LOGINLima tahun menikah tanpa sentuhan dari suaminya, Aina tak pernah menyangka jika suaminya malah menyuruhnya menyewa gigolo agar bisa hamil. Tapi Rey, si gigolo yang usianya tujuh tahun lebih muda dari Aina justru mampu memberikan kenyamanan dan kehangatan yang selama ini ia rindukan.
View More“Hans, malam ini bisa gak kita lakuin itu?” suara Aina pelan tapi tegas. Ia duduk di ujung ranjang, hanya mengenakan lingerie tipis, rambutnya tergerai menutupi sebagian bahu.
Hans yang baru masuk kamar hanya melirik sekilas sebelum melepas jasnya. “Aku capek, Aina. Lain kali.”
“Lain kali?” Aina berdiri, menahan nada kesal. “Udah lima tahun menikah, ‘lain kali’-mu itu gak pernah datang. Kita gak pernah berhubungan, terus gimana bisa punya anak?”
Hans mendengus. “Bilang aja belum rezekinya. Apa susahnya?”
Aina membulatkan mata, nadanya meninggi. “Susah karena semua orang nyalahin aku! Ibu kamu terus ngomel, bilang aku mandul, padahal kamu yang gak pernah mau nyentuh aku!”
Hans berhenti, tapi tak menoleh.
Aina melangkah mendekat, suaranya bergetar antara marah dan sedih. “Aku tahu pernikahan ini karena Ibu kamu. Tapi itu bukan alasan buat kamu memperlakukan aku kayak gini. Aku istri kamu, Hans. Aku punya hak buat diperlakukan layaknya seorang istri.”
Ia menatap punggung suaminya yang tetap membisu. “Aku gak minta banyak. Gak tiap hari, gak lama. Tapi setidaknya kamu berusaha. Seminggu dua atau tiga kali aja. Aku cuma pengen ngerasa masih punya suami, bukan patung di rumah sendiri.”
Hans berbalik, menatapnya dengan wajah lelah. “Aku gak mau maksa diri buat sesuatu yang aku gak pengen.”
Aina terdiam, air matanya jatuh tanpa suara. “Berarti cuma aku yang peduli, ya? Cuma aku yang masih mau nyelamatin rumah tangga ini.”
Hans menghela napas keras, menatapnya dengan dingin. “Kamu tuh kenapa sih, Aina? Semua hal gak harus tentang itu. Aku udah cukup capek di luar, jangan bikin tambah sesak di rumah.”
Aina melangkah lebih dekat. “Aku juga capek, Hans. Tiap kali ke rumah Ibu kamu, aku disindir karena belum punya anak. Aku dituduh gak bisa ngasih cucu, sementara alasan aku juga belum hamil itu karena kamu gak pernah mau nyentuh aku!”
Hans mengambil bantal dari ranjang, nada suaranya naik. “Kalau kamu malu, ya udah. Gak usah ke sana lagi!”
Aina menatapnya tajam. “Kamu cuma bisa lari dari semuanya, ya? Dari tanggung jawab, dari aku?”
Hans membalik tubuhnya, matanya menusuk. “Aku gak mau bahas hal gak penting tiap malam! Aku kerja buat rumah ini, buat hidup kamu! Gak cukup?”
Aina menatapnya dengan mata basah, suaranya pecah. “Yang aku mau bukan uangmu, Hans! Aku cuma pengen kamu... nyentuh aku.”
Hans terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan.
“Kalau cuma itu yang kamu mau, gampang, Aina.” Hans mendekat sedikit, suaranya dingin dan menusuk. “Sewa aja gigolo. Banyak di luar sana yang bisa nyenengin kamu.”
Dunia Aina seketika hening. Nafasnya tercekat, tubuhnya kaku.
“Kamu… barusan ngomong apa?” suaranya gemetar, nyaris tak percaya.
Hans menatapnya datar, tak ada penyesalan sedikit pun di wajahnya. “Kamu denger, kan? Aku serius. Kalau cuma butuh itu, sewa aja. Aku gak akan larang.”
Aina melangkah mendekat, matanya membulat tak percaya. “Kamu sadar gak kamu ngomong apa, Hans?! Aku istri kamu! Istri yang kamu nikahin di depan keluargamu!”
Hans mendengus pendek. “Justru karena itu. Aku tahu kamu gak akan bisa terus hidup kayak gini. Tapi kalau kamu terus nuntut ke aku, kamu cuma bakal kecewa. Jadi, ya udah ambil jalan lain.”
Aina memelototinya, air mata jatuh deras. “Kamu pikir aku perempuan macam apa, hah? Kamu pikir aku segitu rendahnya sampai harus—”
“Bukannya aku suruh kamu selingkuh,” potong Hans datar. “Cuma sewa. Simple. Kamu gak perlu ngerasa bersalah, gak perlu ngemis-ngemis perhatian aku tiap malam. Aku juga gak akan ngadu ke Ibu, gak akan ganggu. Bahkan kalau kamu sampai punya anak pun, aku gak keberatan ngakuin itu anakku. Dunia luar gak perlu tahu, kan?”
Aina terpaku. “Kamu... gila?” suaranya nyaris berbisik. “Kamu tega ngomong kayak gitu ke istri kamu sendiri?”
Hans melengos, mengambil jaket yang tadi ia lempar ke kursi. “Aku cuma realistis, Aina. Kita nikah karena Ibu.”
Aina menatapnya dengan wajah hancur. Sementara itu, Hans sudah berbalik, berjalan keluar kamar tanpa ekspresi.
***
“Kalau emang suami lo nyuruh sewa gigolo, yaudah, sewa aja sekalian,” kata Amel santai sambil menyerahkan segelas teh.
Sejak beberapa jam yang lalu, Aina memang sudah ada di kosan sempit milik Amel, sahabatnya untuk curhat tentang suamina yang semalam menyuruhnya menyewa gigolo.
Aina langsung menatapnya tak percaya. “Lo gila, Mel? Masa gue beneran nurutin omongan begituan?”
Amel bersandar ke dinding. “Lah, terus mau lo apain? Lo udah lima tahun digituin, Na. Lima tahun gak pernah disentuh. Kalau itu bukan penelantaran, gue gak tau lagi apa.”
Aina terdiam, menunduk. “Gue cuma… gak habis pikir aja. Gue pikir setelah nikah hidup gue bakal tenang. Gue udah gak punya siapa-siapa, Mel. Nyokap pergi waktu gue SMP, bokap mabuk tiap hari, terus meninggall pas gue kuliah. Gue cuma pengen punya keluarga yang bener.”
Amel menatapnya iba. “Tapi lo nikah sama orang yang bahkan gak nganggap lo istri.”
Beberapa detik hening. Aina seolah memikirkan tiap perkataan sahabatnya yang hampir tak bisa disangkal.
“Na, gue boleh jujur gak?” kata Amel akhirnya.
Aina mengangkat kepala. “Apa lagi?”
“Jujur, liat Hans yang kayak gitu, gue jadi mikir dia itu gay.”
Aina refleks tertawa pendek, tapi getir. “Ngaco lo.”
“Ngaco apanya? Coba pikir dengan logis deh. Cowok mana yang lima tahun tidur serumah sama istrinya tanpa pernah nyentuh? Bahkan nyuruh lo nyari laki-laki lain? Itu bukan dingin lagi, Na. Itu aneh,” potong Amel langsung, ia membenarkan posisi duduknya karena rasa antusiasnya.
Aina terdiam lama. Ia ingin menyangkal, tapi kalimat itu terlanjur menancap. Bahkan, rasanya cukup masuk akal.
Lelaki normal, mungkin tak akan setahan itu tidur satu kamar dengan seorang wanita selama lima tahun tanpa menyentuhnya sama sekali.
Amel menatapnya lekat. “Udah jelas banget, Na. Hans itu gay. Makanya lo gak bakal dapet apa-apa kalo terus nunggu dia berubah. Lagian, yang nyuruh lo sewa gigolo juga dia, kan? Yaudah, lakuin aja.”
Aina menatap Amel, ragu. “Lo serius?”
“Serius lah. Toh bukan lo yang mulai. Dia yang nyuruh. Anggap aja lo cuma nurutin perintah suami sendiri,” jawab Amel santai, tapi suaranya mantap.
Aina kembali diam. Pikirannya berputar, antara malu, marah, dan… penasaran. Lama kemudian, ia menghembuskan napas pelan. “Emang… caranya gimana?”
“Tapi Hans—”“Udahlah Aina, aku ini suami kamu. Jadi kamu harus nurut apa kata aku.” Ucap Hans dengan cepat memotong ucapan Aina yang belum selesai dan setelah mengatakannya, ia dengan segera mulai berlalu pergi untuk ketiga kalinya meninggalkan Aina sendirian.Melihat suaminya lagi-lagi akan berlalu pergi, Aina dengan cepat berteriak. “Hans… Hans!” namun, kali ini. Seberapa keras pun usahanya dalam berteriak. Tampak suaminya, Hans. Tetap fokus pada jalannya dan tak lagi menggubris teriakan dirinya.Dengan menghela napasnya. Aina yang melihat tubuh Hans semakin menjauh. Mulai mengusap wajahnya dengan kasar. “Apa yang harus aku lakukan, agar Hans menarik lagi keputusannya itu?” lirihnya sambil menggigit bibir bawahnya dengan kasar.***Esoknya, Aina yang lagi-lagi bangun telat seperti kemarin. Hanya bisa menghela napasnya dengan kasar. Lalu setelahnya, ia yang tiba-tiba merasa pusing, mulai memijit keningnya dengan pelan.Namun, di saat ia memijit keningnya dengan pelan. Terdengar suar
Aina tentu terkejut dengan pertanyaan Hans barusan. Namun, dibanding memperdulikan. rasa terkejutnya, ia lebih memilih mengalihkan tatapan matanya dan berkata. “Tentu aja engga.”“Yakin?” tanya Hans dengan raut wajahnya yang serius.Entah kenapa Aina sekarang malah merasakan dadanya berdetak dengan cepat. Tubuhnya sedikit gemetar. Namun, ia tetap memilih berkata. “Tentu aja!” ucapnya dengan tetap tak melihat wajah sang suami.Hans kembali tersenyum sinis. “Kalo kamu emang yakin, kenapa ga tatap aku saat ngejawabnya? Kenapa kamu malah terus mengalihkan tatapan seperti orang yang gugup dan menyembunyikan suatu kebenaran?”Aina merasa semakin gugup mendengar ucapan Hans barusan. Karena rasa gugupnya itu, kedua tangannya tampak mulai mengeluarkan keringat dingin dan lidahnya terasa kelu untuk membalas ucapan Hans.Melihat sang istri hanya terdiam. Hans hanya bisa semakin memperlebar senyum sinisnya. Lalu setelahnya, ia berkata. “Udahlah, aku besok harus kerja. Jadi aku mau ke atas sekara
“Hans jawab?” ucap Aina lagi dengan suara yang lebih keras, di saat Hans malah terdiam dan tak menjawab pertanyaannya.Dengan menghela napas, Hans tak segera menjawab pertanyaan Aina. Tampak pria itu sekarang malah terlebih dahulu mengalihkan tatapannya pada Mbok Sum yang ternyata masih ada di sekitar mereka. “Mbok bisa pergi ke belakang sekarang!” Mbok Sum yang sebenarnya merasa penasaran dengan kebenaran ucapan sang Nyonya rumah tentang Rey yang dipecat. Namun tak bisa membantah perintah sang Tuan rumah, akhirnya hanya bisa menurut saja. “Ah… baik Tuan.” Ucapnya dan dengan segera sekaligus sedikit terpaksa, wanita paruh baya itu mulai berjalan pergi meninggalkan Hans dan Aina.Lalu saat Mbok Sum sudah berlalu pergi dan tak lagi tampak di pandangan mereka. Tampak Hans dengan menghela napas, kembali mengalihkan tatapannya pada sang istri yang berada di sampingnya.Aina yang lagi-lagi melihat suaminya hanya terdiam sambil menatapnya. Akhirnya hanya bisa kembali memanggil namanya. “Han
“Ga bisa gitu dong Pak!” ucap Rey dengan bola mata yang masih membulat sempurna.Dengan memperlihatkan lagi senyum sinis di wajahnya. Hans menjawab. “Kenapa ga bisa?”“Karena saya di sini dipekerjakan oleh Bu Aina. Jadi Bapak ga bi—”“Kamu lupa, saya di sini Tuan rumahnya. Jadi terserah saya, mau saya menghentikan para pekerja ataupun tidak.” Ucap Hans dengan cepat memotong ucapan Rey yang belum selesai.Rey yang merasa semakin marah, tapi tak bisa membantah fakta yang dilontarkan Hans. Tentu saja sekarang membuat dirinya, hanya bisa terdiam dan mengepalkan kedua tangannya dengan erat.Hans yang melihat Rey terdiam, akhirnya mengangkat jari telunjuknya pada pintu keluar rumah. “Jadi sekarang, saya persilahkan kamu untuk keluar!” ucapnya yang berusaha mengusir Rey dengan halus.Dengan semakin mempererat kepalan tangannya, Rey juga mulai menatap tajam wajah Hans. “Saya ga bakal keluar, kecuali Bu Aina selaku majikan saya yang memintanya.”Mendengar penuturan Rey yang masih keras kepala












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.