Levin menatap ponselnya saat tidak mendengar suara apapun, mengira sambungan telepon terputus. Tapi ternyata tidak, ponselnya masih tersambung dengan nomor Claire, lalu kenapa wanita itu tidak merespon?
“Claire?”Panggilan Levin membuat Claire tergagap, sadar kalau pikirannya sedang berkelana.“Memang, tapi bukan berarti kita bisa menjadi teman. Dan sepertinya ada baiknya kalau kita tidak perlu bertemu lagi. Lagipula aku sudah selesai sidang jadi sepertinya tidak perlu datang ke kampus lagi. Sudahlah, aku ingin istirahat, jadi aku akan langsung menutup teleponnya. Setelah ini jangan telepon aku lagi, okay?” cerocos Claire dan langsung memutuskan panggilan membuat Levin memaki pelan.Heran, kenapa Claire begitu sulit ditaklukkan? Bukankah sebelumnya wanita itu sudah bersikap jinak? Tapi kenapa sekarang jadi galak lagi? Kemana sikap hangat yang wanita itu tunjukkan saat mereka berbincang di café waktu itu? Kenapa wanita yang disukainya bertingkah seperti bunglon yanKeesokan paginya…Levin sudah berada di bandara sejak pukul 8 pagi, pesawatnya akan lepas landas pukul 10 pagi. Masih ada waktu untuk menikmati kopi paginya dengan santai di area lounge. Meski hari masih pagi, tapi bandara tetap terlihat sibuk. Selagi menunggu, Levin sengaja menyibukkan diri dengan mempelajari berkas-berkas yang diberikan Johan kemarin siang. Kemarin, Levin tidak memiliki cukup waktu untuk mempelajari semuanya, jadi mau tidak mau hari ini Levin melanjutkan analisanya. Saat panggilan boarding bergema, barulah Levin merapikan berkasnya dan menyerahkannya pada Johan yang setia mengikutinya kemanapun, termasuk kali ini, karena pria itu akan pergi bersama Levin untuk menangani perusahaan di Melbourne. Levin menatap jam di tangan kirinya. Hampir pukul 10, bersyukur tidak ada delay karena akan sangat menyebalkan baginya jika harus menunggu hal yang tidak pasti. Menunggu adalah hal yang paling Levin benci. Lebih tepatnya Levin membenci hal itu setela
Levin menatap puas pada laporan di hadapannya. Usaha dan kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. Kerjasama yang dirinya lakukan dengan Arch company, perusahaan daddy Alex yang berada di bawah pengawasan Nick, sukses besar hingga dapat menghasilkan keuntungan yang luar biasa. Begitu juga kerjasamanya dengan beberapa perusahaan lain menghasilkan keuntungan yang tak kalah besar. Awalnya Levin merasa sedikit kesulitan saat harus bekerja sama dengan Nick karena dirinya pasti akan selalu teringat dengan Claire, tapi Levin tetap bersikap professional hingga lama kelamaan dirinya mulai terbiasa. Nick juga tidak pernah mengungkit mengenai masa lalu. Harus Levin akui kalau pria itu terlihat dewasa dan tidak pernah mencampuradukkan urusan pribadi dengan perusahaan. Levin baru selesai membubuhkan tanda tangan di salah satu dokumen saat telepon di atas mejanya berdering. Line yang berasal dari ruang kerja daddy Keenan. “Ada apa, Dad?” “Tolong ke ruangan daddy. Ada hal pentin
Claire menatap putranya yang sudah tertidur pulas. Semakin lama wajah Revel semakin mirip dengan Levin. Daddy kandungnya. Pria yang dicintainya meski hanya dalam hati. Kenyataan itu membuat Claire semakin tidak bisa melupakan Levin sekejap pun. Bagaimana bisa lupa? Karena saat melihat Revel, dirinya sama seperti sedang menatap Levin saking miripnya mereka berdua! Claire masih ingat dengan jelas sesaat setelah dirinya melahirkan Revel, rasa rindu dan bersalahnya pada Levin teramat memuncak membuatnya terisak sedih sendirian.Beruntung Claire memiliki daddy Alex, Nick dan Susan yang tidak pernah meninggalkannya hingga Claire dapat menutupi kesedihannya dengan baik saat melihat kehadiran mereka. Apalagi saat mendengar gelak tawa putranya yang begitu merdu. Ya Tuhan, saat sedang tertawa pun Revel sangat mirip dengan Levin! Revel adalah cetakan Levin, sama persis, sama sekali tidak mengambil kemiripan dari Claire. Putranya itu hanya numpang lahir melalui dirinya! Claire han
Pertanyaan Claire membuat Nick gelisah. Wanita itu tidak tau kalau perusahaan yang dimaksud adalah milik keluarga Levin. Well, Nick juga baru tau hari ini. “Nick?” panggil Claire, heran karena sahabatnya tidak merespon.“Kami sudah bertemu tadi siang dan sepakat untuk bekerjasama. Hal selanjutnya adalah menandatangani kontrak secara resmi. Mungkin dalam minggu depan.”Itulah jawaban Nick akhirnya, tanpa menjelaskan siapa pria yang muncul di hadapannya untuk mengajukan kerjasama. “Ahh, I see. Lalu bagaimana dengan daddy Alex? Apa daddy masih sering lembur?” “Tidak, Claire. Daddy tidak mau diomeli oleh kamu lagi, jadi sejak beberapa waktu lalu, beliau sudah pulang ke rumah setiap jam 6 sore. Tidak pernah larut malam seperti dulu, kecuali jika ada masalah mendesak. Sepertinya daddy Alex mulai pusing mendengar omelan kamu. Semenjak melahirkan Revel, kamu semakin bawel, Claire! Daddy Alex saja kamu omeli, seolah beliau seusia Revel!” keluh Nick panjang lebar.“
“Levin, perkenalkan ini Nick, orang yang saya tunjuk agar kalian dapat menjalankan kerjasama ini. Saya sudah sempat menjelaskan garis besarnya, jadi kamu bisa membuat kontrak kerjasama agar kita segera menandatanganinya secara resmi.”Kemunculan Nick membuat konsentrasi Levin terpecah selama beberapa saat namun pria itu cepat menyadari kesalahannya dan mengangguk. “Baik, saya akan mempersiapkan kontrak kerjasama secepatnya. Saya akan segera menghubungi anda dan juga Nick.”Daddy Alex mengangguk puas. Setelah itu masih ada beberapa hal kecil yang mereka bahas bersama, selama itu pula Nick hanya menatap Levin dengan wajah datar seolah tidak saling mengenal. Fokus dengan pekerjaan. Beda halnya dengan Levin yang bibirnya sudah gatal ingin bertanya mengenai Claire! Namun meski sulit, beruntung Levin dapat menahan diri hingga meeting berakhir! *** Nick termenung di ruang kerjanya, tidak menyangka kalau Levin akan kembali muncul di hadapannya. Terakhir kali diri
Levin mendesah berat. Hari ini tampak cerah, berbeda jauh dengan suasana hatinya yang kelabu. Levin masih sibuk dengan pikirannya sendiri saat terdengar ketukan di pintu ruang kerjanya disusul dengan kehadiran Johan. “Selamat pagi, Tuan. Saya akan membacakan agenda kerja anda hari ini. Pertama anda harus menghadiri rapat direksi yang diadakan pukul 10, setelah itu anda ada meeting dengan Tuan Alexander dari Arch company. Dilanjutkan dengan acara penggalangan dana di Mulia Resort,” beritahu Johan sambil menutup tab di tangannya. Levin mengangguk, memahami agenda kerjanya hari ini yang untungnya tidak terlalu padat. Setidaknya Johan masih memberinya jeda untuk bernafas. Kini, setelah menyelesaikan rapat direksi yang memusingkan, akhirnya Levin beralih ke tujuan selanjutnya. Arch company. Salah satu perusahaan dimana Levin mengajukan proposal kerjasama yang dapat saling memberi mereka keuntungan. Bukan tanpa alasan Levin mengajukan proposal kepada perusahaan tersebu