Apartemen ini telah ia beli dan siapkan selama setahun terakhir dalam hidupnya. Namun Gya tidak menyangka akan menempati pada tahun berikutnya. Ketika memasuki ruang tamu yang jadi satu dengan dapur, Gya merasakan ada desakan yang begitu besar untuk akhirnya menangis.
Entah ini tangis bahagia atau bukan, tapi rasanya menyenangkan bisa membiarkan dirinya melepaskan kesesakan.
Selama setengah jam Gya tergugu dalam sedu sedan, hingga ponselnya bergetar. Renzo meneleponnya dan dia tidak siap untuk bicara. Telepon kembali ia geletakkan di meja dan Gya merebahkan tubuhnya di karpet.
Matanya memandang ke langit-langit kamar.
Butuh puluhan tahun untuk akhirnya mengatakan tidak pada ayahnya dan itu tidak mudah.
Antara sesal dan lega bercampur aduk. Mereka adalah keluarganya, baik atau buruk. Gya sudah terlalu terbiasa menerima perlakuan yang membuatnya harus menutup mulut rapat-rapat.
Hal yang bisa ia tiru dari ajaran dan teladan ibunya hingga pada w
“Ini adalah hiburan lengkapmu malam ini!” seru Renzo begitu Gya membuka pintu untuknya.Gya tertawa dan memeluk pria yang ia harapkan bisa menjadi penghilang gelisahnya malam ini.Dengan cekatan Renzo menuangkan sampanye ke gelas dan memberikan pada Gya salah satunya.“Hari ini aku mengalami banyak hal yang nyebelin. Dari menentang ayahku sampai ninggalin rumah untuk selamanya.”Renzo hampir tersedak dan menatap kekasihnya, yah hampir menjadi kekasihnya karena dia belum menanyakan lagi.“Kau membatalkan perjodohan itu?”Pertanyaan Renzo ditanggapi dengan anggukan pelan.“Apakah tunanganmu mengiyakan dan menerima dengan lapang hati?” tanya Renzo kembali.Gya menggelengkan kepala. “Bapakku jelas-jelas kecewa sampai ngusir aku dan Ibuku seperti biasa hanya diam, tidak ikut campur sedikit pun. Bahkan pembelaan sebagai sesama perempuan aja enggak.” Suara Gya mulai terdengar
Kamis sore itu Ignar baru selesai bermain basket dengan timnya, mahasiswi yang akan bertanding akhir bulan ini.Keringat membasahi tubuhnya dan Ignar menenggak botol minumnya dengan rakus.“Kita kelar hari ini, besok latihan jam yang sama!” teriak Ignar.Gadis itu menjadi kapten dan semua mengacungkan jempol padanya dengan teriakan semangat. Matanya menangkap gadis manis yang satu fakultas dengannya sedang duduk menonton sore itu. Ketika mata mereka bertemu, gadis dengan bando merah tersebut tampak gugup dan jengah.Penampilan Ignar yang memakai kaos kutung dan celana pendek gombrong memang tampak tomboi sekaligus macho. Rambutnya dipotong pendek dengan skin di kanan kiri, sementara tindik di hidung dan pelipisnya membuat Ignar memang tampil menarik dengan gaya ‘bad girl’.Namun semua tahu jika Ignar tidak sekedar tampil sebagai ‘cewek Bengal’ saja. Otaknya cerdas dan IP pertamanya cumlaude.Ignar memaling
Siwi mendekati suaminya yang duduk di bangku taman dengan wajah terpaku. Ketika istrinya duduk di samping, Genta buru-buru menyeka air matanya.“Kenapa, Gen? Nggak seharusnya kamu pergi. Bukan ini cara kita.”“Kita membesarkan dia dengan sebaik mungkin dan masih aja hasilnya mengecewakan.”Siwi berkerut dan menatap Genta dengan wajah mulai tidak suka.“Ignar adalah siswa berprestasi dan pribadi yang berhati baik. Kalo kamu menilai dia dengan apa yang baru aja dia ungkapan sama kita tadi, kamu salah besar!”“Kebanggaan macam apa yang bisa simpan di sini, Wi?” Genta menepuk dadanya dengan keras. “Anak kita lesbian dan itu nggak mengganggumu sedikit pun?!”“Enggak!” Siwi menjawab dengan tegas.“Lesbian atau bukan, Ignar tetap anakku. Pilihan yang dia ungkapan itu nunjukin kalo dia percaya sama kita, orang tuanya! Dia butuh bimbingan dan mungkin dengan penerimaa
Renzo tampak kelelahan dan akhirnya memutuskan duduk di bawah pohon rindang yang ada di tengah kampus. Silka menemani kakaknya mencari Ignar.Sudah dua hari sepupu mereka tidak pulang. Konflik yang terjadi setelah pengakuan pada kedua orang tuanya itu membuat Ignar pergi.Ayahnya menyatakan penolakan pada jati diri Ignar. Mungkin itu yang paling menyakitkan bagi Ignar hingga ia memutuskan meninggalkan rumah.“Udah muter-muter kita seharian. Ignar kayaknya bolos kuliah dan mustahil dateng hari ini. Kayaknya mendingan kita tanya sama temen basketnya deh.” Silka mengatakan seraya memandang kakaknya.Renzo menghela napas dan mengusap peluh di pelipisnya.“Aku nanya ke beberapa orang, kamu nemuin temannya. Ok?” tanggap Renzo.Silka mengangguk dengan lesu dan keduanya berpisah.**Ignar masih termenung di kamar hotel, tempat dia melarikan diri selama ini. Beberapa sahabatnya mengirim pesan tentang kedua sepupu
Raya menyiapkan obat untuk ibunya minum malam itu dan lima menit kemudian, ibunya mulai terlihat mengantuk.Selama dua tahun belakangan ini Raya harus mengurus ibunya sendiri. Meski tidak memiliki ayah lagi, ibunya telah menyiapkan masa depan Raya dengan sebaik-baiknya.Usaha yang telah ibunya rintis selama puluhan tahun, bisa menghidupi mereka bahkan membiayai pengobatan yang tidak murah.Tidak ada hal yang bisa Raya lakukan selain menerima situasi ini dan dewasa sebelum waktunya. Dirinya baru berusia enam belas tahun saat ibunya divonis kanker. Dua tahun kemudian, dia sudah ada di bangku kuliah dan setiap hari meminta pada Tuhan supaya memberi waktu yang cukup agar dia lulus dan mengambil spesialis.Raya ingin merawat ibunya sebaik mungkin dan menjadi dokter ibunya sendiri.Dua tahun lalu, Raya juga mengungkapkan mengenai dirinya yang menyukai wanita dibandingkan pria. Ibunya syok dan mengurung diri selama berminggu-minggu.Ketika akhirnya
Ignar memejamkan mata sejenak dan akhirnya melangkah keluar dari kamar hotel. Kakinya terlihat mantap menapaki lorong gedung hotel, masuk lift kemudian turun, seterusnya menuju lobi dan memanggil taksi.Tujuannya adalah kampus. Dia tidak bisa selamanya bersembunyi dan takut menghadapi kenyataan. Semalam suntuk dia mulai berpikir jika tidak akan membiarkan dirinya terkungkung dalam terali yang orang lain ciptakan untuknya.Begitu sampai di depan kampus, ia melihat ke arah kantin yang ada di gedung pertama kawasan universitasnya. Hatinya mulai berdebar dan nuraninya berjuang untuk mendorong mentalnya kembali kokoh.Dengan helaan napas kasar, Ignar memanggul ransel dan berjalan masuk.Dia tahu jika Silka dan Renzo duduk di kantin pada jam-jam begini. Tempat itulah yang Ignar tuju pertama. Benar, begitu ia melihat dua sosok yang duduk di ujung, Ignar mendekati dan tidak lagi ragu.“Pagi,” sapa Ignar.Baik Renzo dan Silka menengok lal
Hari demi hari setiap manusia menjalani hidup yang tidak mudah. Ada satu hari kita merasakan kebahagiaan yang begitu sempurna dan seakan dunia tunduk di kaki kita, namun hari berikutnya, semua hancur.Bisa jadi kemalangan itu adalah akibat dari tindakan seseorang, namun banyak juga yang asalnya dari perbuatan kita sendiri.Gya berpikir semuanya terlihat sempurna. Setidaknya hari di mana dirinya diterima dengan baik oleh keluarga Renzo dan bahkan teman-teman kerjanya, sesama dosen.Banyak yang mengatakan bahwa mendapatkan salah satu keturunan keluarga Aminata atau Ganendra adalah hal yang membawa keberuntungan seumur hidup.Gya mendengar banyak dari rekannya bahwa ayah dan paman Renzo selain berasal dari keluarga yang kaya raya, serta tidak mungkin habis hingga tujuh turunan, dua pria yang melegenda tersebut adalah pria-pria dengan kualitas yang terbaik.Meskipun dulu terkenal dengan kenakalan dan mendapat cap sebagai pria playboy, tapi keduanya ber
Sore itu Renzo sudah selesai meminta restu kedua orang tuanya untuk mendoakan dirinya yang akan menemui keluarga Gya.Ibunya berpesan dengan kalimat yang ditekankan dengan tegas, bahwa niatnya adalah untuk meminang Gya dengan norma dan cara yang benar. Renzo harus menyingkirkan semua ego dan rasa mudah tersinggung.Dirinya wajib menjunjung tinggi sopan santun dan tetap merendahkan diri serta tidak perlu membawa hal-hal yang membuatnya terkesan sombong.Semua pesan ibu dan ayahnya Renzo serap dengan baik dan dia berangkat sendiri menemui keluarga Gya.Saat ia melangkah masuk ke halaman yang pagarnya terbuka, semua orang yang sedang duduk di teras menoleh padanya. Leo, kakak Gya, segera mengenali Renzo dan segera bangkit berdiri.Pria itu bergegas mendekat dengan wajah tegang lalu menahan Renzo untuk mendekati teras.“Kamu kenapa ke sini?” bisik Leo dengan gugup.Renzo masih menunjukkan sikap yang tenang dan penguasaan dirin