Share

Di Culik

Penulis: Xavier Alatas
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 19:51:24

“Arcel lo telat.”

Suara itu seperti cambuk yang menghantam kesadaran Arcel. Ia berbalik cepat, rahangnya mengeras, matanya membunuh.

Di belakangnya berdiri seorang lelaki berjaket hitam, wajahnya setengah tertutup masker, namun sorot mata itu jelas menantang.

Arcel menatapnya dingin. “Apa maksud lo?”

Pria itu tersenyum miring. “Kalau lo nyari Ara, dia udah nggak di sini.”

Detik itu juga napas Arcel berhenti sedetik. Tangannya mengepal. Nada suaranya turun menjadi sangat gelap.

“Katakan ulang!”

Pria itu mengangkat kedua tangannya pura-pura takut. “Tenang, bos besar. Gue cuma nyampein pesan.”

Arcel melangkah maju, langkahnya berat, penuh ancaman. “Ara di mana?”

Pria itu mendesis kecil, mundur satu langkah.

“Lo harus buru-buru kalau mau dia masih hidup.”

Dan kalimat itu cukup membuat darah Arcel mendidih. Arcel mencengkeram kerah pria itu dan menghantamnya ke dinding bar dengan satu gerakan brutal. Gelapnya tatapan Arcel membuat orang normal pasti gemetar.

“ARA DI MANA?!”

Pria itu mencoba melepaskan diri, tetapi Arcel mengencangkan cengkeraman hingga pria itu mengaduh tertahan. “Ga… gang… samping… kiri bar…!” serunya terjepit.

Dalam seperdetik, Arcel melepaskan cengkeraman itu dan berlari menuju pintu keluar. Darahnya mendidih, seluruh tubuhnya seperti mesin perang yang baru diaktifkan.

Sementara itu, di gang samping…

Ara masih berusaha meronta.

Tangan kasar di belakang menekap mulutnya, mencegahnya berteriak. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ketakutannya lebih dingin dari apa pun. Pisau di tangan salah satu pria itu berkilat.

“Gampangin,” ujar salah satunya. “Bos kita cuma mau bukti kalau Ara bukan ancaman lagi.”

Ara tidak tahu siapa “bos” yang mereka maksud. Ia hanya tahu hidupnya benar-benar di ujung tanduk.

“Satu… dua….”

BRUK!

Sebuah suara keras terdengar di ujung gang.

Seseorang terlempar menabrak tumpukan kotak-kotak kayu. Salah satu pria tadi tergeletak tanpa sempat menahan diri.

Ara membelalakkan mata.

Seseorang berdiri di ujung gang tinggi, gelap, napasnya tersengal marah.

Arcel Arshaka.

Tatapan Arcel liar, penuh amarah yang jarang terlihat bahkan oleh lawannya di ruang bisnis.

Bajunya sebagian berantakan karena ia berlari tanpa peduli. Ia terlihat seperti badai yang baru turun menghantam bumi.

“Ara.”

Nama itu meluncur dari mulutnya seperti ancaman maut untuk siapa pun yang memegangnya.

“Lepasin dia.”

Pria yang menahan Ara tertawa sinis, “Lo kira lo siapa? Pangeran gelap kerajaan? minggir sialan jangan ikut campur kalau tak mau mati!”

Arcel tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan sambil menatap dingin orang yang mencoba menculik Ara.

Pria yang memegang pisau mengangkat bilahnya. “Satu langkah lagi, gue….”

BRUGH!

Arcel menendang tong sampah besar hingga meluncur keras dan menghantam kaki pria itu. Pisau terlepas. Ara jatuh ke lantai, tetapi ia langsung merayap menjauh.

“AARGHHH…..!” pria itu memekik kesakitan.

Namun ia belum sempat berdiri ketika Arcel sudah berada di depannya.

Arcel mencengkeram wajah pria itu dan menghantamkan kepalanya ke dinding.

BUGH!

Pria itu langsung pingsan.

Ara menahan napas. Ia belum pernah melihat seseorang memukuli orang lain seperti itu

Belum pernah melihat laki-laki menggila hanya karena dirinya.

Arcel memutar tubuh, menatap Ara.

Wajahnya masih dipenuhi amarah, tetapi matanya, mata itu seperti melahap Ara hidup-hidup.

“Ara…”

Ara bangkit pelan, mundur satu langkah. “ Jangan deket deket gue.”

Arcel menghela napas panjang, berusaha menurunkan emosinya. Ia mengangkat kedua tangannya seolah menunjukkan ia tidak akan menyakiti.

“Aku nggak akan nyentuh kamu.” Ia menelan ludah, suaranya lebih pelan. “Kecuali kamu izinin.”

Ara menatap tajam. “Apa yang barusan terjadi? Mereka nyebut nama ‘bos’. “ Kamu punya musuh?”

Arcel memejamkan mata sebentar. “Ara, kamu harus ikut aku.”

“Apa?! Ngapain?!”

Arcel mendekat, suaranya rendah, intens.

“Karena kalau kamu tetap di sini, mereka bakal balik lagi.”

“Kenapa aku yang diburu? Mereka bahkan nyebut nama kamu.”

“Itu sebabnya kamu nggak boleh sendirian.”

Ara menggigit bibir bawahnya, masih takut, tapi juga marah. “Aku nggak percaya sama kamu.”

Arcel mendekat lagi, hanya satu meter dari Ara sekarang. Tatapannya menelusuri wajah Ara dalam-dalam, bahkan sangat dalam.

Dan tiba-tiba ia berujar, “Ara aku butuh kamu untuk tetap hidup.” Jantung Ara berhenti sepersekian detik.

“Terserah kamu mau percaya atau nggak.”

Arcel menunduk sedikit, menatap mata Ara dari bawah, suaranya rendah dan gelap.

“Yang jelas, aku nggak bakal biarin ada yang sentuh kamu.”

Ara mundur sedikit. “Arcel, ini gila. Kita bahkan baru ketemu!”

Arcel menyeringai tipis. “Tapi aku udah telanjur suka sama kamu.”

“Aku bukan barang buat kamu paksa seenaknya.”

“Bukan.” Arcel mendekat lagi. “Kamu lebih bahaya dari itu.”

Ara menggertakkan gigi. “Kamu mau apa sebenarnya?”

Arcel menatap bibir Ara satu detik terlalu lama. “Aku mau kamu aman.”

“Dengan ikut kamu? Kamu aja sumber masalah!”

Arcel mengusap rambut ke belakang, frustrasi.

“Kalau aku sumber masalah, aku juga satu-satunya solusi.”

Ara hendak membalas, namun suara langkah kaki terdengar dari ujung gang.

Ara dan Arcel menoleh bersamaan.

Tiga bayangan muncul pria-pria berbeda dari sebelumnya, memakai hoodie gelap, masing-masing memegang benda panjang yang ditutupi kain.

Arcel mendesis. “Anji*g,” bisiknya. “Udah mulai.”

“Apa itu?” tanya Ara mengecil.

Arcel menatap Ara cepat, matanya serius.

“Dengar baik-baik.” Ia mendekat, hampir menempel. “Kalau aku bilang lari, kamu lari.”

Ara menelan ludah. “Tapi,”

“Aku bakal nyusul kamu, cepet lari Ara sayang!”

Tiga pria itu berhenti sepuluh meter dari mereka. Yang di tengah membuka kain penutup benda panjang itu.

Ara melihatnya dengan mata membesar. Bukan tongkat. Bukan pisau. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Arcel memegang lengan Ara kencang.

“Ara lari….!”

Ara menggeleng panik, “Arcel…..”

Pria itu menarik benda tuas panjangnya.

Dan suara klik yang terdengar membuat darah siapapun membeku.

Arcel menatap Ara dengan tatapan terakhir sebelum badai.

“Aku bilang… LARI.”

Ara terpaksa memutar tubuh dan berlari sekuat tenaga. Dan ketika suara keras itu akhirnya meledak mengoyak udara.

Ara belum sempat menoleh. Karena ia tidak tahu, apakah Arcel masih berdiri di belakangnya. Atau sudah tumbang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Di Kurung

    Kegelapan menelan lorong itu seperti pandangan Ara sekarang ke Arcel. Jeritan Ara teredam, patah, lalu lenyap. Lampu mati bukan karena rusak, Arcel yang memerintahkannya. Ia ingin Ara berhenti melihat jalan keluar. Ia ingin Ara merasakan apa artinya berada di bawah kendali penuh. Saat lampu kembali menyala, Ara sudah terduduk di lantai, punggungnya menempel dinding dingin. Napasnya masih terisak, bahunya bergetar. Arcel berdiri beberapa langkah darinya. Tidak menyentuh. Tidak mendekat. Diamnya jauh lebih menekan daripada cengkeraman. “Bangun,” ucapnya tenang. Ara menggeleng, keras kepala yang tersisa hanya itu. Matanya sembab, merah, penuh luka yang tidak terlihat. “Gue capek,” bisiknya. “Gue… udah gak punya apa-apa.” Arcel melangkah satu langkah. Lalu berhenti. “Kamu punya aku,” katanya datar. Kalimat itu bukan penawaran tapi ketetapan. Ara tertawa lirih, getir. “Itu bukan hal yang bikin gue tenang saat ini, lo yang bikin gue kayak gini Ar, percuma gue mulai percaya sama lo ta

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Obsesi Mematikan

    “LO BUKAN MANUS….EMHHH!”Suara Ara tercekik ketika tangan Arcel mencengkeram dagunya, memaksa wajahnya mendongak. Napas mereka bertabrakan di udara dingin ruang bawah tanah itu.“Ulangi,” ucap Arcel pelan.Nada itu jauh lebih mengerikan daripada teriakan.Ara mencakar pergelangan tangannya, tapi Arcel tidak bergeming. Tangannya seperti besi, kuat, stabil, dingin.“Lepasin gue!” Ara berteriak, suaranya pecah. “Gue benci lo! Lo gila! Sakit!”Arcel menatapnya tanpa emosi. Matanya hitam, kosong, seolah semua kelembutan yang pernah Ara kenal telah dikubur hidup-hidup.“Benci aku,” katanya rendah. “Teriak ayo teriak lagi baby girl. Tapi jangan pernah sebut kalau aku ini bukan manusia.”Tangannya melepas dagu Ara dengan kasar. Tubuh Ara langsung melorot ke lantai, terengah-engah, dadanya naik turun cepat.“Lo… lo ngurung gue?” suara Ara bergetar. “Ini tempat apa, Arcel?!”Arcel melangkah lebih jauh ke dalam ruangan. Sepatunya menghantam lantai beton, suaranya menggema.“Ini tempat paling ama

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Arcel Menggila

    DOR!Tembakan itu memecah keheningan. Bukan ke kepala. Bukan ke dada. Peluru itu menghantam lengan Papa Dandi.“AARGHH…..!” Darah menyembur deras. Tubuh pria paruh baya itu terhuyung, terlempar ke samping gerbang, jatuh menghantam lantai marmer dengan suara berat sebelum akhirnya terkapar tak bergerak.“A…ARCEL!” Suara Ara pecah. Paru-parunya seolah diremas. Dunia berhenti berputar. “NO… NO… JANGAN….!”Arcel menurunkan pistolnya dengan gerakan tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menembak ayah kandung wanita yang berdiri di sampingnya.Tatapan Ara gemetar, liar, penuh ketakutan yang belum pernah muncul sebelumnya.“ARCEL!” teriaknya lagi, nyaris histeris.Belum sempat Ara berlari ke arah tubuh ayahnya, tangan Arcel sudah mencengkeram lengannya kuat-kuat.“Masuk,” perintah Arcel dingin.Ara meronta. “Lepasin! Itu Papa gue!”Arcel tidak menjawab. Ia menyeret Ara masuk ke dalam mansion tanpa peduli tatapan anak buah yang membeku. Pintu besar ditutup keras di belakang mer

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Dua Masalah Menyerang

    Ledakan itu terdengar bahkan sebelum alarm berbunyi. Dentuman keras mengguncang markas timur Arcel. Dinding beton bergetar, lampu gantung berayun liar, dan dalam hitungan detik asap hitam pekat menyembur keluar dari salah satu ruangan penyimpanan utama.“BOS!”Arcel sudah berdiri sebelum siapa pun sempat berteriak. Kursi terlempar ke belakang saat ia melangkah cepat menuju lorong. Bau mesiu dan logam terbakar langsung menyergap inderanya.Pintu baja ruangan logistik terbuka setengah. Api melahap segalanya di dalam.Seratus senjata hangus.Kotak-kotak kayu terbakar, peluru meledak kecil-kecil seperti hujan kembang api, rak besi roboh, dan sistem pendingin gagal total.Arcel berdiri di ambang pintu, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal begitu kuat sampai buku jarinya memutih.“Siapa?!” tanyanya datar. Terlalu datar.Tak satu pun anak buah berani menjawab. Marco datang menyusul, napasnya berat. Ia menatap ruangan itu, lalu Arcel bosnya.“Ini bukan kecelakaan,” ujar Marco cepat. “Sistem

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Kalah Sebelum Berperang

    Hujan tidak berhenti setelah keputusan itu diucapkan. Ia justru turun lebih deras, menghantam atap mansion Arcel seperti peringatan bahwa apa pun yang baru saja disepakati bukanlah awal yang tenang, melainkan deklarasi perang.Ara masih berada dalam pelukan Arcel ketika suara petir menyambar keras. Tangannya mencengkeram punggung Arcel, bukan karena takut pada hujan, melainkan karena berat dari pilihan yang baru saja ia ambil akhirnya menekan dadanya.Arcel tidak melepaskannya.Ia berdiri di sana, tubuhnya menjadi dinding, dagunya bertumpu di kepala Ara. Untuk sesaat, dunia di luar mansion Monika, ancaman, bahkan seolah berhenti ada.“Tarik napas,” bisiknya pelan. “Aku di sini.”Ara menutup mata, menarik napas panjang seperti yang diminta. Bau Arcel yang maskulin, dingin, dan terlalu familiar mengisi kekosongan hatinya. “Aku gak mau jadi alat,” ucap Ara lirih. “Aku mau tetap jadi diriku sendiri.”Arcel mengangguk tanpa ragu. “Dan kamu akan jadi itu. Versi dirimu yang gak perlu takut

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Kita Menikah

    Hujan belum benar-benar reda ketika malam jatuh di atas mansion Arcel. Langit gelap seperti disayat-sayat kilat, seolah ikut menyimpan amarah yang belum menemukan jalan keluar.Ara duduk di balkon lantai dua, lututnya ditarik ke dada. Rambutnya basah setengah kering, sisa air hujan yang sempat membasahi teras tadi. Matanya menatap kosong ke taman luas yang kini gelap. Lampu-lampu kecil menyala, rapi, terlalu rapi. Seperti hidupnya sekarang teratur, aman, tapi tanpa ruang bernapas.Di dalam, mansion tidak pernah sesibuk ini.Pengawal mondar-mandir. Beberapa staf mondar-mandir membawa map hitam, koper besi, dan kotak kayu bersegel. Suara langkah kaki beradu dengan marmer, menciptakan gema yang menekan.Arcel berdiri di tengah ruang tamu, jasnya sudah dilepas, kemeja putihnya digulung sampai siku. Wajahnya keras. Mata hitam itu fokus, penuh perhitungan.“Pastikan semua beres malam ini,” ucapnya pada salah satu asistennya. “Aku gak mau ada yang kurang.”“As you wish, Bos.”Mama Nita turun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status