Masuk“Satu milyar untuk semalam.” Ara menolak dan melawan. Namun penolakan itu justru membangkitkan obsesi Arcel. Sejak malam itu, Arcel tidak pernah berhenti mengejarnya. Bukan untuk menebus kesalahan melainkan untuk memiliki. “Kamu bukan wanita sewaan,” ucapnya dingin. “Kamu milikku.” lanjutnya sambil tersenyum miring. Ara ingin kabur. Namun Arcel tak pernah melepaskan apa yang sudah ia inginkan. Termasuk mengurungnya di sangkar emas miliknya.
Lihat lebih banyakLampu bar elit itu redup, namun warna neon biru dan ungu yang memantul di dinding kaca membuat tempat itu terlihat seperti dunia yang berbeda penuh musik, aroma alkohol mahal, dan orang-orang yang berusaha melupakan kehidupan mereka di luar pintu.
Ara Davinci tidak datang untuk mabuk, bersenang-senang, atau mencari masalah. Ia hanya ingin duduk sebentar setelah hari yang melelahkan di tempat kerjanya. Ia meneguk milkshake vanilanya, milkshake di bar seharga tiga juta per gelas karena Ara bukan penggemar alkohol. Rambut hitamnya tergerai, kulit pucatnya memantulkan cahaya neon, dan pakaiannya malam itu membuat banyak mata sulit berkedip crop top cokelat ketat dengan manik ungu, rok pendek kulit, dan boots hitam selutut. Ara tidak mencoba terlihat seksi ia hanya ingin terlihat kuat. Dan sayangnya, kekuatan itulah yang menarik perhatian seseorang yang seharusnya tidak ia temui malam itu. Arcel Arshaka. Pria itu duduk di VIP, jaraknya hanya beberapa meja dari tempat Ara duduk. Jas biru tua terpasang rapi, rambut hitamnya disisir ke belakang, dan tatapan dinginnya seperti predator yang sedang mengamati mangsa yang baru masuk ke dalam radar. Asisten pribadinya sempat berbisik, “Pak, itu Ara Davinci, putri dari…,” Namun Arcel mengangkat tangan, menghentikan. “Aku tidak peduli siapa dia,” balasnya datar, namun matanya tidak lepas dari sosok wanita yang kini sedang menggoyang-goyangkan sedotan di gelasnya. “Yang jelas, dia menarik.” Arcel bukan pria yang terbiasa menunggu atau menebak. Kalau ia menginginkan sesuatu, ia akan mengambilnya. Dan malam itu ia menginginkan Ara Davinci. “Permisi.” suara berat itu terdengar tepat di samping Ara. Ara tidak menoleh. “Kalau mau duduk, semua kursi di sini kosong. Jangan nebeng kursi aku.” Arcel tersenyum kecil. “Menarik.” Ara menggulir ponselnya tanpa peduli. “Aku bukan hiburan, Mas. Silakan jalan.” Arcel duduk saja tanpa diminta. Aroma parfum maskulin yang mahal menguar dari tubuhnya. Ara langsung mendongak, siap marah, namun matanya bertemu dengan mata hitam pekat yang dalam dan mematikan. Tatapan itu membuat jantungnya berhenti sepersekian detik. “Kenapa kamu duduk tanpa izin?” tanya Ara dengan nada dingin. “Karena aku tidak butuh izin untuk mendapatkan sesuatu yang aku mau.” Ara mendengus, memutar bola mata. “Tipe cowok yang sok berkuasa. Aku alergi.” Arcel tidak tersinggung. Justru bibirnya melengkung samar. “Nama kamu siapa?” “Ara,” potongnya cepat, “dan itu saja yang perlu kamu tahu.” “Ara…” Arcel mengulangi pelan, seolah merasakan nama itu di lidahnya. “Aku Arcel.” “Aku tidak tanya.” Dan di situlah Arcel semakin tertarik. Pria-pria seperti Arcel terbiasa dipuja, diburu, atau minimal disambut senyum menggoda. Tapi Ara? Ia bahkan tidak peduli. Lebih parah ia terlihat jengkel. Arcel mengambil selembar kertas dari saku jasnya cek kosong. Ara yang melihat itu langsung menaikkan alis. “Aku tidak jual diri.” Nada Ara tegas, jelas, dan menusuk. “Tentu.” Arcel memainkan pulpen. “Tapi aku tetap ingin tawar sesuatu.” Ara menyilangkan tangan, menatapnya tajam. “Aku tidak tertarik.” “Belum tentu.” Arcel menulis sesuatu di cek itu, lalu mendorongnya ke arah Ara. “Satu milyar.” Ara membeku. Semua suara musik dj, semua lampu neon, semua bau alkohol hilang. Yang terdengar hanya suara detak jantungnya sendiri. Ia menatap angka di cek itu. Lalu menatap Arcel seperti ingin melempar gelas ke kepalanya. “Maaf,” ucap Ara pelan namun sangat tajam. “Apa kamu pikir aku semurah itu?” Arcel menyandarkan tubuh, menatap Ara dari ujung rambut hingga ujung sepatu boots nya. “Tidak murah,” katanya tenang. “Hanya berharga. Dan aku ingin menghabiskan malam denganmu.” Ara langsung berdiri, kursinya bergeser keras. “Kayak gini ya cara kamu ngelihat perempuan? Dari harga? Dari tubuh?” Arcel berdiri juga, masih lebih tinggi dari Ara. Tatapannya tidak berubah masih datar, masih gelap, namun ada sesuatu yang baru: obsesi. “Aku hanya ingin yang aku mau,” jawabnya. Ara mencengkeram cek itu lalu menempelkannya ke dada Arcel. Dengan tekanan. Dan dorongan. “Tahan cek murahanmu,” katanya dingin. “Aku tidak akan tidur dengan laki-laki seaneh dan sekotor kamu.” Arcel tersenyum miring, bukan karena senang ditolak tapi karena ia baru menemukan wanita yang tidak bisa ia jinakkan secepat biasanya. “Aku suka kamu,” katanya. “Masalah kamu.” Ara berbalik. Namun baru dua langkah Ara pergi, Arcel menggenggam pergelangan tangannya. Tidak keras, hanya menahan. “Ara.” “Lepas,” desis Ara. Arcel mendekat sedikit. “You are mine, baby girl.” Ara menoleh, menatapnya dengan tajam, jari tengah, Ara mengangkatnya tanpa ragu tepat di depan wajah Arcel. “Dalam mimpi lo, brengsek!” Ia melepaskan tangan Arcel dan pergi begitu saja. Arcel terdiam… lalu tertawa pelan. Tawa yang sangat berbahaya. “Baik,” gumamnya. “Kalau itu yang kamu mau.” Ia merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang. “Cari semua tentang wanita bernama Ara Davinci,” perintahnya datar. “Malam ini juga.” Ara keluar dari bar dengan langkah cepat, masih mendidih, masih ingin menendang sesuatu. Udara malam yang dingin tidak cukup untuk menurunkan panas emosinya. “Dasar cowok sinting,” umpatnya. Ia hendak menyeberang ke parkiran ketika tiba-tiba seseorang memanggil namanya. “Ara?” Ara berhenti. Suaranya familiar. Terlalu familiar. Seseorang berdiri di bawah lampu jalan, wajahnya setengah gelap, tapi Ara mengenalnya dari cara pria itu memanggil namanya. “Lo ngapain di sini?” tanya Ara terkejut. Pria itu melangkah maju. Dan sebelum Ara sempat bertanya lagi. Seseorang dari belakang menutup mulut Ara. Ara terkejut, tubuhnya ditarik brutal ke arah gang samping. Ia berontak keras, namun tangan yang menekap mulutnya semakin kuat. “Ara Davinci?” suara kasar itu bertanya. “Akhirnya ketemu juga.” Ara menendang, memukul, menggigit apa pun. Namun genggaman itu semakin kuat. Seseorang lain muncul di depan, memegang sesuatu yang membuat Ara membatu. Pisau. Lampu kelap kelip dari bar memantul di bilahnya. “Akhiri cepat,” ujar salah satu dari mereka. Dan Ara baru sadar Arcel bukan satu-satunya masalahnya malam itu. Sementara itu, di dalam bar, ponsel Arcel bergetar. Asistennya berkata dengan suara gemetar “Pak saya menemukan sesuatu tentang Nona Ara Davinci. Anda harus lihat ini. Ara sedang.” Arcel berhenti berjalan. Matanya menyipit. Detak jantungnya berubah. “Sedang apa?” Asistennya menelan ludah, terdengar panik. “Sedang dalam bahaya besar, Pak. Anda harus cepat.” Namun kalimatnya terpotong oleh suara Arcel, seperti sesuatu jatuh keras ke tanah di sisi Ara. Dan suara itu semakin dekat….Semakin dekat…. Sebelum akhirnya. Seseorang memanggil nama Arcel dari belakang. Dengan satu kalimat yang mengubah segalanya. “Arcel, lo telat…..!”Hujan belum benar-benar reda ketika malam jatuh di atas mansion Arcel. Langit gelap seperti disayat-sayat kilat, seolah ikut menyimpan amarah yang belum menemukan jalan keluar.Ara duduk di balkon lantai dua, lututnya ditarik ke dada. Rambutnya basah setengah kering, sisa air hujan yang sempat membasahi teras tadi. Matanya menatap kosong ke taman luas yang kini gelap. Lampu-lampu kecil menyala, rapi, terlalu rapi. Seperti hidupnya sekarang teratur, aman, tapi tanpa ruang bernapas.Di dalam, mansion tidak pernah sesibuk ini.Pengawal mondar-mandir. Beberapa staf mondar-mandir membawa map hitam, koper besi, dan kotak kayu bersegel. Suara langkah kaki beradu dengan marmer, menciptakan gema yang menekan.Arcel berdiri di tengah ruang tamu, jasnya sudah dilepas, kemeja putihnya digulung sampai siku. Wajahnya keras. Mata hitam itu fokus, penuh perhitungan.“Pastikan semua beres malam ini,” ucapnya pada salah satu asistennya. “Aku gak mau ada yang kurang.”“As you wish, Bos.”Mama Nita turun
“Aku jelas pilih kamu baby girl. Gak ada perempuan lain yang bisa geser kamu di hati dan pikiranku. Only you, trust me baby girl.”Ucapan itu keluar tanpa ragu dari bibir Arcel. Tegas. Tidak ada jeda. Tidak ada ruang untuk tafsir ganda.Ara menghela napas panjang, seolah selama ini paru-parunya baru benar-benar bekerja. Dadanya menghangat. Namun jauh di lubuk terdalam, ada perasaan tak enak yang menolak pergi. Seperti firasat buruk akan datang.Arcel mencium keningnya. “Aku gak akan ulangi kesalahan yang sama dua kali.”Ara mengangguk. Ia ingin percaya sepenuhnya. Ia memang percaya. Tapi kepercayaan tidak selalu mampu membungkam ancaman.Sore itu, Arcel terpaksa ke kantor. Urusan mendadak. Klien lama yang tak bisa menunggu. Ia meninggalkan mansion dengan pengawalan ketat, memastikan Ara aman.“Aku gak lama,” ucap Arcel sebelum masuk mobil. “Jangan keluar rumah sendirian. Hari ini yang jaga di depan cuma dua orang. Jangan buat aku khawatir oke sayang.” Ara mengangguk. “Aku udah bersar
Hujan belum berhenti saat pintu mansion tertutup rapat di belakang mereka. Suara dunia luar seakan diputus. Tinggal nafanya yang masih berat, dada yang naik turun, dan detak jantung yang belum menemukan ritmenya.Arcel berdiri kaku. Tubuhnya masih tegang, rahangnya mengeras, mata gelap. Ara memegang wajahnya dengan kedua tangan, memaksa pria itu menatapnya.“Tarik napas,” ucap Ara pelan, hampir berbisik. “Aku di sini jangan emosi kayak gini, calm down Arcel.” Arcel menghembuskan napas kasar. Tangannya turun, mencengkeram pergelangan tangan Ara bukan untuk menahan, tapi memastikan Ara nyata. Tidak pergi. Tidak menghilang.“Aku hampir….” Arcel berhenti. Kata itu menggantung. “Aku hampir kehilangan kendali.”Ara menggeleng. “Tapi kamu berhasil berhenti.”“Karena kamu,” balas Arcel cepat. “Selalu kamu.”Kalimat itu menancap. Ara menelan ludah. Ada rasa hangat yang menjalar, bercampur takut dan lega. Ia meraih tangan Arcel, menggenggam lebih erat.“Malam ini,” kata Ara, “jangan tinggalkan
Ara tidak jadi melangkah ke mobil itu.Langkahnya terhenti tepat di tengah hujan, tubuhnya kaku saat suara Arcel memanggil namanya untuk kedua kalinya. Kali ini bukan sekadar panggilan. Itu perintah. Tegas. Penuh kendali.“Ara! Balik.”Dadanya terasa sesak. Jari-jarinya mengepal. Ia tahu, sekali ia melangkah ke mobil itu, tidak ada jalan kembali. Tapi berbalik ke Arcel juga bukan tanpa konsekuensi.Ara memilih berbalik.Langkahnya pelan menuju Arcel. Hujan membasahi rambut dan wajahnya, menyamarkan gemetar yang tidak bisa ia sembunyikan. Arcel berdiri diam, sorot matanya gelap, rahangnya mengeras.“Kamu bohong,” ulang Arcel dingin saat Ara berhenti tepat di depannya.Ara menunduk. “Maaf.”Satu kata itu jatuh berat.Arcel menertawakan tanpa suara. “Itu saja?”Ara mengangkat wajah. Matanya berkaca-kaca. “Aku takut.”Keheningan merambat di antara mereka. Arcel tidak membentak. Tidak menyentuh. Justru itu yang membuat Ara semakin merasa bersalah. Tatapan Arcel bukan marah meledak-ledak, t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.