Share

Terjebak Pelukannya

Penulis: Xavier Alatas
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 20:10:31

Angin malam menerpa wajah Ara ketika ia berlari sekuat tenaga melewati lorong sempit di belakang hotel.

Nafasnya memburu, tubuhnya masih gemetar setelah apa yang terjadi barusan suara tembakan, teriakan laki-laki yang mengejar, dan tangan Arcel yang menariknya masuk ke dalam mobil seolah waktu akan berhenti mengejar mereka.

Tapi ternyata, bahaya belum selesai.

“Masuk!” Arcel menarik pintu samping mobil hitam itu, suaranya rendah namun tegas.

“Apa sih! Aku bisa sendiri.”

DOR!

Sebuah peluru menghantam panel logam di belakang mereka. Ara spontan memekik. Jantungnya serasa mencuat ke tenggorokan.

Arcel mendorongnya masuk dan tubuhnya menutupi Ara, menunduk sambil menarik pintu. “Nanti kamu marah lagi terserah, tapi sekarang diam!”

Mobil melaju kencang. Ara memeluk dirinya sendiri, udara dingin AC tak mampu menenangkan tubuhnya yang masih gemetar.

“Apa-apaan itu barusan?! Kenapa ada tembakan?! Siapa mereka?!” Ara memukul dashboard mobil.

Arcel tak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, matanya fokus pada jalan seolah ia sedang membunuh udara dengan tatapannya.

“Jawab, Arcel!”

Arcel menoleh sebentar, pupilnya mengecil. “Mereka musuhku.”

“Aku tahu itu! Tapi kenapa mereka ngejar aku?!”

Tatapan Arcel melunak sedikit. “Karena kamu bersama aku.”

Ara meremas rok hitamnya kuat-kuat. “Gila… ini gila banget. Gue cuma mau pulang dari bar, Arcel! Gak ada urusan sama hidup lo yang kacau itu!”

Arcel menghela napas panjang. “Kamu aman sekarang.”

“Aman dari mana?! Barusan hampir mati!”

Mobil berbelok memasuki jalan pribadi yang sangat panjang, diapit pepohonan tinggi yang gelap. Ara menelan ludah. Jalannya seperti tak berujung. Dan mansion besar dengan cahaya lampu keemasan mulai tampak di ujung.

“Hah…” Ara terkekeh tidak percaya. “Arcel, jangan bilang lo bawa gue ke tempat lo.”

Arcel tidak menjawab. Itu jawaban paling menakutkan.

“Stop. Berhenti. Gue pulang.”

“Kamu gak akan pulang malam ini,” jawab Arcel santai.

Ara mencengkeram handle pintu. “Gue serius. Kalau lo.”

“Kunci otomatis,” Arcel memencet tombol. “Jangan coba-coba.”

Ara ingin menjerit. “Lo gila?!”

“Untuk kamu, iya.”

Begitu mobil berhenti, pintu dibukakan penjaga. Mansion itu terlalu besar, terlalu mewah, terlalu penuh aura bahaya. Pintu masuk tinggi, halaman luas, dan aroma mawar segar menyambut mereka.

Arcel turun lebih dulu lalu membuka pintu Ara.

“Ayo.”

Ara menatapnya tajam. “Gue gak ikut.”

Arcel menarik tangannya pelan, bukan kasar, tapi tetap tak memberi kesempatan.

“Ara.”

“Lepasin.”

“Ayo turun.”

“Lepasin!” Ara meronta, tapi genggaman Arcel justru menguat.

“Sayang mau kemana? Kamu gak akan bisa pergi kalau udah di mansionku ini,” ucap Arcel sambil menatap lurus ke matanya.

Kata “sayang” itu membuat tubuh Ara merinding bukan karena manis, tapi karena kesan berbahaya yang mengintai.

“Lo gila Arcel, lepasin gue!” Ara berteriak. “Gue mau pulang!”

Arcel mengangkat alis. “Aku-kamu sayang. Jangan lo gue, aku gak enak dengernya.” Tegurnya seolah mereka sedang ribut masalah cemburu, bukan masalah nyawa.

“Aku gak peduli! Lepasin aku!”

Arcel tersenyum tipis. “Kamu boleh marah nanti, tapi sekarang masuk.”

Ia menggendong Ara tiba-tiba, membuat perempuan itu menjerit kecil dan memukul bahu Arcel berkali-kali. “Turunin! Arcel! Sialan!”

“Berisik,” gumam Arcel sambil membawa Ara masuk ke dalam mansion.

Aroma lavender menyelimuti interior mansion. Lantai marmer putih, lampu kristal yang memantulkan cahaya halus, dan lorong-lorong panjang dengan lukisan mahal menambah tekanan di dada Ara.

“Kenapa kamu bawa aku ke sini? mau apa?!” Ara menatapnya penuh amarah dan ketakutan.

Arcel berhenti di depan sebuah kamar besar.

“Karena di luar gak aman.”

“Dan di sini aman? Di tempat lo? Tempat mafia?” Ara mendengus.

Arcel membuka pintu kamar. “Untuk kamu, iya.”

Ara memundurkan diri. “Gue gak mau di kamar ini.”

“Kamarmu,” jawab Arcel singkat.

Ara ingin memukul wajah laki itu tapi ia tahu itu tak ada gunanya. Arcel menatapnya lama, terlalu lama, hingga napas Ara ikut tersendat.

“Kamu diam karena takut atau karena kamu tau aku gak akan nyakitin kamu?”

Ara menelan ludah. “Gue takut karena lo bukan orang biasa.”

“Betul.” Arcel menutup pintu pelan. “Dan itu alasan kenapa kamu gak akan aku biarkan pergi.”

Ara mundur dua langkah. “Lo gak punya hak.”

“Aku punya hak untuk melindungi kamu,” potong Arcel. “Karena sejak malam itu aku gak bisa berhenti mikirin kamu.”

Ara terdiam.

Malam itu. Ciuman panas yang tidak seharusnya terjadi. Ara bahkan masih mengutuk dirinya sendiri kenapa ia membiarkan Arcel menariknya di lorong club malam dua minggu lalu.

“Aku bukan milik kamu!” Ara berbisik marah.

Arcel mendekat selangkah. “Bukan tapi kamu akan jadi.”

Ara menahan napas. “Lo pikir gue mau?!”

“Ya.”

Ara ingin menamparnya, tapi Arcel menangkap pergelangan tangannya duluan. Genggamannya hangat, tapi kuat. Terlalu kuat.

“Lepasin aku, Arcel…”

“Ara.” Suaranya lembut. “Kamu aman di sini.”

“Kalo aman kenapa pintunya dikunci?”

Arcel tersenyum kecil. “Biar kamu gak kabur.”

Ara terpekik dan langsung lari berusaha membuka pintu. Gagangnya tak bergerak. “Gila lo! Lo gila!”

Arcel menghela napas panjang lalu mendekat. “Ara… aku cuma mau kamu istirahat.”

“Gue mau pulang!”

“Kamu udah di rumah.”

“INI BUKAN RUMAH GUE!”

Arcel mendekat, tubuhnya nyaris menyentuh tubuh Ara yang menempel pada pintu. Napasnya hangat di leher Ara, membuat perempuan itu memejam saking gugup dan takutnya.

“Aku gak akan nyakitin kamu,” bisik Arcel. “Tapi aku juga gak akan biarin kamu pergi.”

Ara membuka mata, menatapnya tajam, penuh sumpah serapah yang tertahan. “Kenapa? Kenapa lo ngotot banget sama gue?”

Arcel menatapnya seperti sesuatu yang sangat ia inginkan. “Karena kamu satu-satunya hal yang gak bisa aku beli… tapi ingin aku miliki.”

Jantung Ara memukul keras.

“Aku gak main-main. Kamu di sini sampai semuanya aman.”

“Dan kalau gue tetap mau pergi?” Arcel menyentuh pipinya pelan. “Maka aku akan tetap tarik kamu balik ke sini.”

Ara menepis tangan itu, panik. “Gue benci lo.”

Arcel tersenyum seolah itu pujian. “Benci dulu gak papa. Nanti bakal terbiasa sayang.”

Ara mundur. Arcel ikut maju. Hingga sudut kamar menjadi satu-satunya tempat Ara bisa berpegangan. “Arcel jangan dekat-dekat.”

“Kamu takut aku cium kamu lagi?”

Ara menahan napas. Arcel mencondongkan tubuhnya. “Sebelum kamu kabur, ada satu hal yang harus kamu tau.”

Ara menatapnya dengan dada bergemuruh.

“Aku gak cuma diserang musuh malam ini,” suara Arcel merendah, tegang. “Tapi salah satu dari mereka bilang sesuatu tentang kamu.”

Ara membeku. “Tentang aku?”

Arcel mengangguk pelan. Matanya berubah gelap. “Mereka bilang kamu sebenarnya.”

Arcel berhenti. Terdengar dentuman keras dari luar mansion.

DUAR…..!

SRETT…..!

Arcel langsung menarik Ara ke belakang tubuhnya. “Kamu gak sendirian malam ini,” bisiknya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Di Kurung

    Kegelapan menelan lorong itu seperti pandangan Ara sekarang ke Arcel. Jeritan Ara teredam, patah, lalu lenyap. Lampu mati bukan karena rusak, Arcel yang memerintahkannya. Ia ingin Ara berhenti melihat jalan keluar. Ia ingin Ara merasakan apa artinya berada di bawah kendali penuh. Saat lampu kembali menyala, Ara sudah terduduk di lantai, punggungnya menempel dinding dingin. Napasnya masih terisak, bahunya bergetar. Arcel berdiri beberapa langkah darinya. Tidak menyentuh. Tidak mendekat. Diamnya jauh lebih menekan daripada cengkeraman. “Bangun,” ucapnya tenang. Ara menggeleng, keras kepala yang tersisa hanya itu. Matanya sembab, merah, penuh luka yang tidak terlihat. “Gue capek,” bisiknya. “Gue… udah gak punya apa-apa.” Arcel melangkah satu langkah. Lalu berhenti. “Kamu punya aku,” katanya datar. Kalimat itu bukan penawaran tapi ketetapan. Ara tertawa lirih, getir. “Itu bukan hal yang bikin gue tenang saat ini, lo yang bikin gue kayak gini Ar, percuma gue mulai percaya sama lo ta

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Obsesi Mematikan

    “LO BUKAN MANUS….EMHHH!”Suara Ara tercekik ketika tangan Arcel mencengkeram dagunya, memaksa wajahnya mendongak. Napas mereka bertabrakan di udara dingin ruang bawah tanah itu.“Ulangi,” ucap Arcel pelan.Nada itu jauh lebih mengerikan daripada teriakan.Ara mencakar pergelangan tangannya, tapi Arcel tidak bergeming. Tangannya seperti besi, kuat, stabil, dingin.“Lepasin gue!” Ara berteriak, suaranya pecah. “Gue benci lo! Lo gila! Sakit!”Arcel menatapnya tanpa emosi. Matanya hitam, kosong, seolah semua kelembutan yang pernah Ara kenal telah dikubur hidup-hidup.“Benci aku,” katanya rendah. “Teriak ayo teriak lagi baby girl. Tapi jangan pernah sebut kalau aku ini bukan manusia.”Tangannya melepas dagu Ara dengan kasar. Tubuh Ara langsung melorot ke lantai, terengah-engah, dadanya naik turun cepat.“Lo… lo ngurung gue?” suara Ara bergetar. “Ini tempat apa, Arcel?!”Arcel melangkah lebih jauh ke dalam ruangan. Sepatunya menghantam lantai beton, suaranya menggema.“Ini tempat paling ama

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Arcel Menggila

    DOR!Tembakan itu memecah keheningan. Bukan ke kepala. Bukan ke dada. Peluru itu menghantam lengan Papa Dandi.“AARGHH…..!” Darah menyembur deras. Tubuh pria paruh baya itu terhuyung, terlempar ke samping gerbang, jatuh menghantam lantai marmer dengan suara berat sebelum akhirnya terkapar tak bergerak.“A…ARCEL!” Suara Ara pecah. Paru-parunya seolah diremas. Dunia berhenti berputar. “NO… NO… JANGAN….!”Arcel menurunkan pistolnya dengan gerakan tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menembak ayah kandung wanita yang berdiri di sampingnya.Tatapan Ara gemetar, liar, penuh ketakutan yang belum pernah muncul sebelumnya.“ARCEL!” teriaknya lagi, nyaris histeris.Belum sempat Ara berlari ke arah tubuh ayahnya, tangan Arcel sudah mencengkeram lengannya kuat-kuat.“Masuk,” perintah Arcel dingin.Ara meronta. “Lepasin! Itu Papa gue!”Arcel tidak menjawab. Ia menyeret Ara masuk ke dalam mansion tanpa peduli tatapan anak buah yang membeku. Pintu besar ditutup keras di belakang mer

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Dua Masalah Menyerang

    Ledakan itu terdengar bahkan sebelum alarm berbunyi. Dentuman keras mengguncang markas timur Arcel. Dinding beton bergetar, lampu gantung berayun liar, dan dalam hitungan detik asap hitam pekat menyembur keluar dari salah satu ruangan penyimpanan utama.“BOS!”Arcel sudah berdiri sebelum siapa pun sempat berteriak. Kursi terlempar ke belakang saat ia melangkah cepat menuju lorong. Bau mesiu dan logam terbakar langsung menyergap inderanya.Pintu baja ruangan logistik terbuka setengah. Api melahap segalanya di dalam.Seratus senjata hangus.Kotak-kotak kayu terbakar, peluru meledak kecil-kecil seperti hujan kembang api, rak besi roboh, dan sistem pendingin gagal total.Arcel berdiri di ambang pintu, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal begitu kuat sampai buku jarinya memutih.“Siapa?!” tanyanya datar. Terlalu datar.Tak satu pun anak buah berani menjawab. Marco datang menyusul, napasnya berat. Ia menatap ruangan itu, lalu Arcel bosnya.“Ini bukan kecelakaan,” ujar Marco cepat. “Sistem

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Kalah Sebelum Berperang

    Hujan tidak berhenti setelah keputusan itu diucapkan. Ia justru turun lebih deras, menghantam atap mansion Arcel seperti peringatan bahwa apa pun yang baru saja disepakati bukanlah awal yang tenang, melainkan deklarasi perang.Ara masih berada dalam pelukan Arcel ketika suara petir menyambar keras. Tangannya mencengkeram punggung Arcel, bukan karena takut pada hujan, melainkan karena berat dari pilihan yang baru saja ia ambil akhirnya menekan dadanya.Arcel tidak melepaskannya.Ia berdiri di sana, tubuhnya menjadi dinding, dagunya bertumpu di kepala Ara. Untuk sesaat, dunia di luar mansion Monika, ancaman, bahkan seolah berhenti ada.“Tarik napas,” bisiknya pelan. “Aku di sini.”Ara menutup mata, menarik napas panjang seperti yang diminta. Bau Arcel yang maskulin, dingin, dan terlalu familiar mengisi kekosongan hatinya. “Aku gak mau jadi alat,” ucap Ara lirih. “Aku mau tetap jadi diriku sendiri.”Arcel mengangguk tanpa ragu. “Dan kamu akan jadi itu. Versi dirimu yang gak perlu takut

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Kita Menikah

    Hujan belum benar-benar reda ketika malam jatuh di atas mansion Arcel. Langit gelap seperti disayat-sayat kilat, seolah ikut menyimpan amarah yang belum menemukan jalan keluar.Ara duduk di balkon lantai dua, lututnya ditarik ke dada. Rambutnya basah setengah kering, sisa air hujan yang sempat membasahi teras tadi. Matanya menatap kosong ke taman luas yang kini gelap. Lampu-lampu kecil menyala, rapi, terlalu rapi. Seperti hidupnya sekarang teratur, aman, tapi tanpa ruang bernapas.Di dalam, mansion tidak pernah sesibuk ini.Pengawal mondar-mandir. Beberapa staf mondar-mandir membawa map hitam, koper besi, dan kotak kayu bersegel. Suara langkah kaki beradu dengan marmer, menciptakan gema yang menekan.Arcel berdiri di tengah ruang tamu, jasnya sudah dilepas, kemeja putihnya digulung sampai siku. Wajahnya keras. Mata hitam itu fokus, penuh perhitungan.“Pastikan semua beres malam ini,” ucapnya pada salah satu asistennya. “Aku gak mau ada yang kurang.”“As you wish, Bos.”Mama Nita turun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status