Share

6. Mau jadi istri kedua

"Maaf sebelumnya, saya lupa bertanya tentang status Anda. Apakah Anda suaminya Nona Naya? Teman atau saudaranya?" Pertanyaan dari dokter itu seketika membuyarkan lamunan Ustad Yunus.

"Bukan, Dok." Ustad Yunus menggeleng. "Saya bukan siapa-siapanya."

"Kalau begitu tolong hubungi keluarganya, Pak," pinta dokter. "Beritahukan mereka tentang kondisi Nona Naya supaya dia cepat mendapatkan perawatan khusus."

"Tapi, Dok, apakah depresi yang dialami Naya bisa disembuhkan?" tanya Ustad Yunus yang masih penasaran dengan kondisi Naya.

"Tergantung pada tingkat depresinya, Pak. Saya tidak bisa memberikan penjelasan lebih lanjut ... karena saya bukan dokter spesialisnya. Tapi semoga saja Nona Naya bisa pulih. Dan saran saya, tolong minta keluarganya untuk mencari seseorang bernama Yunus, karena sejak tadi Nona Naya terus menyebut-nyebut namanya."

Ustad Yunus merasa jantungnya berhenti sejenak mendengar kata-kata dokter itu.

'Naya menyebut-nyebut namaku?' pikirnya. 'Apakah benar kondisinya seperti ini karena aku? Karena dia ingin menikah denganku?'

"Yunus!!"

Seseorang tiba-tiba memanggil namanya dan membuatnya menoleh. Ternyata dia adalah Ayah Cakra, yang datang tergesa-gesa bersama istrinya.

Entah bagaimana mereka tahu, tapi yang jelas Ustad Yunus belum menghubungi mereka. Bahkan dia juga tidak memiliki nomor kontaknya.

"Jadi ini yang namanya Yunus, Yah?" tanya wanita berhijab pashmina berwarna merah, di samping Ayah Cakra. Dia tampak memerhatikan Ustad Yunus dari ujung kaki hingga kepala. Dan sebuah senyuman seketika muncul diwajah cantiknya yang sudah tak lagi muda.

Jika dilihat-lihat, wajah perempuan itu sangat mirip sekali dengan Naya.

"Betul, Bu. Saya Yunus." Ustad Yunus mengangguk sambil membungkuk sopan.

"Salam kenal Yunus, aku Noni. Bundanya Naya," kata perempuan itu.

"Salam kenal juga, Bu." Ustad Yunus tersenyum.

"Apa kalian orang tua dari Nona Naya?" tanya Dokter itu sambil menatap Ayah Cakra dan Bunda Noni bergantian. Keduanya pun langsung mengangguk. "Apa Ayahnya Nona Naya bisa pergi ke ruangan saya? Karena saya akan menjelaskan lebih detail tentang kondisi Nona Naya."

"Sebetulnya kami sudah tau kondisi Naya, Dok, bahkan sebelum dia berada disini," ungkap Ayah Cakra yang terlihat sendu.

"Jadi kalian sebelumnya sudah tau jika Nona Naya mengalami depresi berat Pak, Bu?"

"Iya." Keduanya menyahut bersama dengan sama-sama menganggukkan kepala. "Kami sudah membawa Naya ke psikiater, Dok. Sayangnya Naya nggak mau menjalani terapi, apalagi minum obat. Meskipun sudah dibujuk ... dia tetap susah, malah yang ada ngamuk," tambah Ayah Cakra.

"Mungkin Bapak dan Ibu harus kenali dulu pemicu yang membuat Nona Naya depresi, karena mungkin itu bisa menyembuhkannya. Saya perhatikan sejak dia pingsan ... dia terus menyebut-nyebut nama Yunus, Pak, Bu. Dan kebetulan ... pria yang bernama Yunus sudah ada di depan kita." Dokter itu menatap mata Ustad Yunus. Ada kekhawatiran yang tergambar jelas dia lihat.

Dokter berpikir jika kehadiran Ustad Yunus berperan penting di sini, karena pasti bisa menyembuhkan apa yang dialami Naya.

"Kami sudah tau, Dok," sahut Ayah Cakra. "Itu semua karena Naya ingin dinikahi sama Yunus. Tapi sayangnya Yunus nggak mau." Ayah Cakra melirik Ustad Yunus. Dia sedikit menyindirnya supaya pria itu merasa tidak enak padanya.

"Jadi kamu nggak mau, Nus?" tanya Bunda Noni menatap Ustad Yunus yang sedari tadi diam mematung. "Kenapa, Nus? Bukankah kata Naya kamu mencintainya? Apa selama ini kamu nggak benar-benar mencintainya?"

"Saya sudah punya istri, Bu. Dan Naya sudah tau itu."

"Kan aku sudah bilang padamu, Nus ... jika Naya mau menjadi istri kedua," kata Ayah Cakra dengan raut kesal. "Apa salahnya kamu berpoligami?"

Enteng sekali Ayah Cakra mengatakan hal itu. Apakah dia tidak memikirkan hati istri dari Ustad Yunus?

Mungkin memang tidak, karena yang terpenting baginya adalah kebahagiaan anak semata wayangnya.

"Naya memang mau jadi istri kedua, tapi Bapak harus pikirkan juga istri saya. Dan bukankah Bapak juga sudah tau kalau dia nggak mau dimadu?"

"Kamu 'kan bisa membujuknya, Nus."

Ustad Yunus perlahan membuang napasnya dengan gusar, lalu memijat dahinya sebentar yang mendadak kepalanya terasa pening.

"Suamiku benar, Nus, coba bujuk saja istrimu itu." Bunda Noni menimpali. Tampaknya pemikirannya sama seperti suaminya.

"Meski dibujuk pun Dek Yumna nggak akan mau Pak, Bu. Dan saya di sini nggak mau menyakiti hatinya."

"Dicoba saja dulu, Nus, kalau belum mencoba mana bisa kita tau." Ayah Cakra berusaha membujuk, serta menghasut supaya pria itu luluh. "Sekarang kamu pulang dan bujuk dia, kalau dia nggak mau mending kamu ceraikan saja, lalu menikah dengan Naya. Beres!" lanjutnya dengan enteng.

"Ya Allah, Pak ... nggak kayak gitu. Itu sama seperti menyakitinya."

Entah mengapa Ustad Yunus terlihat sangat lemah sekali disini. Dia bingung untuk mengambil keputusan. Sungguh dia merasa dilema.

Naya memang masa lalu baginya, tapi tidak dipungkiri jika cintanya masih utuh di dalam hati.

Namun, Ustad Yunus juga tak boleh melupakan Yumna yang menjadi cinta baru dihidupnya, meskipun cinta itu sempat rusak karena hilangnya suatu kepercayaan.

"Terkadang kita memang harus menyakiti hati seseorang, Nus, untuk bisa meraih kebahagiaan kita sendiri. Aku juga yakin ... bahwa cintamu kepada Naya jauh lebih besar dibanding cintamu kepada istrimu," lanjut Ayah Cakra menghasut.

Benarkah demikian apa yang dia katakan? Entahlah, hanya Ustad Yunus dan Allah yang tahu.

Setelah terus menerus dihasut, Ustad Yunus akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.

Sepertinya, tujuannya kali ini akan membujuk Yumna, tapi entah itu berhasil atau tidak. Tapi yang jelas, seperti apa yang dikatakan Ayah Cakra dan Bunda Noni—yakni dia akan mencobanya terlebih dahulu.

Sebelum sampai rumah, Ustad Yunus menyempatkan mampir ke konter hape dan toko bunga. Untuk membeli ponsel baru untuknya sekalian membeli sebuket mawar merah untuk Yumna.

*

*

"Assalamualaikum," ucap Ustad Yunus saat sudah turun dari mobilnya.

Umi Mae yang berada di warung, sedang melayani pembeli langsung berlari menghampiri anaknya. Apalagi dia tidak melihat Yumna di sana.

Umi Mae memang punya usaha warung kecil di samping rumah.

Bangunan kecil itu adalah hadiah ulang tahun yang pernah diberikan oleh Ustad Yunus.

"Walaikum salam," jawab Umi Mae, lalu Ustad Yunus membungkukkan badan dan mencium punggung tangannya. "Di mana Yumna, Nak?" lanjutnya bertanya.

"Yumna?!" Kening Ustad Yunus terlihat mengerenyit.

"Iya, Yumna. Dia dari pagi ke masjid untuk menemuimu sekalian mengantarkan sarapan. Tapi sampai sekarang dia belum pulang."

Bahkan sekarang sudah jamnya makan siang.

"Pergi ke masjid?!" Ustad Yunus sontak membelalakkan matanya. Bagaimana bisa dia tidak tahu istrinya ke masjid, dan apakah Yumna juga tahu jika Naya sempat datang? Itulah hal yang dia pikirkan sekarang. Lantas, buru-buru dia berlari masuk lagi ke dalam mobilnya lalu pamit dan mengucapkan salam. "Aku mau balik ke masjid dulu, Umi, assalamualaikum."

"Walaikum salam. Hati-hati, Nak."

Umi Mae menatap kepergian anaknya dengan penuh tanda tanya. Entah mengapa perasaannya pun jadi tidak enak.

'Ya Allah... tolong jaga keutuhan rumah tangga anakku. Berikan Yunus dan Yumna kebahagiaan,' batinnya berdo'a dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status