Raleigh memandang Gerard tidak percaya. Bagaimana bisa sahabat sekaligus bawahannya itu mengatakan hal demikian? Padahal Raleigh sedang meminta dukungan, nasihat, dan solusi untuk masalahnya. Bukan mendengar penghakiman dari orang lain.
Ia cukup sadar atas kesalahan besar di masa lalu yang diperbuat tanpa harus dijelaskan ulang. Ia juga sadar tidak akan bisa mengembalikan calon anaknya kembali ke dalam rahim Celia dengan cara apapun. Sekalipun menyerahkan nyawanya kepada Tuhan.
"Ini adalah karma instan yang layak anda dapatkan pak."
"Aku tidak memerlukan penghakimanmu Ger!"
"Harusnya Pak Raleigh biasa saja mendengar penghakimanku. Karena itu bagian dari penebusan dosa besar yang bapak lakukan." Ucapnya enteng lalu menyesap espresso-nya.
"Aku sudah paham kesalahanku dan kamu tidak perlu mengungkitnya!"
Gerard terkekeh. "Don't be angry, atau Tuhan akan memperpanjang derita anda pak."
Raleigh pun diam lalu menunduk karena takut Tuhan benar-benar akan membuatnya terjebak dalam masalah ini seumur hidup. Ia tidak siap jika hidup tanpa kehadiran buah hati sampai akhir hayat.
"You need my advice, right?" Akhirnya Gerard berucap hal yang sangat Raleigh tunggu.
"Anda harus belajar menerima perasaan itu, memaafkan diri sendiri atas kesalahan, dan mengambil langkah untuk belajar dari pengalaman. Belajar lah untuk fokus pada saat ini dari pada merenungkan masa lalu."
"Pak Raleigh, anda harusnya bersyukur karena istri anda hanya menopause dini, sesuatu yang tidak mengancam kehidupannya dalam waktu dekat. Yang kalian butuhkan hanya saling berkomunikasi, to find best solution."
"Diantara mengadopsi anak atau mencari wanita pendonor sel telur, mana yang lebih baik menurutmu?"
"Nothing I can choose, karena ini hal yang begitu sensitif dalam rumah tangga kalian. Pak Raleigh sendiri, setuju yang mana?"
***
Di luar sana banyak lelaki romantis tanpa harapan yang hanya menunggu kesempatan untuk bisa menemukan seorang perempuan yang tepat kemudian memulai sebuah keluarga.
Perempuan sering menyalahkan ketegangan, kebingungan, atau ketidaksepakatan dengan pasangan mereka dan menganggap bahwa 'laki-lakinya telah berubah'.
Begitu juga dengan Celia, ia merasa Raleigh telah berubah sejak vonis menopause dini yang dijatuhkan Dokter Stevan. Ia tidak mengerti cara berpikir Raleigh saat ini. Itu karena Celia bukan laki-laki—dia bukan Raleigh.
Raleigh hanya lelaki biasa yang tidak berpikir dengan cara yang sama seperti Celia. Namun Celia tidak mencoba memahami cara berpikir Raleigh dengan bertanya apa yang dia inginkan. Celia terlalu pengecut untuk tidak bisa menerima jawaban Raleigh yang sama seperti hari kemarin.
Mencari perempuan pendonor sel telur. Celia tidak mampu mewujudkan itu, karena terlalu menyakitkan.
Sekeras apapun Celia berpikir dan dibantu dengan membaca banyak artikel yang ia baca di internet, tidak akan bisa sepenuhnya menjelaskan pikiran Raleigh. Karena hanya Raleigh sendiri yang bisa memberitahu.
Dan akhirnya, ia pergi meninggalkan rumah dengan perasaan tidak menentu karena kepengecutannya.
Raleigh kembali ke rumah setelah berbincang dengan Gerard. Rencananya ia akan mulai membujuk Celia perlahan agar bersedia menyetujui keinginannya untuk mencari perempuan pendonor sel telur.
Namun, ketika mobilnya baru memasuki pelataran, rumahnya nampak gelap. Lampu teras tidak ada yang menyala, itu tandanya tidak ada orang di rumah atau Celia lupa belum menghidupkannya?
Hidup bersama Celia selama tiga tahun membuatnya mengerti kebiasaan dan keteledoran istrinya itu. Termasuk, Celia yang tidak pernah membiarkan Raleigh pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini.
Ia membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang ada di dalam mobil lalu menghidupkan seluruh lampu. Ia berteriak memanggil Celia di setiap sudut rumah namun tidak ada tanda-tanda akan keberadaannya.
Kekhawatiran Raleigh makin menjadi ketika ia mengingat kejadian tadi pagi sebelum berangkat bekerja. Celia nampak tertawa bahagia menghadap laptop. Raleigh curiga istrinya mulai selingkuh karena masalah ini, walau ia tidak bisa memastikannya.
Kebingungan makin melanda ketika ia sadar tidak menyimpan satu pun nomer sahabat Celia. Juga, ia khawatir Celia melakukan tindakan konyol seperti mengakhiri hidup karena tertekan oleh kondisi dan pemintaan Raleigh.
"Dimana kamu Celia!!" Geramnya sambil terus menghubungi ponsel Celia yang tidak kunjung diangkat.
"Demi Tuhan angkat Celia!"
Jika sudah begini, Raleigh akan mengurungkan niat untuk membujuk Celia agar mau menerima keinginannya mencari perempuan pendonor sel telur. Dari pada ia harus kehilangan istri dan nama baik dihadapan mertua.
"Halo."
"Halo, Celia! Dimana kamu!"
"Maaf ini aku, Valerie."
"Dimana istriku!" Teriak Raleigh tidak sabar.
'Apa yang harus kulakukan?' batin Celia. Celia tidak bisa berbuat banyak jika Raleigh meminta sertifikat rumah yang terlanjur ia gadaikan untuk kepentingan foya-foyanya. Demi melupakan kenyataan bahwa dia mengalami menopause dini, Celia berani bertindak sejauh itu. "Ehm ... nanti aku akan mencari sertifikat rumah kita, Ral. Sepertinya aku menaruhnya jadi satu dengan tumpukan ijazahku," Celia berkilah. "Oke, tolong kamu cari. Biar aku bisa segera membawanya ke bank untuk tambahan biaya bayi tabung kita." Usai bicara demikian, Raleigh menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Meninggalkan Celia yang mematung penuh kebingungan. Dari mana ia akan mendapatkan uang yang banyak untuk melunasi hutang bank yang tidak sedikit itu? Meminta pada kedua orang tuanya? Tidak! Celia tidak seberani itu apalagi pada Daddy-nya. Lalu, apa yang bisa ia lakukan? *** Hampir dua malam ini Celia tidak bisa tidur memikirkan bagaimana cara melunasi hutang diam-diam itu agar sertifikat tanahnya bi
Valerie tidak bahagia sama sekali saat mendengar ucapan Celia tentang rencana bayi tabungnya bersama Raleigh. Bukankah itu artinya jika seharian ini Raleigh melupakan dirinya itu karena dia berniat akan meninggalkannya lalu kembali ke pelukan istrinya. "Ah... ya, Cel. Aku dengar dan bahagia sekali mendengar kabar baik ini." Kilah Valerie. Padahal hatinya bagai ditikam sebilah pisau hingga menembus ke punggung. "Doakan semua lancar ya, Val." "Kapan kalian akan melakukan bayi tabung itu?" "Secepatnya. Tapi, ada satu masalah yang aku tidak siap jika Raleigh tahu, Val." "Apa?" "Tentang keuangan yang diperlukan untuk bayi tabung." Ucap Celia lirih bernada gelisah. "Maksudmu, kamu tidak memiliki cukup uang untuk melakukan bayi tabung?" Tebak Valerie. Sembari menggeleng pelan, Celia berucap melalui sambungan telfon, "Kamu masih ingat dengan para petugas bank yang datang ke rumah kan?!" "Iya. Kenapa?" Mata Celia tidak lepas dari pintu kamar, dia tidak siap jika Raleigh mengetahui
Saat jam makan siang, Raleigh memilih berdiam diri di ruangannya. Hatinya bimbang saat Celia tiba-tiba ingin kembali dalam pelukannya dan Valerie yang sudah terlanjur dekat dengannya.Perasaan cintanya masih ada untuk Celia, dan mulai berkembang untuk Valerie."Apa yang harus kulakukan?" Gumamnya.Ucapan Celia tadi pagi juga makin menambah kebingungannya. Haruskah ia pergi ke bagian kesehatan Kota Armidale untuk bertanya tentang proses bayi tabung?Jika ia melakukannya maka ia harus melepas Valerie demi istrinya. Lebih tepatnya demi kebahagiaan rumah tangganya.Baru saja berbahagia karena Valerie menerima cintanya bahkan mau menunggunya berpisah dengan cara baik-baik dari istrinya, tapi air mata Celia membuat Raleigh tidak tega. Karena bagaimanapun janji sehidup semati yang telah ia gaungkan di hadapan orang tua, Tuhan, dan para saksi adalah janji yang seharusnya dijalani hingga mati. Tapi satu lagi, mau sampai kapan Raleigh bisa menahan gairahnya ketika Celia tidak bisa melayaninya?
POV RALEIGHEntah sudah berapa minggu aku dan Celia tidak melakukan hubungan suami istri. Malam ini, setelah dia mencurahkan segala kesedihannya karena menopause dini yang dialami, berikut dengan ketakutannya akan kehilangan diriku, aku makin tidak berkutik lagi.Mengapa dia tidak mencoba mencintai dan melayaniku dengan baik sejak dulu? Sejak awal kami menikah?Aku tidak menuntut banyak dari pernikahan kami selain saling memahami, mengisi, dan membalut luka masing-masing. Tapi Celia yang saat itu enggan melepas cinta sejatinya pada William, mantan kekasihnya, membuatku terlunta-lunta sebagai seorang suami yang tidak diinginkan. Tapi kini, semua berbalik arah. Celia memujaku di saat yang kurang tepat. Saat hatiku tidak hanya ada dirinya yang bersemayam."Ral, aku mencintaimu. Tolong jangan tinggalkan aku."Setelah mengatakan itu ia melepas pelukan lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah cairan bening yang aku sendiri tidak tahu apa kegunaannya. Dia meneguknya sedikit lalu me
Setelah memastikan stok sayuran di etalase supermarket tempatku bekerja tersaji dengan tepat, langkahku kembali ke ruangan kerja untuk mengambil tas dan merapikan berkas yang sedikit berserakan di atas meja. Ketika tanganku hendak meraih tas, Valerie menghubungiku."Apa Vale?" "Ral, kamu sudah pulang?" "Sebentar lagi. Kenapa?" Mendengar suaranya yang kalem dan lembut saat berbicara denganku membuat senyum tipis tercetak di bibirku."Aku merindukanmu Ral."Aku tertawa lalu membayangkan wajahnya yang cantik saat duduk di pangkuanku."Tapi sekarang sudah tidak rindu lagi."Senyumku luntur seketika mendengar pengakuannya. "Kenapa? Apa aku berbuat salah?" "Karena aku lebih merindukan Diego dari pada kamu."Aku menghela nafas lega lalu kembali duduk di kursi kerja. "Aku cemburu pada lelaki kecil itu. Andai aku bisa mengajaknya bergulat."Valerie terkekeh sejenak lalu kembali bertanya. "Ral, apa Celia akan pulang sore ini?" Tadi, aku mengatakan pada Valerie perihal kepulangan istriku itu
POV RALEIGH Akhirnya aku memutuskan untuk mematikan nada dering panggilan dari istriku, Celia. Hatiku berbisik lembut agar tidak menambah luka yang Valerie terima setelah hubungan kami membaik beberapa hari ini. Walau kami tidak resmi berkencan sebagai sepasang kekasih, tapi melihatnya terluka karena ulahku apalagi menjauh dari jangkauanku, semua terasa tidak rela. Aku ingin menjaga hatinya yang sedang bersedih karena tidak bisa menemui putranya karena ulah sang mantan suami. Aku berani jamin jika James masih mencintai Valerie dengan menggunakan Diego sebagai alat untuk memperumit jadwal bertemu mereka. Ah, mengapa dua malam lalu saay kami bertemu aku tidak segera menghantam wajah sialannya itu. "Siapa yang menelfon Ral?" Tanyanya dengan hidung memerah sedang matanya masih sembab.Jemariku terulur menghapus bulir kristal kesedihan itu. "Gerard. Sepertinya dia sudah mantap untuk mengambil cuti agar bisa berlibur dengan keluarganya."Tidak ada cara terbaik selain berbohong pada Vale