Share

7. Apa yang terjadi padaku?

"Assalamualaikum, Dek ... lagi ngapain kamu?"

Ustad Yunus berbicara saat setibanya di masjid dan turun dari mobil. Dia melihat seorang perempuan yang dia kenali adalah istrinya, sedang menyiram beberapa tanaman pada pot yang berada di sisi halaman masjid.

Perempuan berhijab dusty itu perlahan menoleh. Dan seketika matanya berbinar-binar saat pandangan mata mereka bertemu.

"Mas Boy!!" Dengan girangnya, Yumna langsung berlari memeluk tubuh suaminya. Betapa senangnya dia, apalagi melihat pria itu memegang buket bunga yang dia pikir pasti untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini."

"Mas Boy!!" seru Yumna dengan girang, segera berlari memeluk tubuh suaminya. Senyumnya begitu lebar, terlebih saat melihat buket bunga di tangan suaminya yang dia yakini itu untuknya. "Mas ke mana saja? Aku tungguin Mas lho dari tadi, sampai berjamur disini."

"Maafin saya, Dek, tadi saya ke rumah sakit," jawab Ustad Yunus dengan wajah serius.

"Rumah sakit?" Yumna mengerutkan keningnya, kemudian dengan cepat membelalakkan matanya dan langsung menangkup kedua pipi suaminya. "Apa Mas sakit?? Sakit apa, Mas?"

Dari sorotan mata dan mimik wajahnya, jelas bahwa dia sangat khawatir dengan kondisi Ustad Yunus. Dia mungkin berpikir bahwa alasan suaminya ke rumah sakit adalah karena dia sakit.

"Oh, atau kaki Mas, ya, yang sakit? Yang habis kecelakaan itu?" Yumna melepaskan pelukan dan segera meraba kaki kanan suaminya, mencari tanda-tanda sakit atau cedera.

"Enggak, Dek." Ustad Yunus menggeleng, lalu menyentuh tangan istrinya dan perlahan menariknya. "Saya nggak sakit kok."

"Terus, kenapa Mas Boy ke rumah sakit kalau nggak sakit?" tanya Yumna, rasa penasarannya semakin besar.

"Karena Naya yang sakit," jawab Ustad Yunus dengan suara yang penuh kekhawatiran.

Yumna merasa seolah-olah dunianya runtuh saat mendengar jawaban suaminya. Dia terkejut sekaligus kecewa. Hatinya pun ikut sakit.

Sedari pagi hingga menjelang siang, dia telah menunggu suaminya di masjid dan tak berniat pulang sebelum bisa bertemu.

Dia berharap bisa menghabiskan waktu bersama, namun ternyata suaminya lebih memilih untuk menjenguk perempuan lain.

"Naya?" Yumna hampir berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi sangat dingin dan dia merasa sulit untuk bernapas. "Jadi ... Mas dari pagi nggak ada di masjid karena menemani Naya yang sakit? Sedangkan aku disini nungguin Mas sejak pagi. Apakah itu terlihat adil??" Air mata mulai menggenang di matanya, namun dia berusaha keras untuk menahannya.

"Dek, bukan begitu! Kamu jangan salah paham dulu!" Ustad Yunus melangkah mendekat saat tubuh istrinya mulai menjauh darinya.

"Apanya yang salah paham, Mas? Bukankah itu sudah jelas??" Air mata Yumna akhirnya lolos juga membasahi kedua pipinya. Dia menangis. "Itu juga alasan kenapa Mas nggak mau bercinta denganku, kan, semalam? Mas jahat!" tambahnya berteriak.

Yumna sudah beranjak, berencana untuk meninggalkan Ustad Yunus. Namun, lengan pria itu segera melingkar di pinggangnya, berusaha menahan Yumna agar tidak pergi.

"Dek, tunggu sebentar! Jangan marah dulu! Saya bisa menjelaskannya, masalah semalam itu nggak ada hubungannya dengan Naya!" tegas Ustad Yunus, lalu menarik tangan istrinya dan membawanya masuk bersama ke dalam mobil.

Mobil sedan itu lantas kemudian melaju pergi dari halaman masjid.

Mungkin, akan lebih baik mereka berbicara di tempat lain, bukan di masjid.

Karena selain itu adalah tempat ibadah, Ustad Yunus juga tidak ingin masalah rumah tangganya diketahui orang lain.

Setelah berkendara tanpa arah dan tujuan, Ustad Yunus akhirnya meminggirkan mobilnya di jalan yang cukup sepi dan mematikan mesinnya.

Perlahan, tangannya meraih Yumna dan membawanya ke dalam pelukannya. Sejak tadi, perempuan itu masih menangis dengan isak yang terputus-putus.

"Saya benar-benar minta maaf, Dek," ucap Ustad Yunus dengan suara lembut sambil mengelus punggung Yumna. Dia berusaha menenangkan hati istrinya yang sedang terluka. "Saya tau kamu pasti kecewa. Tapi percayalah, itu nggak ada hubungannya dengan Naya."

Ustad Yunus mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Kemarin malam sebenarnya saya juga sudah berniat, Dek. Tapi sayangnya, tiba-tiba Pak RT datang dan meminta tolong untuk meruqiah adiknya yang sedang kesurupan. Bagaimana saya bisa menolaknya?"

Yumna tercekat oleh tangisnya, suaranya terputus-putus. "Jadi, meruqiah orang itu lebih penting daripada bercinta dengan istri, ya, Mas?"

Ustad Yunus segera membantah, "Enggak begitu, Deekk! Pak RT yang memaksakan, dia langsung menarik saya dan membawa saya pergi dengan motornya."

Yumna kemudian menyampaikan kekecewaannya. "Umi bilang, Mas Boy pulang jam 11 dan langsung masuk kamar. Tapi kenapa Mas nggak langsung mengajakku bercinta?"

"Kamu mungkin lupa, Dek. Kamu sudah tertidur saat itu." Ustad Yunus mencoba menjelaskan.

"Kalau aku tertidur, kenapa Mas enggak membangunkanku? Itu nggak sulit, Mas!" Yumna semakin terisak.

"Saya nggak tega membangunkanmu, Dek. Tidurmu kelihatan sangat nyenyak." Ustad Yunus menjelaskan dengan penuh penyesalan.

"Mas nggak tega membangunkanku, tapi Mas bisa tega menemui Naya tanpa seizinku, begitu? Apa itu adil untukku, Mas?!" Tangis Yumna semakin pecah.

Yumna terus menangis, sedih dan kecewa dengan apa yang terjadi. Ustad Yunus makin merasa bersalah dan berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur istrinya.

"Ya Allah, Dek ... bukan seperti itu. Saya nggak berniat untuk menemui Naya, sumpah. Tadi pagi itu Naya yang datang sendiri ke masjid untuk menemui saya, terus tiba-tiba pingsan. Jadi saya langsung membawanya ke rumah sakit. Itulah yang terjadi sebenarnya."

"Aku nggak percaya!" Yumna menggeleng cepat.

"Mana pernah saya bohong, Dek, sama kamu. Saya ini orangnya selalu jujur. Kamu harus percaya sama saya."

"Terus ... apa saja yang Mas lakukan di sana? Apakah Naya ngajak Mas untuk menikah?"

Ustad Yunus terkejut dengan pertanyaan tajam Yumna. Jantungnya berdebar kencang.

Kenapa Yumna seolah bisa tahu? Itulah yang dia pikirkan. Atau ini hanyalah suatu kebetulan saja?

"Iya, Dek."

"Terus Mas jawab apa?"

Wajah pria itu seketika berubah menjadi pucat, dan dia tampak gelisah.

Ini seharusnya menjadi kesempatan emas baginya untuk berbicara dan membujuk Yumna agar mau dipoligami.

Namun, entah mengapa, lidahnya tiba-tiba terasa kaku saat ingin berbicara. Seluruh tubuhnya pun ikut menegang.

"Kok diam, Mas?" Yumna langsung menarik tubuhnya sendiri hingga lepas dari pelukan suaminya, lalu menatap tajam Ustad Yunus. "Jangan bilang Mas mau menikahi Naya?"

"Deeek ... sa-saya, mi ... minta maaf." Dengan tergagap, Ustad Yunus akhirnya bicara.

"Kenapa harus minta maaf?" Kening Yumna seketika mengerenyit. Jantungnya langsung berdebar kencang. "Jadi bener, Mas ingin menikahi Naya?"

"Sa-saya ...." Ustad Yunus mencoba bicara, tetapi suaranya terputus-putus.

"Mas ... tolong bicara yang jelas! Jangan sepotong-sepotong begitu!"

"Sa-saya ...."

Ustad Yunus semakin merasa terjebak dalam situasi yang rumit. Dia merasa frustasi dengan ketidakmampuannya untuk berbicara dengan jelas dan membuat Yumna mengerti. Keringat mengalir deras diwajah tampannya, menunjukkan kegelisahan yang dirasakannya.

Entah apa yang terjadi pada dirinya dan mulutnya, mengapa sangat sulit untuk berbicara.

Bagaimana dia bisa membujuk Yumna jika kondisinya seperti ini?

'Ya Allah ... apa yang terjadi padaku? Kenapa lidahku begitu sulit untuk bicara?' Ustad Yunus berdoa dalam hati, mencoba mencari ketenangan dan kejernihan pikiran.

Namun, dia justru tiba-tiba merasakan rasa mulas yang melanda perutnya, membuatnya semakin tidak nyaman.

Mengapa dalam situasi serius seperti ini dia merasa ingin buang air besar?

Ini sungguh kacau!

"S-saya ...."

"Saya apa, Mas?!" desak Yumna, yang semakin penasaran dan kebingungan. Dia merasa dadanya panas dan hatinya penuh kekhawatiran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status