalah ibumu?" Pelukan Yepa pada kedua kantong kertas itu kian mengerat. Tidak khawatir mereka akan rusak. Pikirannya teralihkan. Dugaannya tidak keliru. Mendadak ia merasa wajahnya memanas. "Tuan … Anda, Anda kakekku?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Taveti Hirawan tidak perlu merisaukan perasaannya lagi. Tanpa pertimbangan apa pun, ia menarik Yepa ke dalam dekapannya. Membungkusnya dengan kerinduan yang kentara. "Ya, cucuku," katanya parau, "ini Kakek." Air mata pun menitik. Yepa membiarkan tubuhnya tenggelam ke dalam rengkuhan pria paruh baya itu dengan seluruh perasaannya. "Kakek, aku bertemu denganmu," bisiknya. "Ya, ya, cucuku, akhirnya kita bertemu," balasnya menegaskan. Ia pun tak kuasa menahan rasa haru yang membayangi wajahnya. "Kakek menemukan
Taveti menyesap teh dan menghela napas. Ia menyimpan kembali cangkir itu ke atas meja dengan gerakan alami yang sangat tenang dan elegan. "Karena kau bersedia, apa kau punya cara untuk membantu Kakek?" "Nah, ini dia." Yepa mendesah, tetapi tetap mengutarakan pendapatnya. "Karena kakak dilahirkan di luar nikah, pemerintah sudah pasti mengecapnya sebagai anak yatim piatu. Otomatis setiap hal yang berhubungan dengannya, mereka akan segera menyegelnya apa pun jenisnya." Ia mendecakkan lidah. "Uang juga belum tentu bisa diandalkan dalam hal ini. Walaupun kecil, ada kemungkinan kakak berdiri di belakang keluarga yang setara dengan Kakek. Jika hal itu terjadi, maka akan lebih sulit." "Benar." Taveti mengangguk menyetujuinya. "Untuk menemukanmu memang agak mudah. Namamu tercatat di dalam kartu keluarga dan anak itu … ah, hanya jenis kelaminnya saja yang kutahu. Akan lebih bagus lagi jika ada pihak yang mau berbagi dengan kita." Yepa mengerti akan kebenaran dari keluhan kakeknya ini. "Kecua
Karena kesempatan itu datang tepat ke depan pintu, Yepa tidak akan menyia-nyiakannya. "Kakek, aku punya permintaan," katanya tiba-tiba. Taveti memandangi wajah cucu perempuannya dengan ramah. "Apa yang bisa Kakek bantu?" "Aku ingin menjatuhkan seseorang," katanya tanpa sembunyi-sembunyi, "sebagai gantinya aku bersedia melakukan apa pun untukmu." "Apa pun?" Taveti seketika mengubah wajahnya dan bertanya dengan hati-hati, "Kau yakin dengan perkataanmu itu?" Yepa mengangguk dengan sungguh-sungguh. Ia memahami dengan jelas apa arti dari kedua kata tersebut. Ia bukan lagi dirinya yang dulu. Gadis lugu yang selalu menginginkan segala hal serba pertama. Ia tahu ada balasan untuk semua ini. "Jadi, kau akan mencari kakakmu setelah hal ini berakhir?" terka Taveti tanpa mengalihkan pandangan. "Berapa lama itu?" "Ya, Kakek." Yepa mengangguk dengan perasaan lega. Ia tidak segera menjawab pertanyaan selanjutnya, tetapi memikirkannya terlebih dahulu. Menurut perkiraannya, rencana Deska dan Yuvi
"Deska, bagaimana menurutmu?" Yuvika memamerkan busana yang ia kenakan dengan penuh semangat. Gaun pendek berwarna kuning pucat yang membungkus indah tubuhnya. Mata Deska hanya memindai penampilan Yuvika dengan pandangan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. "Bagus," sahutnya singkat. Sudah Yuvika duga tanggapan seperti itu yang akan meluncur dari mulut Deska. Ia mendesah dan tetap memasang wajah tersenyum. Tidak perlu berkecil hati. "Maaf, aku terlalu bersemangat," katanya. "Aku tidak bisa menahan diri ketika mendengar berita ini. Jarang sekali kakek mau datang ke Venesia." Deska mengangguk. "Tidak apa-apa." Ia bisa mengerti. Pria yang senang berpetualang itu memang memberinya kejutan. Mendadak ingin menetap di Kota Air ini. "Karena kau sudah siap, kita akan pergi sekarang?" "Ya." Yuvika tersenyum manis. Ia menghampiri Deska dan berdiri di sisinya. "Kakek pasti akan senang melihatmu." Meskipun Deska ingin memanjat dengan menggunakan nama keluarga itu, tidak ada ketertarikan
Baginya, menerima sarapan dari Yepa secara cuma-cuma adalah suatu keajaiban dunia. Bagaimana tidak? Ia terlalu mengenalnya dengan sangat baik. Tidak mungkin pundi itu akan terbuka dengan tiba-tiba kalau tidak ada maksud di baliknya. "Apakah dunia akan segera runtuh?" tanyanya pada diri sendiri. Laiv menggelengkan kepala dengan ngeri. Tidak mungkin. Imajinasinya terlalu tinggi. Bisa-bisa ia menjadi gila sebelum waktunya. Lagi pula, ia sudah memutuskan untuk membantunya. Ia tidak boleh meragukannya apa pun yang terjadi. Dan ia baru menyadari ada sesuatu yang janggal setelah semua hidangan itu memasuki perutnya tanpa halangan. Ini mengenai sosok yang mengantarkan makanan tersebut. Dari sudut pandangnnya, orang itu tampak seperti seorang pengawal kelas elit. Ia pun merasa kalau orang itu bukan milik Deska. Bukannya meremehkan, tetapi ia tahu benar pria itu tidak memiliki rasa dalam hal ini. Yah, sejak kapan pacar dari sahabatnya itu sangat berhati-hati dan suka menggunakan pihak ketiga?
Taveti duduk sembari menyilangkan kaki dengan wajah dingin di ruang pribadi. Tidak ada yang tahu suasana hatinya saat ini. Apalagi mencoba membaca pikirannya. Selain itu, kondisi ruangannya yang bergaya klasik membawa sedikit nuansa kaku dalam setiap napas. Tidak ada yang akan pernah mengira bahwa dirinya memiliki sisi yang satu itu. Sergio yang berseberangan dengan tuannya berdiri dengan tenang. Tidak terpengaruh oleh atmosfer apa pun. Hanya menantikan dengan sabar perintah itu datang maupun memberikan pendapat. Suara desahan itu terdengar halus. Taveti mengubah temperamennya menjadi lebih bersahabat. Ia mengambil gelas wine dan memainkannya dengan santai. Cairan berwarna merah tua tersebut bergerak mengikuti arus sang pengendali. "Aku tidak punya masalah dengan anak dari keluarga Jahan itu," katanya perlahan. "Tapi Nirwasita ini … ah, dia seperti bom waktu yang akan segera meledak." Ia melirik orang kepercayaannya. "Apa cucuku yang satu itu menghubungiku?" "Tuan, Nona Yepa mening
Di kehidupan sebelumnya, satu hari setelah Yepa resmi menjadi kekasih Deska, seorang wanita sekonyong-konyong datang dan mendeklarasikan sebuah pernyataan yang cukup membuatnya tidak bisa tidur di malam hari. Pada saat itu ia tidak terlalu menganggap serius pengakuan dari wanita tersebut. Baginya itu hanyalah kentut belaka dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Deska tidak akan pernah berpaling dari dirinya. Namun, kini ia merasa kalau wanita itu mungkin sudi membantu saingan cintanya ini. Ia sudah mendengar beberapa hal mengenai wanita itu dari mulut Deska sendiri. Dan ia tidak tahu harus memberi jawaban apa sebagai tanggapan. Orang ini memiliki hobi yang tidak biasa. Yakni memelihara pria cantik dan menggauli mereka setiap malam dan membuangnya ketika bosan. "Wanita yang ada di atas, eh?" Yepa memijat kening. Sungguh ia sendiri, sebagai wanita tulen, masih tersihir oleh penampilannya yang sangat luar biasa. Saking cantiknya, itu jatuh menjadi tampan. Hampir membuat dirinya bingung k