Share

Ingatan Kusha

Lintang sangat senang ketika menyadari bahwa dirinya hidup kembali. Dia bertekad akan kembali pulang ke Madyapada.Tapi saat mendapati tubuhnya menjadi kecil, Lintang sungguh terpuruk. Namun dia terpuruk bukan karena rupa atau bentuk tubuhnya, melainkan karena seluruh kekuatan Lintang lenyap tidak tersisa.

Waktu itu sesaat sebelum Balada mendobrak pintu kamar, Lintang sempat mengukur kekuatan tulang, kualitas tubuh, dan inti energi yang dia miliki. Tapi sungguh mengejutkan di mana kualitas tulangnya ternyata hanya tulang biasa, tulang seorang anak kecil berusia 7 tahun. Inti energi Lintang juga begitu sangat lemah, bahkan lebih kecil dari kebanyakan pendekar.

Lintang tertegun tidak percaya mendapati semua pencapaiannya hilang, tapi sebagai seorang bijak, dia segera bisa kembali menenangkan hatinya. Menerima kenyataan bahwa apa pun yang terjadi tidak lebih buruk dari kematian.

Semua kanuragannya memang hilang, tapi Lintang tidak berkecil hati karena dia bisa memulainya kembali dari awal. Walau prosesnya akan memakan waktu, tapi setidaknya Lintang akan bisa kembali pulang. Dia tidak peduli dengan waktu, yang terpenting sekarang adalah dirinya sudah kembali memiliki kehidupan.

“Balada! Apa yang kau lakukan kepada adikmu? Cepat lepaskan!” teriak sang ayah panik mendapati Kusha sedang dijewer oleh kakaknya.

“Hehehe, maaf ayah. Kusha sekarang telah menjadi anak nakal. Jadi aku menghukumnya sedikit,” Balada terkekeh.

Dia segera melepaskan tangannya, membuat Lintang bisa kembali menarik napas lega.

Ratna Kianti yang melihat putra bungsunya sedang kesakitan langsung berlari menghampiri Lintang.

“Apa Kusha tidak apa-apa, nak?” Ratna Kianti berlutut memeriksa telinga Lintang, sementara Balada masih menyeringai bodoh tanpa merasa bersalah.

“Ti-ti—tidak biung,” jawab Lintang ragu-ragu.

Meski sadar bahwa wanita tersebut adalah ibu yang melahirkannya, tapi Lintang tetap merasa asing karena baru saja mengenalnya. Dia bingung entah harus bersikap apa karena sejatinya usia Lintang lebih tua dari kedua orang tuanya.

Tempo hari Lintang mungkin masih anak kecil, tapi sekarang ingatannya telah kembali membuat dia menjadi sosok dewasa.

“Syukurlah!” Ratna Kianti memeluk Lintang penuh kasih sayang. Setelah itu dia lantas mengomeli Balada karena telah bersikap kasar kepada adiknya. Terlebih Kusha baru saja pulih dari luka, membuat Ratna Kianti benar-benar marah.

“Maaf ibu,” ucap Balada lemas. Dia menundukan wajah tidak berani membantah sang ibu.

“Sudahlah! Ibu mengerti kau rindu terhadap adikmu, ayo kita makan,” Ratna Kianti mengelus rambut Balada membuat anak lelaki tersebut kembali tersenyum senang.

Sementara Lintang masih terdiam memikirkan entah mengapa dia tiba-tiba memanggil biung kepada ibunya sementara Balada memanggil Ibu.

“Apa mungkin itu dari ingatan Kusha?” gumam Lintang dalam hati.

Tapi lamunan tersebut tidak berlangsung lama karena Ratna Kianti segera menggendong Lintang membawa dia duduk di meja makan. Waktu itu Lintang ingin meronta, tapi apalah daya. Dia tidak mungkin menunjukan sikap janggal kepada ibunya.

Bagi Lintang mungkin dia telah dewasa. Namun di mata keluarganya, Kusha tetaplah anak kecil yang mereka cintai. Sehingga mau tidak mau Lintang harus menghargai mereka.

Di meja makan, ayah Kusha kembali bertanya tentang keadaannya membuat Lintang harus kembali berpura-pura menjadi anak kecil. Selepas itu, mereka pun lantas menyantap hidangan bersama sebagai suatu keluarga.

Meski awalnya risih, tapi lama-kelamaan Lintang menjadi terbiasa. Bahkan entah mengapa hatinya menjadi terasa hangat. Lintang merasa kedamaian di sana, dia begitu bahagia memiliki seorang kakak, ibu, dan ayah yang begitu mencintainya.

“Puluhan tahun aku bertarung, beradu nyawa, perperang melawan keangkara murkaan untuk mencari kedamaian. Namun tidak disangka kedamaian itu ternyata kutemukan disebuah keluarga sederhana seperti ini,” gumam Lintang dengan mata berkaca-kaca.

Setelah berhari-hari dilanda kebingungan, ingatan milik Kusha pun akhirnya kembali berdatangan membuat Lintang semakin mengerti akan siapa dan di mana dia sekarang. Termasuk ingatan memilukan saat Kusha terperosok ke dalam sumur.

Lintang kini tahu bahwa kecelakan yang menimpa Kusha tempo hari ternyata bukanlah sebuah kebetulan di mana ada beberapa anak lain yang sengaja ingin membunuh Kusha atas perintah seseorang.

Hal itu tentu membuat Lintang sangat marah hingga gigi-giginya bergemertak sembari mengepalkan tangan.

“Mereka, tidak bisa kubiarkan!” ucap Lintang dingin.

“Mereka? Apa maksudmu, Kusha?” tanya Balada mengerutkan kening.

Lintang sebelumnya tengah termenung sendiri di taman belakang, dia tidak sadar bahwa sedari awal Balada mengikutinya. Sehingga saat mendengar suara Balada, Lintang langsung melompat kaget sembari memasang kuda-kuda bertarung.

“Hahahaha, apa yang kau lakukan, Kusha? Kau bukan seorang pendekar,” Balada tertawa tidak kuasa menyaksikan tingkah lucu adiknya.

“Kakak! Kau mengagetkan aku saja,” teriak Lintang kesal.

“Hahaha! Baiklah-baiklah maafkan aku. Tapi itu juga salahmu karena terus melamun di sini,” ujar Balada dengan masih tertawa.

Padahal jauh di dalam hatinya, Balada sangat merasa sedih mendapati adiknya menjadi pendiam seperti itu. Balada merasa bersalah karena telah meninggalkan Kusha, di mana dahulu, adiknya merupakan anak yang periang, selalu tertawa dan tidak pernah mengeluh apalagi melamun sendiri di tempat sepi.

“Apa yang sedang kau pikirkan Kusha?” tanya Balada serius. Sebagai kakak, dia bertanggung jawab menjaga sang adik apa pun yang terjadi.

Meski usianya masih 14 tahun, tapi Balada memiliki kedewasaan di atas anak-anak seusianya. Dia tahu saat ini Kusha sedang memiliki masalah yang entah apa sehingga Balada terus mendekatinya berusaha menggali informasi untuk membantu adiknya tersebut.

“Tidak apa kak, aku hanya berpikir hari-hariku akan kembali sepi setelah kakak kembali kepadepokan nanti,” jawab Lintang berbohong.

“Hahaha, dasar cengeng. Di sinikan ada ibu dan ayah. Mereka tidak akan lagi berdagang keluar wilayah katumenggungan karena ingin menjagamu, Kusha. Aku juga di padepokan tidak akan lama. Aku akan kembali setiap 6 bulan sekali untuk menjengukmu,” tutur Balada menjelaskan.

Lintang hanya menyeringai mendengar itu di mana sebetulnya bukan itu yang Lintang pikirkan.

“Kakak memang baik, hihihi,” Lintang berusaha tertawa.

“Sudahlah, besok lusa aku akan berangkat lagi ke padepokan. Sekarang bagaimana kalau kita bermain ke pasar?” ajak Balada menghibur.

“Ke pasar, Kak?” Lintang terlihat ragu.

“Benar! Kau tenanglah, Kusha. Selama ada aku, tidak akan ada yang berani mengganggumu,” ujar Balada. Dia mengucapkan itu dengan sunguh-sungguh karena sejatinya niat Balada menimba ilmu pun hanya untuk melindungi adik dan keluarganya.

Balada sadar, dunia tidak sedamai kelihatannya. Apalagi dunia persilatan, sehingga dia berpikir harus ada salah satu anggota keluarga yang menjadi pendekar untuk berjaga-jaga.

“Jika kakak memaksa, baiklah,” angguk Lintang.

“Hahaha, tentu saja,” Balada menepuk lembut pundak adiknya. Setelah itu, kedua anak tersebut lantas berpamitan kepada orang tua mereka.

“Begitu rupanya, baiklah! Ayah akan memita paman Bakung dan Ki Jara untuk menjaga kalian,” ungkap Weda.

Dia berniat memanggil dua pelayan kekar untuk menjaga Kusha dan Balada karena di pasar kerap terdapat banyak preman. Sebagai seorang saudagar kaya, Weda tentu memiliki beberapa pelayan kuat yang merupakan seorang pendekar. Mereka bertugas mengawal perjalanan saat berdagang dan sebagian menjaga kediaman agar tidak disatroni perampok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status