Share

5. Saya sudah menikah

Naya melangkah perlahan ke arah Ustad Yunus. Dia tampak ragu, namun ada keputusan yang tampak jelas di matanya. Tanpa berpikir dua kali, dia mendekap tubuh Ustad Yunus dari belakang.

"E-eeh!!"

Ustad Yunus terperanjat. Dia merasa ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya dan ketika dia menoleh, dia melihat Naya.

"Naya?" Ustad Yunus berusaha melepaskan pelukan Naya, namun perempuan itu semakin erat memeluknya. "Apa yang kamu lakukan, Nay? Dan kenapa kamu ada di sini?"

Naya tidak menjawab. Dia hanya memeluk Ustad Yunus dengan erat, seolah dia tidak ingin melepaskannya. Ustad Yunus bisa merasakan getaran ditubuh Naya. Dia tahu, ada sesuatu yang terjadi pada perempuan itu.

"Nay ... tolong jangan begini. Nggak enak kalau dilihat orang."

Meskipun suasana masjid itu tampak sepi, tapi tetap saja apa yang dilakukan Naya tidak benar dan pantas dilakukan.

Setelah beberapa saat berusaha, akhirnya Ustad Yunus berhasil melepaskan pelukan Naya. Dia juga langsung menjaga jarak.

Perempuan itu menatap Ustad Yunus dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku merindukanmu, Bang," ucapnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Naya tampak sangat berantakan. Dia mengenakan baju tidur lengan panjang dan hijab instan. Matanya bengkak dan merah, tanda-tanda dia telah menangis. Bibirnya kering dan pucat, menunjukkan bahwa dia tidak dalam kondisi baik. Tubuhnya tampak lebih kurus dari biasanya dan terlihat tidak terawat.

Penampilannya sangat berbeda dari Naya yang biasa Ustad Yunus kenal, yang selalu terlihat rapi dan terawat.

"Naya, apa yang terjadi? Kenapa kamu seperti ini?" tanya Ustad Yunus dengan nada suara yang penuh kekhawatiran.

"Aku seperti ini karena aku merindukanmu, Bang," kata Naya dengan suara lemah. Dia perlahan mendekat, tangan menjulur mencoba meraih tangan Ustad Yunus. Namun, langkahnya tertatih dan dia tidak berhasil meraih tangan Ustad Yunus. "Ayo kita menikah, Bang. Ayah dan Bunda sudah merestui hubungan kita," lanjut Naya dengan suara yang semakin lemah.

"Naya, saya sudah menikah. Kamu tau itu," ujar Ustad Yunus dengan lembut.

Naya mengangguk. "Aku tau. Tapi aku nggak peduli. Aku masih mencintaimu, Bang. Dan aku siap menjadi istri kedua jika Abang nggak bisa menceraikan Yumna."

Ustad Yunus terkejut mendengar permintaan Naya. Sama seperti saat bertemu dengan Ayah Cakra kemarin, dia tidak pernah menyangka bahwa akan mendapatkan tawaran seperti itu.

"Naya, saya—" Ucapan Ustad Yunus tiba-tiba terhenti saat melihat tubuh Naya mulai goyah dan matanya tampak sudah terpejam.

"Naya!" teriak Ustad Yunus, yang langsung berlari menangkap tubuh Naya. Beruntung dia cukup cepat, jika tidak, perempuan itu mungkin sudah benar-benar jatuh.

Tanpa berpikir panjang, Ustad Yunus segera membawa Naya ke mobilnya. Dia kemudian meninggalkan masjid dengan tujuan membawa Naya ke rumah sakit.

*

*

Lima belas menit setelah Ustad Yunus meninggalkan masjid, Yumna tiba di tempat itu dengan menggunakan taksi. Tujuannya mengantarkan sarapan nasi goreng favorit suaminya dan berharap bisa menikmati sarapan bersama di sana.

Yumna tampak anggun dan cantik dalam balutan gamis dan hijab pashmina yang dia kenakan. Dia sengaja memilih busana yang sopan dan elegan ini, tidak hanya karena dia datang ke masjid, tetapi juga untuk memanjakan hati suaminya. Dia tahu bahwa suaminya sangat menyukai perempuan yang berpakaian tertutup.

"Assalamualaikum, Mas Boy," ucap Yumna seraya melangkah masuk ke dalam masjid.

Namun, sayangnya, saat dia menatap sekeliling ruangan, dia tidak menemukan siapa-siapa di sana, termasuk suaminya.

"Ke mana Mas Boy, kok nggak ada?" Yumna pun berbalik, keluar dari pintu masjid dan berniat untuk menelepon suaminya. Dia ingin bertanya tentang keberadaannya.

Namun, sayangnya, nomornya masih tidak aktif.

"Lho, ke mana Mas Boy? Lalu bagaimana dengan nasi goreng ini?" Yumna menatap sedih nasi gorengnya. Dia merindukan suaminya dan berharap dengan bertemu, mereka bisa menyelesaikan masalah yang terjadi semalam. Yumna juga ingin mendengar penjelasan langsung dari suaminya. "Padahal aku berharap bisa makan nasi goreng bareng. Tapi sayangnya ... Mas Boy nggak ada."

Yumna berjalan lesu menuju teras, lalu duduk di sana sembari meletakkan rantang plastik yang dia bawa.

Dia baru sadar sekarang, jika mobil suaminya tidak ada di halaman masjid. Dan dia semakin yakin jika memang suaminya tidak ada di sini.

"Apa Mas Boy memang nggak ke masjid, ya? Tapi Umi bilang dia ke sini kok."

Dalam kebingungan, dan tanpa ada orang yang bisa dia tanyakan, Yumna memutuskan untuk menghubungi mertuanya. Mungkin Umi Mae bisa memberikannya saran.

"Halo, Umi, assalamualaikum."

"Walaikum salam. Sudah ketemu kamu sama Yunus, Nak? Apa kata dia? Apa nasi goreng buatanmu enak?"

Meskipun nasi goreng itu resep dari Umi Mae, tapi yang mengeksekusi seluruhnya adalah Yumna. Jadi mungkin saja ada perbedaan.

"Umi ... Mas Boy nggak ada di masjid," ucap Yumna dengan sedih.

"Kok bisa, Nak? Coba telepon."

"Dari pagi nomornya susah dihubungi Umi, nggak aktif terus."

"Coba tanya orang yang ada di sana, Nak. Barangkali mereka tau. Tanya juga sama Ustad Hamdan."

"Di sini nggak ada siapa-siapa, Umi. Makanya aku telepon Umi karena bingung mau tanya siapa."

"Ya sudah, coba tanya sama Ustad Hamdan, Nak. Rumahnya di samping masjid, istrinya jualan nasi uduk didepan rumahnya. Barangkali dia tau."

"Ya sudah, aku coba tanya ke sana. Terima kasih, Umi. Assalamualaikum."

"Walaikum salam, Nak."

Setelah mematikan panggilan, Yumna pun berjalan keluar dari gerbang masjid menuju sebuah rumah sederhana yang berada tepat di samping masjid, sambil menenteng rantang plastik di tangannya.

***

Setelah beberapa menit menunggu dengan cemas di depan ruang UGD, pintu itu akhirnya terbuka.

Seorang dokter berjalan keluar, wajahnya serius. Ustad Yunus segera berdiri dari duduk, jantungnya berdebar-debar. Dia tahu berita yang akan datang mungkin tidak menyenangkan.

"Dokter," sapa Ustad Yunus, mencoba untuk tetap tenang. "Bagaimana kondisi Naya? Ada apa dengannya?"

"Nona Naya mengalami depresi berat, Pak. Kondisinya sudah sangat parah, hingga titik kegilaan."

"Apa?! Kegilaan?!"

Berita itu seperti petir di siang bolong bagi Ustad Yunus. Kedua matanya membulat tak percaya.

"Bagaimana bisa, Dok? Apa penyebabnya?" lanjutnya bertanya.

"Depresi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk stres berat, trauma, atau faktor genetik. Dalam kasus Nona Naya, mungkin ada sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap kondisinya. Mungkin ada masalah atau stres dalam hidupnya yang tidak dia ungkapkan atau tangani dengan baik, yang akhirnya memicu depresi berat," jelas Dokter itu.

'Masalah dan stres?!' Ustad Yunus seketika merenung, pikirannya berputar cepat. Permintaan Naya dan Ayah Cakra... Apakah itu bisa menjadi pemicu stres yang berat bagi Naya? Apakah itu bisa menjadi pemicu depresi yang akhirnya membawanya ketitik kegilaan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status