Sebenarnya Yepa sudah mampu berinteraksi secara normal dengan Laiv. Hanya saja ia tetap merasa aneh dengan perubahan ini. Ia lebih nyaman dengan wajah bodoh itu.Sementara itu, Laiv masih sedikit takut jika Yepa tidak bisa menerima kondisinya saat ini. Belum lagi mengenai perasaannya yang terus tertunda hingga sekarang.Keduanya bertemu kembali, tetapi di lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi gudang tua usang yang tak terpakai, tetapi sebuah pondok.Yepa menguap lebar. "Jangan lihat aku seperti itu," katanya dengan nada bosan. "Aku tidak menerima berita apa pun dari kakek.""Bukankah seharusnya dia tahu kalau kau diculik?" Laiv mulai berpikiran buruk. "Kenapa dia tidak mencemaskanmu? Apakah orang-orangnya lalai?"Otak pria ini benar-benar sudah tersandung. Yepa memutar mata. "Kenapa tidak? Yang menculikku tidak lain kakakku sendiri. Masalah?""Tapi itu bukan kehendaknya," bantah Laiv. "Itu pekerjaan orang-orangnya. Ini kecelakaan.""Ya, kecelakaan yang membawa berkah," timpa
"Apa ada yang kau inginkan?"Deska menggeleng lemah saat ayahnya bertanya. Ia pun menjawab dengan samar-samar, "Tidak ada." Ia merasa cukup dan tidak menginginkan apa pun.Zalka menghela napas. Sejak putranya bangun, perilakunya sudah seperti itu. Entah apa yang salah, tetapi ia merasa ada yang berubah."Kalau begitu istirahatlah. Dokter akan segera datang untuk memeriksamu lagi," katanya mengingatkan."Aku tahu." Deska mengangguk. Ia memaksakan sebuah senyum. "Papa juga sebaiknya beristirahat." Ia tahu ayahnya tidak terlihat santai setelah dirinya bangun tadi malam.Di depan putranya sendiri, ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya. Bagaimanapun juga, ia masih merasa cemas akan kondisi Deska yang belum pulih benar."Jangan khawatirkan aku," katanya dengan alami. "Aku baik-baik saja."Karena ayahnya berkata seperti demikian, Deska tidak akan repot-repot lagi memperingatkannya. Ia pun menutup mata sambil menunggu dokter datang.Ruangan itu menjadi hening. Kemudian setelah beberapa s
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Enzi tidak suka berbasa-basi dan tatapannya sangat menusuk. "Kau datang menemuiku, pasti ada sesuatu, 'kan?"Laiv belum menyampaikan maksudnya, tetapi Enzi sudah memotongnya terlebih dahulu. "Apa aku tidak boleh mengobrol denganmu?" Sebenarnya ia bisa langsung saja ke inti tujuan, tetapi ia tidak melakukannya karena berpikir mungkin ia bisa mengorek satu-dua hal darinya sekaligus mengenang masa lalu.Melihat Laiv bersikeras, Enzi tidak menolak. "Baiklah." Ia bukan tipe orang yang suka merobek topeng lawannya. Juga bukan individu yang sok sibuk. Lagi pula dirinya punya waktu senggang saat ia menginginkannya. Ia pun mengeluarkan sebungkus rokok. "Kau keberatan?"Laiv menggeleng, tetapi tidak menolak. "Aku bisa menemanimu," katanya. Lagi pula ia sudah lama tidak merokok."Bagus."Enzi membuat isyarat agar Laiv mengikutinya dan pergi ke sebuah area yang tidak jauh dari tempat semula. Lokasi tersebut adalah sebuah area terbuka yang pernah menjadi la
Tangan putih pucat itu terulur, bergerak lemah menggapai udara kosong. Dalam bidang pandangnya, sesosok punggung tegap seorang pria terpantul di dalam kedua bola matanya yang muram. "Jangan pergi!" Langkah kaki pria itu seketika terhenti saat mendengar permohonannya. Ia berbalik dengan air muka dingin. Tatapan matanya memang tertuju ke arahnya, tetapi sosok menyedihkan itu tak tecermin di dalam indra visualnya yang acuh tak acuh. "Apa lagi yang kau inginkan?" tanyanya tanpa emosi. "Aku sudah memberimu kehidupan yang baik. Pakaian, makanan, uang, semuanya. Kau tidak kekurangan apa pun, bukan?" Ia tertegun saat mendengar tanggapan yang merendahkan tersebut. Ia menurunkan matanya demi menutupi rasa kecewa akibat kalimat yang terlontar dari mulut si pria. "Bukan begitu," gumamnya seraya menarik tangannya kembali dengan hampa. "Kau tidak mengatakan tentang hal ini padaku." Ia memandangnya lagi. "Aku bersedia memberimu anak dan mau menjadi istri keduamu. Tapi kenapa malah ini yang kau l
Yepa hanyalah seorang gadis dari kalangan masyarakat biasa. Kedua orang tuanya sudah meninggal sekitar delapan tahun yang lalu. Ia hidup sendiri tanpa sanak saudara di sekitar. Sejak lulus sekolah, ia memutuskan untuk pindah dari kota kelahirannya dan hidup mandiri. Ia tinggal di sebuah indekos khusus wanita dan menjadi pekerja kerah biru bergaji tinggi di suatu garmen. Meski penghasilannya besar, ada pajak dan asuransi di belakangnya yang tidak dapat ia hindari. Dan yah, setidaknya ia bekerja kurang dari tiga puluh jam di setiap minggunya dan ada jatah libur satu bulan penuh di setiap tahunnya. Sungguh negara yang sangat baik. Ia puas dengan kehidupannya yang sederhana dan mampu memenuhi segala keinginan atas kerja kerasnya sendiri. Bahkan ia lebih condong memanjakan perut daripada merawat diri. Ia memiliki beberapa teman dan banyak kenalan di sekitarnya. Baginya semua itu sempurna. Hingga pria itu muncul. Yepa memejamkan kedua matanya sembari menarik napas dalam-dalam. Jika itu m
"Ya, Pa?" "Apa yang masih kau lakukan di sana?" Kening Deska berkerut samar. Kenapa nada bicara ayahnya terdengar sangat tidak sabar? "Apa masih lama?" lanjut Zalka agak jengkel. "Pacarmu sudah pergi." "Papa bilang apa?" Ia merasa tidak percaya. Ia mengalihkan teleponnya ke telinga kiri. "Kenapa Papa tidak mencegahnya? Aku sudah mengatakannya pada Papa untuk menjaganya agar tidak pergi ke mana-mana." "Apa urusannya denganku?" Zalka mendengkus. "Aku bukan kekasihnya dan aku tidak mau terlibat dengan bisnis romantikamu yang konyol itu." "Pa." Ia mendesah. "Papa sendiri tahu. Yepa adalah satu-satunya wanita yang paling kucintai. Dan Yuvika hanyalah alat untuk memajukan perusahaanmu. Kalau bukan karena latar belakangnya, siapa yang bersedia membungkuk untuk hal ini?" "Aku tahu ini. Aku senang kau mau berkompromi, tapi kau tidak bisa lengah dalam urusan wanita. Hati mereka sangatlah tajam." Zalka menghela napas. "Aku bisa menutup mata untuk hal ini. Namun, ketika hal itu pecah, kau h
"Ya, Pa?" "Apa yang masih kau lakukan di sana?" Kening Deska berkerut samar. Kenapa nada bicara ayahnya terdengar sangat tidak sabar? "Apa masih lama?" lanjut Zalka agak jengkel. "Pacarmu sudah pergi." "Papa bilang apa?" Ia merasa tidak percaya. Ia mengalihkan teleponnya ke telinga kiri. "Kenapa Papa tidak mencegahnya? Aku sudah mengatakannya pada Papa untuk menjaganya agar tidak pergi ke mana-mana." "Apa urusannya denganku?" Zalka mendengkus. "Aku bukan kekasihnya dan aku tidak mau terlibat dengan bisnis romantikamu yang konyol itu." "Pa." Ia mendesah. "Papa sendiri tahu. Yepa adalah satu-satunya wanita yang paling kucintai. Dan Yuvika hanyalah alat untuk memajukan perusahaanmu. Kalau bukan karena latar belakangnya, siapa yang bersedia membungkuk untuk hal ini?" "Aku tahu ini. Aku senang kau mau berkompromi, tapi kau tidak bisa lengah dalam urusan wanita. Hati mereka sangatlah tajam." Zalka menghela napas. "Aku bisa menutup mata untuk hal ini. Namun, ketika hal itu pecah, kau h
"Yepa?" "A-ah, ya?" Yepa mengerjap dan memandang Deska dengan gugup. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Deska menatapnya dalam-dalam. "Apa wajahku sangat menarik atau ada sesuatu yang mengganggumu?" "Kau tidak perlu khawatir." Yepa menurunkan matanya dengan suara serius. "Aku hanya mendapat mimpi buruk." "Benarkah?" Tangan Deska bergerak. Jari jemarinya mengelus pipi Yepa yang halus dengan penuh kasih sayang. "Apa kau mau membaginya denganku agar tidak menjadi beban pikiran?" "Tidak perlu." Yepa menggeleng pelan. Ia mengangkat wajahnya dengan senyuman kuat. "Aku baik-baik saja." "Begitu." Deska menghela napas lega. "Kalau kau tidak apa-apa, itu bagus." Jika ini sebelumnya, Yepa pasti tidak akan menyembunyikan apa-apa dari Deska. Bahkan untuk hal yang sepele sekalipun. Namun, sekarang …. "Des, kau tenang saja." Yepa melingkarkan kedua tangannya di pinggang Deska yang sempit. "Jangan terlalu banyak berpikir, oke?" "Aku tahu." Deska merengkuhnya dengan hangat. Perasaan tidak