Share

Sisil Berulah

#Saudara Rasa Orang Lain (7)

"Arham! Lila! Sombong sekali kamu dengan kami sekarang. Saran Abang, kalau orang miskin jangan punya sifat sombong, takut besok-besok butuh bantuan Saudara." Ucap Bang Majid dengan lantangnya saat aku dan Bang Arham sedang berjalan keluar dari rumahnya.

Kami pun langsung menoleh, sebenarnya aku tak ingin menghiraukan ucapan Abangku itu. Tapi karena kata-katanya yang cukup menyakitkan, membuat kami berdua reflek menoleh.

"Maaf, Bang. Bukannya kami sombong, tapi memang kami saat ini lagi nggak bisa, karena memang Lila sedang ada orderan kue, maafkan kami Bang, kalau sudah mengecewakan Abang dan juga Kakak." Tutur Bang Arham menjelaskan lagi, dan mungkin dia juga sedang mengendalikan hatinya agar tidak terbawa emosi.

Pprraaaangg!!! Tiba-tiba terdengar suara seperti benda berbahan kaca yang jatuh dari arah taman rumahnya Bang Majid.

Kami semua lantas segera menuju ke arah suara tersebut.

Dan sesampainya disana, betapa terkejutnya aku karena melihat tangan Lia yang sudah berlumuran darah.

"Ya Allah, Lia! Kamu kenapa Nak?" Teriakku sambil berhambur ke tempat anakku berdiri memegangi tangannya yang sudah banyak darah dan menetes-netes.

Segera ku robek ujung bajuku, dan mengikatkan pada lengan tangan Lia. Lia hanya terdiam sedari tadi, tak mau menjawab pertanyaanku. Mulut dan wajahnya pucat pasi.

"Ya, Ampun! Ada apa sih ini? Ini kenapa pada pecah semua? Emang susah ya kalau orang miskin, apa aja maunya dipegang, norak banget! Kamu harus ganti pot bunga aku, Lila! Itu pot bunga mahal, belinya di luar kota. Dan mungkin kamu nggak akan mampu untuk membelinya," cerca Kak Arimbi padaku sambil menunjuk-nunjuk kearah Lia. Sedangkan Bang Majid hanya diam saja seperti tak menghiraukan keponakannya sama sekali yang sedang terluka. Dan membiarkan istrinya mencerca adiknya sendiri.

Tak sadar akhirnya butiran bening ini jatuh juga tak tertahankan. Sebegitu hinanya kah kami, hingga harus di caci maki oleh saudara sendiri.

"Maafkan kami, Kak. Mungkin Lia tak sengaja menyenggolnya. Insha Allah nanti kami akan ganti pot bunga Kakak dengan yang sama persis," Bang Arham turut angkat bicara. Tapi belum sempat Kak Arimbi berkata lagi, sudah disela oleh Raffa--anakku yang berusia lima tahun.

"Kak Lia didorong, Bu. Sama Tante Sisil, terus tante Sisil langsung lari kesana, Kak Lia jatuh terus tangannya ketimpa pot bunga sampai pecah." Tiba-tiba mulut mungil Raffa menjelaskan dengan tegas kronologi kejadian barusan. Dan hal itu sontak saja membuatku terkejut juga Bang Arham. Sedangkan raut wajah Bang Majid dan juga Kak Arimbi langsung berubah menjadi gusar.

"Emang benar begitu Raffa ceritanya?" Tanya Bang Majid seolah tak percaya dengan anak sekecil Raffa.

"Iya, Pi. Bener. Masa aku bohong, kan kata Ibu kalau kita itu nggak boleh bohong." jawaban Raffa benar-benar membuat hatiku kagum. Karena selama ini, apa yang kuajari padanya, tertanam sempurna di dalam otaknya.

Bang Majid seketika terdiam, sedangkan Kak Arimbi masih dengan wajah gusarnya dengan dua tangan terlipat di depan dada.

"Itu kan ada Sisil, Bang, kenapa nyuruh aku untuk jagain faraz?" Tanyaku kesal, karena Sisil sudah mendorong Amalia. Entah karena masalah apa, sampai Sisil tega mendorong anak kecil seperti Lia. karena sampai sekarang Amalia belum juga mau berbicara.

"Yaudah, Dek. Kita pulang aja, sekalian ngobatin lukanya Lia. Jangan diperpanjang, kami pamit dulu, Bang, Kak." Ucap Bang Arham menengahi sekalian pamit pada mereka berdua yang masih terdiam mematung dan tak membalas ucapannya Bang Arham sedikitpun.

Lalu kami pun langsung menaiki motor dan Bang Arham segera menyalakan mesin motornya dan langsung menancap gas. Sedangkan mereka berdua yaitu Bang Majid dan juga Kak Arimbi langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa kata-kata.

🌼🌼🌼

Sepanjang perjalanan aku tak henti-hentinya mengeluarkan air mata, karena perasaan yang sangat tertekan dengan perbuatan Kakak Iparku yang sangat ketus pada kami semua, terlebih kata-katanya yang terlalu merendahkan kami semua.

"Sabar, Dek. Jangan nangis di jalan ya? Nggak enak diliatin orang," ucap Bang Arham saat dia tersadar kalau istrinya sepanjang jalan masih menangis.

"Tapi aku kesel, Bang. Sama mereka berdua. Apalagi Kak Arimbi jahat banget sama anak kecil seperti Lia. Udah gitu yang salah ternyata adiknya, jadi malu sendiri kan, tuh!" Jawabku sambil terisak, karena rasa kesal yang sudah membuncah.

"Iya sabar. Kita berdoa terus sama Allah, semoga suatu saat nanti Allah bakal ngerubah hidup kita dan ijabah doa-doa kita, udah pokoknya kamu jangan sedih lagi ya?" Aku mengangguk tanpa berkata-kata. Bang Arhan tersenyum sambil melirik di kaca spion motor yang sedang kami naiki.

🌼🌼🌼

Sebelum kembali ke rumah, kami langsung menuju ke klinik terdekat lebih dulu, untuk memeriksakan luka pada tangan Lia, akibat terkena pecahan beling tadi.

"Sudah, Bu. Lukanya sudah diobati dan tak perlu dijahit, karena tak terlalu lebar kok. Nanti setelah ini, jangan kena air dulu ya, Bu. Jangan lupa obatnya juga diminum ya?" Seorang Suster menjelaskan padaku.

"Baik, terimakasih Sus, saya permisi dulu," lalu aku pun segera keluar bersama Lia. Sedangkan Bang Arham dan juga Raffa menunggu di ruang depan klinik.

Sesampainya aku di ruang depan, kulihat Bang Arham sedang melamun, entah sedang melamunkan apa, aku pun tak tahu.

"Bang! Kok malah bengong sih? Udah yuk," ujarku sambil mengejutkan dirinya yang masih diam termenung. Bang Arham pun langsung tersentak saat dirinya kukejutkan.

"Eh, udah ya Dek, berobatnya?" Tanya Bang Arham.

"Udah, ayo kita pulang, udah siang banget ini," lalu kami pun segera menuju ke rumah kontrakan kami.

Sebenarnya, aku sudah tak sabar ingin menanyakan dengan Lia langsung. Kenapa Sisil yang umurnya sudah 17 tahun sampai tega mendorong Lia yang masih berumur tujuh tahun. Apa mereka berkelahi sebelumnya? Ah, entahlah.

🌼🌼🌼

Kini kami semua telah sampai di rumah, Bang Arham segera bersiap-siap untuk melakukan shalat Zuhur. Sedangkan aku menggantikan baju Lia serta baju Raffa dengan Baju harian.

"Lia, coba kamu ceritakan sama Ibu, kenapa kamu bisa sampai didorong oleh Tante Sisil?" Lia yang kini sudah duduk di karpet lantai, hanya terdiam menatap lurus kedepan. Tak biasanya anakku seperti ini, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

"Lia. Cerita aja, Ibu nggak akan marah sama kamu." Tegurku lagi pada Lia. Mengusap pundaknya dengan lembut.

"Tadi, kan Lia sama Raffa lagi main dekat depan, Bu. Terus tiba-tiba Tante Sisil datang. Dia bilang kalau orang miskin jangan main di halaman rumah Papi, nanti kotor. terus Lia tanya, memangnya kenapa kalau orang miskin ke rumah Papi? Eh, dia malah langsung dorong Lia, Bu. Sampai Lia jatuh dan akhirnya kena pot bunga Mami Arimbi, dan langsung menimpa tangan Lia." Tuturnya panjang lebar, menjelaskan semua pertanyaan di dalam hati.

#Saudara Rasa Orang Lain (7)

"Arham! Lila! Sombong sekali kamu dengan kami sekarang. Saran Abang, kalau orang miskin jangan punya sifat sombong, takut besok-besok butuh bantuan Saudara." Ucap Bang Majid dengan lantangnya saat aku dan Bang Arham sedang berjalan keluar dari rumahnya.

Kami pun langsung menoleh, sebenarnya aku tak ingin menghiraukan ucapan Abangku itu. Tapi karena kata-katanya yang cukup menyakitkan, membuat kami berdua reflek menoleh.

"Maaf, Bang. Bukannya kami sombong, tapi memang kami saat ini lagi nggak bisa, karena memang Lila sedang ada orderan kue, maafkan kami Bang, kalau sudah mengecewakan Abang dan juga Kakak." Tutur Bang Arham menjelaskan lagi, dan mungkin dia juga sedang mengendalikan hatinya agar tidak terbawa emosi.

Pprraaaangg!!! Tiba-tiba terdengar suara seperti benda berbahan kaca yang jatuh dari arah taman rumahnya Bang Majid.

Kami semua lantas segera menuju ke arah suara tersebut.

Dan sesampainya disana, betapa terkejutnya aku karena melihat tangan Lia yang sudah berlumuran darah.

"Ya Allah, Lia! Kamu kenapa Nak?" Teriakku sambil berhambur ke tempat anakku berdiri memegangi tangannya yang sudah banyak darah dan menetes-netes.

Segera ku robek ujung bajuku, dan mengikatkan pada lengan tangan Lia. Lia hanya terdiam sedari tadi, tak mau menjawab pertanyaanku. Mulut dan wajahnya pucat pasi.

"Ya, Ampun! Ada apa sih ini? Ini kenapa pada pecah semua? Emang susah ya kalau orang miskin, apa aja maunya dipegang, norak banget! Kamu harus ganti pot bunga aku, Lila! Itu pot bunga mahal, belinya di luar kota. Dan mungkin kamu nggak akan mampu untuk membelinya," cerca Kak Arimbi padaku sambil menunjuk-nunjuk kearah Lia. Sedangkan Bang Majid hanya diam saja seperti tak menghiraukan keponakannya sama sekali yang sedang terluka. Dan membiarkan istrinya mencerca adiknya sendiri.

Tak sadar akhirnya butiran bening ini jatuh juga tak tertahankan. Sebegitu hinanya kah kami, hingga harus di caci maki oleh saudara sendiri.

"Maafkan kami, Kak. Mungkin Lia tak sengaja menyenggolnya. Insha Allah nanti kami akan ganti pot bunga Kakak dengan yang sama persis," Bang Arham turut angkat bicara. Tapi belum sempat Kak Arimbi berkata lagi, sudah disela oleh Raffa--anakku yang berusia lima tahun.

"Kak Lia didorong, Bu. Sama Tante Sisil, terus tante Sisil langsung lari kesana, Kak Lia jatuh terus tangannya ketimpa pot bunga sampai pecah." Tiba-tiba mulut mungil Raffa menjelaskan dengan tegas kronologi kejadian barusan. Dan hal itu sontak saja membuatku terkejut juga Bang Arham. Sedangkan raut wajah Bang Majid dan juga Kak Arimbi langsung berubah menjadi gusar.

"Emang benar begitu Raffa ceritanya?" Tanya Bang Majid seolah tak percaya dengan anak sekecil Raffa.

"Iya, Pi. Bener. Masa aku bohong, kan kata Ibu kalau kita itu nggak boleh bohong." jawaban Raffa benar-benar membuat hatiku kagum. Karena selama ini, apa yang kuajari padanya, tertanam sempurna di dalam otaknya.

Bang Majid seketika terdiam, sedangkan Kak Arimbi masih dengan wajah gusarnya dengan dua tangan terlipat di depan dada.

"Itu kan ada Sisil, Bang, kenapa nyuruh aku untuk jagain faraz?" Tanyaku kesal, karena Sisil sudah mendorong Amalia. Entah karena masalah apa, sampai Sisil tega mendorong anak kecil seperti Lia. karena sampai sekarang Amalia belum juga mau berbicara.

"Yaudah, Dek. Kita pulang aja, sekalian ngobatin lukanya Lia. Jangan diperpanjang, kami pamit dulu, Bang, Kak." Ucap Bang Arham menengahi sekalian pamit pada mereka berdua yang masih terdiam mematung dan tak membalas ucapannya Bang Arham sedikitpun.

Lalu kami pun langsung menaiki motor dan Bang Arham segera menyalakan mesin motornya dan langsung menancap gas. Sedangkan mereka berdua yaitu Bang Majid dan juga Kak Arimbi langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa kata-kata.

🌼🌼🌼

Sepanjang perjalanan aku tak henti-hentinya mengeluarkan air mata, karena perasaan yang sangat tertekan dengan perbuatan Kakak Iparku yang sangat ketus pada kami semua, terlebih kata-katanya yang terlalu merendahkan kami semua.

"Sabar, Dek. Jangan nangis di jalan ya? Nggak enak diliatin orang," ucap Bang Arham saat dia tersadar kalau istrinya sepanjang jalan masih menangis.

"Tapi aku kesel, Bang. Sama mereka berdua. Apalagi Kak Arimbi jahat banget sama anak kecil seperti Lia. Udah gitu yang salah ternyata adiknya, jadi malu sendiri kan, tuh!" Jawabku sambil terisak, karena rasa kesal yang sudah membuncah.

"Iya sabar. Kita berdoa terus sama Allah, semoga suatu saat nanti Allah bakal ngerubah hidup kita dan ijabah doa-doa kita, udah pokoknya kamu jangan sedih lagi ya?" Aku mengangguk tanpa berkata-kata. Bang Arhan tersenyum sambil melirik di kaca spion motor yang sedang kami naiki.

🌼🌼🌼

Sebelum kembali ke rumah, kami langsung menuju ke klinik terdekat lebih dulu, untuk memeriksakan luka pada tangan Lia, akibat terkena pecahan beling tadi.

"Sudah, Bu. Lukanya sudah diobati dan tak perlu dijahit, karena tak terlalu lebar kok. Nanti setelah ini, jangan kena air dulu ya, Bu. Jangan lupa obatnya juga diminum ya?" Seorang Suster menjelaskan padaku.

"Baik, terimakasih Sus, saya permisi dulu," lalu aku pun segera keluar bersama Lia. Sedangkan Bang Arham dan juga Raffa menunggu di ruang depan klinik.

Sesampainya aku di ruang depan, kulihat Bang Arham sedang melamun, entah sedang melamunkan apa, aku pun tak tahu.

"Bang! Kok malah bengong sih? Udah yuk," ujarku sambil mengejutkan dirinya yang masih diam termenung. Bang Arham pun langsung tersentak saat dirinya kukejutkan.

"Eh, udah ya Dek, berobatnya?" Tanya Bang Arham.

"Udah, ayo kita pulang, udah siang banget ini," lalu kami pun segera menuju ke rumah kontrakan kami.

Sebenarnya, aku sudah tak sabar ingin menanyakan dengan Lia langsung. Kenapa Sisil yang umurnya sudah 17 tahun sampai tega mendorong Lia yang masih berumur tujuh tahun. Apa mereka berkelahi sebelumnya? Ah, entahlah.

🌼🌼🌼

Kini kami semua telah sampai di rumah, Bang Arham segera bersiap-siap untuk melakukan shalat Zuhur. Sedangkan aku menggantikan baju Lia serta baju Raffa dengan Baju harian.

"Lia, coba kamu ceritakan sama Ibu, kenapa kamu bisa sampai didorong oleh Tante Sisil?" Lia yang kini sudah duduk di karpet lantai, hanya terdiam menatap lurus kedepan. Tak biasanya anakku seperti ini, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

"Lia. Cerita aja, Ibu nggak akan marah sama kamu." Tegurku lagi pada Lia. Mengusap pundaknya dengan lembut.

"Tadi, kan Lia sama Raffa lagi main dekat depan, Bu. Terus tiba-tiba Tante Sisil datang. Dia bilang kalau orang miskin jangan main di halaman rumah Papi, nanti kotor. terus Lia tanya, memangnya kenapa kalau orang miskin ke rumah Papi? Eh, dia malah langsung dorong Lia, Bu. Sampai Lia jatuh dan akhirnya kena pot bunga Mami Arimbi, dan langsung menimpa tangan Lia." Tuturnya panjang lebar, menjelaskan semua pertanyaan di dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status