Share

Satu Milyar Untuk Semalam
Satu Milyar Untuk Semalam
Penulis: Xavier Alatas

Awal Obsesi

Penulis: Xavier Alatas
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 19:40:36

Lampu di bar elit itu redup, namun memantulkan berbagai macam warna di dinding kaca, membuat tempat itu terlihat seperti dunia yang berbeda penuh cahaya, aroma alkohol mahal, dan orang-orang yang berusaha melupakan kehidupan mereka di dalam bar penuh maksiat dan kepalsuan itu.

Ara Davinci tidak datang untuk mabuk, bersenang-senang, atau mencari masalah. Ia hanya ingin duduk sebentar setelah hari yang melelahkan di mansion terkutuk milik orangtuanya itu.

Ia meneguk milkshake vanilanya, milkshake di bar seharga tiga juta per gelas karena Ara bukan penggemar alkohol.

Rambut hitamnya tergerai, kulit pucatnya memantulkan cahaya neon, dan pakaiannya malam itu membuat banyak mata sulit berkedip crop top cokelat ketat dengan manik ungu, rok pendek kulit, dan boots hitam selutut. Ara tidak mencoba terlihat seksi ia hanya ingin terlihat kuat.

Dan sayangnya, kekuatan itulah yang menarik perhatian seseorang yang seharusnya tidak ia temui malam itu.

Arcel Arshaka.

Pria itu duduk di VIP, jaraknya hanya beberapa meja dari tempat Ara duduk. Jas biru tua terpasang rapi, rambut hitamnya disisir ke belakang, dan tatapan dinginnya seperti predator yang sedang mengamati mangsa yang baru masuk ke dalam radar.

Asisten pribadinya sempat berbisik,

“Pak, itu Ara Davinci, putri dari…,”

Namun Arcel mengangkat tangan, menghentikan.

“Aku tidak peduli siapa dia,” balasnya datar, namun matanya tidak lepas dari sosok wanita yang kini sedang menggoyang-goyangkan sedotan di gelasnya. “Yang jelas, dia menarik.”

Arcel bukan pria yang terbiasa menunggu atau menebak. Kalau ia menginginkan sesuatu, ia akan mengambilnya. Dan malam itu ia menginginkan Ara Davinci.

“Permisi.” suara berat itu terdengar tepat di samping Ara.

Ara tidak menoleh. “Kalau mau duduk, semua kursi di sini kosong. Jangan nebeng kursi aku.”

Arcel tersenyum kecil. “Menarik.”

Ara menggulir ponselnya tanpa peduli. “Aku bukan hiburan, Mas. Silakan jalan.”

Arcel duduk saja tanpa diminta. Aroma parfum maskulin yang mahal menguar dari tubuhnya. Ara langsung mendongak, siap marah, namun matanya bertemu dengan mata hitam pekat yang dalam dan mematikan.

Tatapan itu membuat jantungnya berhenti sepersekian detik.

“Kenapa kamu duduk tanpa izin?” tanya Ara dengan nada dingin.

“Karena aku tidak butuh izin untuk mendapatkan sesuatu yang aku mau.”

Ara mendengus, memutar bola mata. “Tipe cowok yang sok berkuasa. Aku alergi.”

Arcel tidak tersinggung. Justru bibirnya melengkung samar. “Nama kamu siapa?”

“Ara,” potongnya cepat, “dan itu saja yang perlu kamu tahu.”

“Ara…” Arcel mengulangi pelan, seolah merasakan nama itu di lidahnya. “Aku Arcel.”

“Aku tidak tanya.”

Dan di situlah Arcel semakin tertarik.

Pria-pria seperti Arcel terbiasa dipuja, diburu, atau minimal disambut senyum menggoda. Tapi Ara? Ia bahkan tidak peduli. Lebih parah ia terlihat jengkel.

Arcel mengambil selembar kertas dari saku jasnya cek kosong.

Ara yang melihat itu langsung menaikkan alis.

“Aku tidak jual diri.”

Nada Ara tegas, jelas, dan menusuk.

“Tentu.” Arcel memainkan pulpen. “Tapi aku tetap ingin tawar sesuatu.”

Ara menyilangkan tangan, menatapnya tajam. “Aku tidak tertarik.”

“Belum tentu.” Arcel menulis sesuatu di cek itu, lalu mendorongnya ke arah Ara. “Satu milyar.”

Ara membeku.

Semua suara musik dj, semua lampu neon, semua bau alkohol hilang. Yang terdengar hanya suara detak jantungnya sendiri. Ia menatap angka di cek itu. Lalu menatap Arcel seperti ingin melempar gelas ke kepalanya.

“Maaf,” ucap Ara pelan namun sangat tajam. “Apa kamu pikir aku semurah itu?”

Arcel menyandarkan tubuh, menatap Ara dari ujung rambut hingga ujung sepatu boots nya.

“Tidak murah,” katanya tenang. “Hanya berharga. Dan aku ingin menghabiskan malam denganmu.”

Ara langsung berdiri, kursinya bergeser keras.

“Kayak gini ya cara kamu ngelihat perempuan? Dari harga? Dari tubuh?”

Arcel berdiri juga, masih lebih tinggi dari Ara.

Tatapannya tidak berubah masih datar, masih gelap, namun ada sesuatu yang baru: obsesi.

“Aku hanya ingin yang aku mau,” jawabnya.

Ara mencengkeram cek itu lalu menempelkannya ke dada Arcel. Dengan tekanan. Dan dorongan.

“Tahan cek murahanmu,” katanya dingin. “Aku tidak akan tidur dengan laki-laki seaneh dan sekotor kamu.”

Arcel tersenyum miring, bukan karena senang ditolak tapi karena ia baru menemukan wanita yang tidak bisa ia jinakkan secepat biasanya.

“Aku suka kamu,” katanya.

“Masalah kamu.” Ara berbalik.

Namun baru dua langkah Ara pergi, Arcel menggenggam pergelangan tangannya.

Tidak keras, hanya menahan.

“Ara.”

“Lepas,” desis Ara.

Arcel mendekat sedikit. “You are mine, baby girl.”

Ara menoleh, menatapnya dengan tajam, jari tengah, Ara mengangkatnya tanpa ragu tepat di depan wajah Arcel.

“Dalam mimpi lo, brengsek!”

Ia melepaskan tangan Arcel dan pergi begitu saja.

Arcel terdiam… lalu tertawa pelan.

Tawa yang sangat berbahaya.

“Baik,” gumamnya. “Kalau itu yang kamu mau.”

Ia merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang.

“Cari semua tentang wanita bernama Ara Davinci,” perintahnya datar. “Malam ini juga.”

Ara keluar dari bar dengan langkah cepat, masih mendidih, masih ingin menendang sesuatu. Udara malam yang dingin tidak cukup untuk menurunkan panas emosinya.

“Dasar cowok sinting,” umpatnya.

Ia hendak menyeberang ke parkiran ketika tiba-tiba seseorang memanggil namanya.

“Ara?”

Ara berhenti. Suaranya familiar. Terlalu familiar.

Seseorang berdiri di bawah lampu jalan, wajahnya setengah gelap, tapi Ara mengenalnya dari cara pria itu memanggil namanya.

“Lo ngapain di sini?” tanya Ara terkejut.

Pria itu melangkah maju. Dan sebelum Ara sempat bertanya lagi. Seseorang dari belakang menutup mulut Ara.

Ara terkejut, tubuhnya ditarik brutal ke arah gang samping. Ia berontak keras, namun tangan yang menekap mulutnya semakin kuat.

“Ara Davinci?” suara kasar itu bertanya. “Akhirnya ketemu juga.”

Ara menendang, memukul, menggigit apa pun. Namun genggaman itu semakin kuat.

Seseorang lain muncul di depan, memegang sesuatu yang membuat Ara membatu.

Pisau.

Lampu kelap kelip dari bar memantul di bilahnya.

“Akhiri cepat,” ujar salah satu dari mereka.

Dan Ara baru sadar Arcel bukan satu-satunya masalahnya malam itu.

Sementara itu, di dalam bar, ponsel Arcel bergetar.

Asistennya berkata dengan suara gemetar “Pak saya menemukan sesuatu tentang Nona Ara Davinci. Anda harus lihat ini. Ara sedang.”

Arcel berhenti berjalan. Matanya menyipit. Detak jantungnya berubah. “Sedang apa?”

Asistennya menelan ludah, terdengar panik. “Sedang dalam bahaya besar, Pak. Anda harus cepat.”

Namun kalimatnya terpotong oleh suara Arcel, seperti sesuatu jatuh keras ke tanah di sisi Ara.

Dan suara itu semakin dekat….Semakin dekat….

Sebelum akhirnya. Seseorang memanggil nama Arcel dari belakang. Dengan satu kalimat yang mengubah segalanya.

“Arcel, lo telat…..!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Di Kurung

    Kegelapan menelan lorong itu seperti pandangan Ara sekarang ke Arcel. Jeritan Ara teredam, patah, lalu lenyap. Lampu mati bukan karena rusak, Arcel yang memerintahkannya. Ia ingin Ara berhenti melihat jalan keluar. Ia ingin Ara merasakan apa artinya berada di bawah kendali penuh. Saat lampu kembali menyala, Ara sudah terduduk di lantai, punggungnya menempel dinding dingin. Napasnya masih terisak, bahunya bergetar. Arcel berdiri beberapa langkah darinya. Tidak menyentuh. Tidak mendekat. Diamnya jauh lebih menekan daripada cengkeraman. “Bangun,” ucapnya tenang. Ara menggeleng, keras kepala yang tersisa hanya itu. Matanya sembab, merah, penuh luka yang tidak terlihat. “Gue capek,” bisiknya. “Gue… udah gak punya apa-apa.” Arcel melangkah satu langkah. Lalu berhenti. “Kamu punya aku,” katanya datar. Kalimat itu bukan penawaran tapi ketetapan. Ara tertawa lirih, getir. “Itu bukan hal yang bikin gue tenang saat ini, lo yang bikin gue kayak gini Ar, percuma gue mulai percaya sama lo ta

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Obsesi Mematikan

    “LO BUKAN MANUS….EMHHH!”Suara Ara tercekik ketika tangan Arcel mencengkeram dagunya, memaksa wajahnya mendongak. Napas mereka bertabrakan di udara dingin ruang bawah tanah itu.“Ulangi,” ucap Arcel pelan.Nada itu jauh lebih mengerikan daripada teriakan.Ara mencakar pergelangan tangannya, tapi Arcel tidak bergeming. Tangannya seperti besi, kuat, stabil, dingin.“Lepasin gue!” Ara berteriak, suaranya pecah. “Gue benci lo! Lo gila! Sakit!”Arcel menatapnya tanpa emosi. Matanya hitam, kosong, seolah semua kelembutan yang pernah Ara kenal telah dikubur hidup-hidup.“Benci aku,” katanya rendah. “Teriak ayo teriak lagi baby girl. Tapi jangan pernah sebut kalau aku ini bukan manusia.”Tangannya melepas dagu Ara dengan kasar. Tubuh Ara langsung melorot ke lantai, terengah-engah, dadanya naik turun cepat.“Lo… lo ngurung gue?” suara Ara bergetar. “Ini tempat apa, Arcel?!”Arcel melangkah lebih jauh ke dalam ruangan. Sepatunya menghantam lantai beton, suaranya menggema.“Ini tempat paling ama

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Arcel Menggila

    DOR!Tembakan itu memecah keheningan. Bukan ke kepala. Bukan ke dada. Peluru itu menghantam lengan Papa Dandi.“AARGHH…..!” Darah menyembur deras. Tubuh pria paruh baya itu terhuyung, terlempar ke samping gerbang, jatuh menghantam lantai marmer dengan suara berat sebelum akhirnya terkapar tak bergerak.“A…ARCEL!” Suara Ara pecah. Paru-parunya seolah diremas. Dunia berhenti berputar. “NO… NO… JANGAN….!”Arcel menurunkan pistolnya dengan gerakan tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menembak ayah kandung wanita yang berdiri di sampingnya.Tatapan Ara gemetar, liar, penuh ketakutan yang belum pernah muncul sebelumnya.“ARCEL!” teriaknya lagi, nyaris histeris.Belum sempat Ara berlari ke arah tubuh ayahnya, tangan Arcel sudah mencengkeram lengannya kuat-kuat.“Masuk,” perintah Arcel dingin.Ara meronta. “Lepasin! Itu Papa gue!”Arcel tidak menjawab. Ia menyeret Ara masuk ke dalam mansion tanpa peduli tatapan anak buah yang membeku. Pintu besar ditutup keras di belakang mer

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Dua Masalah Menyerang

    Ledakan itu terdengar bahkan sebelum alarm berbunyi. Dentuman keras mengguncang markas timur Arcel. Dinding beton bergetar, lampu gantung berayun liar, dan dalam hitungan detik asap hitam pekat menyembur keluar dari salah satu ruangan penyimpanan utama.“BOS!”Arcel sudah berdiri sebelum siapa pun sempat berteriak. Kursi terlempar ke belakang saat ia melangkah cepat menuju lorong. Bau mesiu dan logam terbakar langsung menyergap inderanya.Pintu baja ruangan logistik terbuka setengah. Api melahap segalanya di dalam.Seratus senjata hangus.Kotak-kotak kayu terbakar, peluru meledak kecil-kecil seperti hujan kembang api, rak besi roboh, dan sistem pendingin gagal total.Arcel berdiri di ambang pintu, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal begitu kuat sampai buku jarinya memutih.“Siapa?!” tanyanya datar. Terlalu datar.Tak satu pun anak buah berani menjawab. Marco datang menyusul, napasnya berat. Ia menatap ruangan itu, lalu Arcel bosnya.“Ini bukan kecelakaan,” ujar Marco cepat. “Sistem

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Kalah Sebelum Berperang

    Hujan tidak berhenti setelah keputusan itu diucapkan. Ia justru turun lebih deras, menghantam atap mansion Arcel seperti peringatan bahwa apa pun yang baru saja disepakati bukanlah awal yang tenang, melainkan deklarasi perang.Ara masih berada dalam pelukan Arcel ketika suara petir menyambar keras. Tangannya mencengkeram punggung Arcel, bukan karena takut pada hujan, melainkan karena berat dari pilihan yang baru saja ia ambil akhirnya menekan dadanya.Arcel tidak melepaskannya.Ia berdiri di sana, tubuhnya menjadi dinding, dagunya bertumpu di kepala Ara. Untuk sesaat, dunia di luar mansion Monika, ancaman, bahkan seolah berhenti ada.“Tarik napas,” bisiknya pelan. “Aku di sini.”Ara menutup mata, menarik napas panjang seperti yang diminta. Bau Arcel yang maskulin, dingin, dan terlalu familiar mengisi kekosongan hatinya. “Aku gak mau jadi alat,” ucap Ara lirih. “Aku mau tetap jadi diriku sendiri.”Arcel mengangguk tanpa ragu. “Dan kamu akan jadi itu. Versi dirimu yang gak perlu takut

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Kita Menikah

    Hujan belum benar-benar reda ketika malam jatuh di atas mansion Arcel. Langit gelap seperti disayat-sayat kilat, seolah ikut menyimpan amarah yang belum menemukan jalan keluar.Ara duduk di balkon lantai dua, lututnya ditarik ke dada. Rambutnya basah setengah kering, sisa air hujan yang sempat membasahi teras tadi. Matanya menatap kosong ke taman luas yang kini gelap. Lampu-lampu kecil menyala, rapi, terlalu rapi. Seperti hidupnya sekarang teratur, aman, tapi tanpa ruang bernapas.Di dalam, mansion tidak pernah sesibuk ini.Pengawal mondar-mandir. Beberapa staf mondar-mandir membawa map hitam, koper besi, dan kotak kayu bersegel. Suara langkah kaki beradu dengan marmer, menciptakan gema yang menekan.Arcel berdiri di tengah ruang tamu, jasnya sudah dilepas, kemeja putihnya digulung sampai siku. Wajahnya keras. Mata hitam itu fokus, penuh perhitungan.“Pastikan semua beres malam ini,” ucapnya pada salah satu asistennya. “Aku gak mau ada yang kurang.”“As you wish, Bos.”Mama Nita turun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status